BERSAMA HUJAN 35
(Tien Kumalasari)
Bu Rosi yang baru keluar dari kamar, melihat bibik membawa barang-barang yang tadi disiapkan Elisa, tapi dilihatnya bibik seperti bekas menangis.
“Bik, ada apa?”
Bibik tersenyum lalu melanjutkan langkahnya ke arah dapur, bu Rosi mengikutinya.
“Bik, aku bertanya sama kamu.”
“Iya Nyonya. Itu … saya terharu,” katanya sambil meletakkan barang-barang itu di atas meja, lalu mengusap air matanya yang kembali turun.
“Terharu kenapa?”
“Coba Nyonya lihat ke kamar tuan muda, nggak tahan bibik melihatnya, sungguh bibik ingin menangis terus, melihatnya.”
Tak begitu mengerti, bu Rosi kemudian berjalan ke arah kamar Romi. Saat dia masuk, dilihatnya Romi masih bersimpuh di atas sajadah, mulutnya komat kamit entah mengucapkan apa, tapi air matanya turun membasahi wajahnya.
Bu Rosi menutup kembali pintunya, tak urung ia juga menitikkan air mata. Bukan hanya karena melihat Romi menangis, tapi juga karena Romi mengingat kembali kewajiban yang telah bertahun-tahun dilupakannya.
Bu Rosi menuju dapur, duduk di kursi sambil mengusap air matanya. Dilihatnya bibik sedang mengembalikan barang-barang yang tadi disiapkan Elisa dan tidak sedikitpun dipakai.
“Bik, bagaimana tiba-tiba dia melakukannya? Bibik yang menyuruhnya?”
“Dalam keadaan biasa, disuruhpun, apa tuan muda akan menurutinya?”
“Memang tidak. Dia tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkannya. Dia lakukan hanya yang dia mau saja.”
“Benar, Nyonya.”
“Bagaimana dia melakukannya?”
“Saya melihat tuan muda tidur, saya bangunkan agar mau makan. Dia malah merangkul saya sambil mengeluh, tentang sesuatu yang membebaninya. Saya tidak bertanya, yang membebani itu apa. Tuan muda mengatakan sangat menyesal telah melakukan banyak dosa. Sayapun tidak menanyakan apa dosa yang telah tuan muda perbuat. Saya hanya mengambilkan sajadah, menggelarnya, dan menuntunnya ke arah kamar mandi, setelah saya mengatakan bahwa Allah lah yang Maha Pengampun. Saya tidak mengira, tuan muda melakukannya. Bahkan saya mendengar tuan muda menangis terisak saat bersujud. Jadi saya ikut menangis, Nyonya.”
Mendengar hal itu, bu Rosi pun tak kuasa menahan tangisnya. Ia bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu terisak pelan. Bibik mendekat dan mengelus pangkuan nyonya majikannya.
“Kita harus bersyukur Nyonya, tuan muda sudah menemukan jalan terbaik untuk melanjutkan hidupnya, yaitu langkah yang didasari oleh jalan yang Allah berikan, yang pastinya adalah jalan terbaik yang harus dilaluinya,” kata bibik dengan suara serak menahan tangis.
“Semoga akan seterusnya Romi begitu.”
“Aamiin. Sekarang Nyonya jangan menangis lagi. Saya akan menata makan untuk tuan muda, akan saya paksa tuan muda agar mau makan. Sangat baik kalau Nyonya menemaninya.”
“Baiklah, siapkan makan untuk anakku, aku akan memanggil Elisa, agar mau menemaninya juga,” kata Bu Rosi sambil menuju ke arah kamar Elisa, walau tak yakin Elisa mau menuruti kata-katanya.
Bu Rosi mengetuk pintu kamarnya pelan.
“Elisa … apa kamu tidur?”
Agak lama, ketika kemudian Elisa membuka pintu.
“Kamu tidur?”
“Hampir tidur, Ma.”
“Romi mau makan, tuh. Temani sana, gih.”
“Menemani Romi makan? Lebih baik tidak deh Ma.”
“Kamu cobalah bersikap baik sama dia, lama-lama hatinya pasti akan luluh.”
“Sudah selalu Elisa lakukan Ma, bersikap baik dan manis sama dia. Tapi balasannya adalah ucapan yang menyakitkan. Tidak Ma, lebih baik biar dia makan sendiri, Elisa mau tidur. Kepala Elisa agak pusing,” kata Elisa sambil menutup pintunya, mengabaikan ibu mertuanya yang masih berdiri di luar pintu. Bu Rosi menghela napas kesal. Sepertinya ia tak akan berhasil mempersatukan keduanya.
***
Ketika bu Rosi menuju ruang makan, dilihatnya Romi sedang menunggu bibik menyendokkan nasi ke piringnya.
“Sudah Bik, kalau kurang nanti aku minta tambah lagi,” kata Romi.
“Lauknya, Tuan?”
“Biar aku ambil sendiri, bibik duduk saja di sana," katanya sambil menunjuk ke arah kursi dimana bibik biasanya menunggui majikannya saat makan.
Bu Rosi melihat bekas air mata di mata anaknya, tapi ia pura-pura tidak tahu.
“Wah, mencium aroma masakan bibik, aku jadi lapar lagi nih,” kata bu Rosi sambil duduk di depan Romi.
“Tadi kamu tidur, mama bangunin nggak bangun juga. Ya sudah, mama sama Elisa makan berdua saja.”
Mendengar nama Elisa disebut, wajah Romi langsung cemberut.
Bibik ingin menyendokkan nasi untuk sang nyonya majikan, tapi bu Rosi melarangnya.
“Biar aku sendiri saja Bik, hanya ingin makan lagi sedikit, soalnya mencium aroma masakan bibik itu.”
Bibik mengangguk, lalu kembali duduk di tempatnya.
“Rom, kuliah kamu kan sudah selesai, apa yang ingin kamu kerjakan?”
“Masih menunggu wisuda, Ma.”
“Iya, masih beberapa waktu lagi kan? Bagaimana kalau besok kamu ikut mama ke kantor?”
Romi mengangkat wajahnya. Ia ingat bahwa tugasnya setelah kuliah adalah menggantikan tugas ibunya yang selama ayahnya meninggal maka ibunya lah yang menjalankan perusahaannya.
“Boleh Ma. Romi kan harus belajar.”
“Banyak yang harus kamu pelajari. Harapan mama, kamu bisa mengemudikan usaha peninggalan almarhum dengan baik dan tidak mengecewakan.”
Romi mengangguk. Entah mengapa, makan di siang hari itu rasanya sangat nikmat. Ia meraih tempat nasi, dan menambahkannya lagi ke piringnya. Bibik tersenyum melihatnya. Ia melihat sikap itu, seperti menyiratkan bahwa perasaan tuan muda gantengnya sudah lebih tenang.
“Tuh Bik, apa aku bilang, masakan Bibik sangat enak, sehingga Romi sampai nambah dua kali lhoh,” kata bu Rosi yang tak mau menyinggung masalah wajah Romi yang masih lebam, dan juga mata yang sembab bekas tangisan.
“Syukurlah. Besok, Tuan Muda ingin dimasakin apa? Pasti ayam goreng dengan kremes seperti biasanya.”
“Terserah Bibik saja. Besok pagi aku mau ikut mama ke kantor, pengin sarapan nasi goreng sosis dan telur mata sapi.”
“Pasti. Besok akan bibik buatkan yang paling istimewa untuk Tuan Muda.”
***
Sarapan di pagi hari itu, hanya bu Rosi dan Romi yang menikmatinya, karena seperti biasa, Elisa masih tidur.
Bu Rosi senang melihat Romi makan dengan lahap. Ia juga bicara banyak, seperti tak ada lagi sesuatu yang membebaninya. Ia juga bicara tentang dosennya yang cantik, tapi kemudian ditegur oleh ibunya.
“Romi, ketika seorang laki-laki sudah menikah, maka dia harus menutup mata untuk pemandangan wanita cantik yang ada disekeliling kamu.”
“Yah, Mama, kalau Romi menutup mata, nanti jalannya bisa nabrak-nabrak dong. Bagaimana kalau nabrak nya justru pada wanita cantik itu?”
“”Hei, itu hanya kiasan, bukan kamu betul-betul harus menutup mata. Arti kiasan itu adalah, walau ada gadis atau wanita yang secantik bidadari sekalipun, kamu tidak lagi boleh tertarik, apalagi menggodanya.”
“Baiklah, Romi mengerti, tapi sebenarnya Romi masih merasa belum punya istri kok Ma.”
“Apa?” bu Rosi berteriak.
Tapi Romi sudah berdiri dan setengah berlari ke lantai atas, untuk berganti pakaian. Ia melihat wajahnya di depan cermin, lebam itu belum hilang sepenuhnya. Tapi kemudian dia menutupinya dengan kaca mata hitam yang agak lebar. Ditatapnya kembali wajahnya, dan lebam itu tak lagi terlihat menyolok. Ia turun ke bawah untuk menunggu sang ibu yang sedang bersiap-siap.
Tiba-tiba terdengar teriakan Elisa yang baru saja keluar dari kamar.
“Romi, mau ke mana?”
Romi tidak menjawab,. Ia sedang sibuk mengenakan sepatunya.
“Romi mau ikut mama ke kantor, dia sudah harus mulai belajar bekerja,” yang menjawab adalah bu Rosi, yang sudah memerintahkan sopir untuk menyiapkan mobil yang akan mereka pakai.
Elisa tak menjawab, ia langsung ke arah ruang makan, dan berteriak memanggil bibik.
***
Ketika bibik menyajikan nasi goreng ke meja, dimana Elisa sudah duduk, sang nyonya muda melongok melihatnya.
“Itu apa Bik?”
“Ini nasi goreng, Non.”
“Nasi goreng lagi? Bukankah dua hari yang lalu sudah nasi goreng?”
“Yang minta tuan Muda Romi. Ia ingin nasi goreng sosis dan telur mata sapi. Enak kok Non, tadi tuan muda sampai nambah dua kali.”
“Enak itu kan menurut kamu. Aku nggak mau nasi goreng.”
“Nona mau makan apa?”
“Aku mau bistik daging, dikasih kentang.”
“Tapi itu memerlukan waktu masak Non, nanti Non menunggu kelamaan.”
“Nggak apa kelamaan, aku tidak akan pingsan selama menunggu.”
“Baiklah,” kata bibik sambil membawa kembali basi berisi nasi goreng tersebut, dan bersiap memasak seperti pesanan nyonya muda majikannya. Agak kesal sih, soalnya dia harus segera ke pasar untuk belanja. Tapi mana berani bibik membantahnya?
Sementara itu Elisa sedang bertelpon dengan ibunya.
“Kamu harus bertahan, Elisa. Kalau kamu meninggalkan keluarga ini, kamu dikira kalah, dan melarikan diri karena melakukan kesalahan.”
“Tapi benar ya Ma, nanti kalau Romi ingin tes DNA, maka Mama yakin semuanya akan baik-baik saja?”
“Mama punya banyak uang, dan mama mengenal orang-orang di rumah sakit besar yang ada dikota ini. Tak ada yang harus kamu khawatirkan. Kamu harus bersikap tenang, seakan-akan kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Terima kasih Mama, Mama selalu bisa menenangkan hati Elisa.”
“Tentu saja, kamu adalah anak Mama satu-satunya, dan kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan mama dan papamu juga.”
“Baiklah, Mama.”
“Kamu sedang sendirian?”
“Iya Ma, Romi dan mamanya sudah berangkat ke kantor.”
“Romi sudah mulai bekerja?”
“Baru hari ini dia mulai, setelah dia lulus.”
“Baguslah. Mama pastikan dia akan tetap menjadikan kamu istrinya, tak ada yang harus kamu khawatirkan.”
“Baik, Ma.”
Elisa meletakkan ponselnya dengan perasaan lega. Sudah setiap kali sang mama membuatnya tenang dengan janji akan membantu, tapi Elisa selalu menanyakannya setiap kali bertelpon.
“Bibiiiik, sudah apa belum?”
”Sebentar Non, tunggu mendidih dulu,” teriak bibik dari arah dapur. Beruntung daging yang disimpan sudah daging rebusan dan empuk, sehingga bibik bisa memasak cepat dan tidak harus menunggu dagingnya empuk.
“Cepat Bik, aku sudah lapar niih.”
“Ini sudah selesai, akan bibik siapkan.”
Elisa mencium aroma bistik yang diinginkannya. Perutnya sudah keroncongan karena menunggu terlalu lama. Tapi mau bagaimana lagi, yang diinginkan memerlukan waktu untuk memasak.
Ketika bibik menyajikannya, aroma bistik sudah menusuk-nusuk hidungnya.
“Ini yang minta jabang bayi, Bik. Bukan aku,” katanya sambil menyendok masakan yang dihidangkan.”
“Iya Non,” bibik hanya mengangguk melegakan.
***
Berhari-hari setelah malam itu bersantai, pak Istijab baru menanyakannya, tentang Aisah yang urung diajaknya menemuinya.
“Banyak sekali pekerjaan, sehingga aku belum mendengar tentang Aisah.”
“Sebenarnya Luki sudah bilang sama Bapak bahwa Luki belum bisa mengajak Aisah menemui Bapak, tapi Bapak sedang menekuni banyak hal tentang laporan pekerjaan.”
“Iya, itu benar. Sekarang ceritakan, kenapa kamu tidak jadi mengajak Aisah menemui bapak?”
“Orang tuanya tidak mengijinkan, Pak.”
“Apa? Orang tuanya tidak mengijinkan? Apa kamu tidak mengatakan bahwa kamu itu sudah mapan dan pasti bisa menghidupi istri dan keluarga, kelak?”
“Bukan masalah itu. Mereka hanya belum bisa mengijinkan Luki mengajak Aisah pergi. Kita harus maklum, karena Aisah seorang gadis, mana mungkin diperbolehkan dibawa ke tempat jauh oleh laki-laki yang belum lama mereka kenal.”
“Apa ketika kalian masih kecil dan main bersama-sama, orang tua mereka tidak melihatnya sehingga sekarang tidak percaya ketika kamu mengajak anaknya?”
“Mereka ingat siapa Luki. Tapi kan setelah dewasa, baru sekali itu ketemu. Anak mereka itu perempuan, kita harus memakluminya.”
“Lalu bagaimana bapak bisa melihat calon menantu bapak?”
“Keluarga Aisah berharap Bapak yang datang menemui mereka, bersilaturahmi sambil mengenal calon menantu Bapak.”
Pak Istijab terdiam. Ia baru menyadarinya, bahwa punya anak perempuan dan laki-laki itu beda cara menjaganya. Tentu saja mereka tak akan melepaskan anak gadisnya pergi jauh bersama seseorang yang entah apa yang akan terjadi di suatu tempat nanti.
“Baiklah, bapak mengerti.”
“Kapan kita akan ke sana?”
“Tunggu Bapak selesaikan dulu urusan kantor. Mungkin minggu depan, aku juga akan minta Harsono untuk menemani nanti.”
Luki merasa lega, karena sang ayah bisa mengerti.
***
Elisa sedang berbaring di kamarnya. Ia gadis manja yang tak suka bekerja, walau hanya untuk membersihkan kamar sekalipun. Semuanya bibik yang melakukannya. Dan karena itu pula walau di rumah sendirian, tak tergerak dihatinya untuk ikut bibik belanja, untuk sekedar melihat-lihat atau barangkali ia juga menginginkan sesuatu.
Ketika berbaring itulah, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah nomor asing, tapi karena ingin tahu dia siapa, maka Elisa mengangkatnya.
“Hallo, ini Elisa?”
“Ya, kamu siapa?”
“Apa kamu sedang mengandung anakku?”
***
Besok lagi ya.