BERSAMA HUJAN 32

 BERSAMA HUJAN  32

(Tien Kumalasari)

 

Luki terkejut mendengar reaksi ayahnya, namun karena ada Aisah maka dia tak memperlihatkannya. Luki menampakkan senyuman, walau terlihat kaku, lalu ia menutup ponselnya setelah berpamit pada ayahnya.

“Ayo kita pergi.”

“Mengapa belum-belum sudah bilang pada bapak kalau Mas akan mengajak aku ke rumah? Aku kan belum bilang sama orang tua aku.”

“Iya, nggak apa-apa. Harapanku akan diijinkan kok,” kata Luki sambil tersenyum.

“Kepedean deh.”

“Orang punya keinginan itu harus pede. Jangan seperti orang kalah sebelum perang. Yang penting semangat. Ya kan?”

Aisah tersenyum. Ia belum bisa membayangkan, bagaimana reaksi kedua orang tuanya saat tahu ketika tiba-tiba ada laki-laki yang ingin mengajaknya pergi.

Tapi kemudian Aisah ingat, bahwa ayah ibunya mengenal Luki. Memang sih, waktu itu mereka masih kanak-kanak, tapi setidaknya nama Luki sudah dikenalnya, dan mereka tahu bahwa Luki bukan anak nakal, bahkan katanya Luki anak yang pintar. Apakah dengan itu maka ayah ibunya akan dengan mudah mengijinkannya? Entahlah, Aisah tak ingin memikirkannya. Ia sedang menikmati kebersamaannya dengan Luki, teman masa kecilnya yang setelah dewasa, berani menyatakan cinta, dan itu dilakukannya dengan sangat romantis dan begitu manis.

Kalau Aisah tersenyum-senyum menikmati kebahagiaannya, tidak demikian dengan Luki yang sangat gelisah memikirkan reaksi sang ayah ketika mendengar dia ingin memperkenalkannya dengan Aisah. Bukankah sang ayah sudah mengenal Aisah? Gadis kecil dengan rambut sebahu yang selalu dikucir bak ekor kuda, dan menjawab dengan kemayu saat ditanya.

Ini pasti gara-gara keinginannya bermenantukan Andin sudah jelas tidak akan terlaksana. Padahal sang ayah mengenal Andin hanya dari foto yang ditunjukkan oleh pak Harsono. Memang sih, Andin tidak mengecewakan. Lepas dari keadaannya yang ternoda, yang sebenarnya tidak diketahuinya, Andin adalah gadis cantik yang bersikap sangat baik. Dia juga tekun dalam menjalani kuliahnya, dan bersemangat untuk berhasil, seperti harapan orang tuanya. Tapi dalam hidup berumah tangga harus ada satu kata yang digenggam, yaitu cinta. Dan keduanya tidak saling memiliki rasa itu. Mengapa ayahnya tidak juga mau mengerti?

“Mas, kok dari tadi diam?” tegur Aisah yang heran melihat sikap Luki yang berbeda. Yang biasanya suka bercanda, kali ini banyak diamnya. Ia hanya menjawab saat ditanya.

“Eh … apa?” jawab Luki agak gugup.

“Kenapa Mas kelihatan aneh? Seperti gelisah, begitu?”

“Ya ampun, benarkah aku kelihatan gelisah? Kamu tahu Ais, sebenarnya aku memikirkan bagaimana nanti sikap kedua orang tua kamu ketika aku meminta kamu agar ikut bersama aku.”

“Oh, itu. Kenapa dipikirkan sekarang? Biarkan apa yang terjadi nanti, sekarang lebih baik menikmati dan merayakan hari baik ini.”

“Hm … iya sih.”

“Baru saja Mas mengatakan bahwa punya keinginan itu harus pede. Jangan kalah sebelum perang. Kenapa sekarang jadi berubah?”

Luki tertawa pelan. Ia menyadari bahwa mengatakan tak mudah menjalaninya.

“Iya.”

“Bagaimana kalau kita makan dulu? Perutku lapar nih.”

“Baiklah kalau begitu, kita cari warung di depan itu ya.”

“Ya, aku juga mau menelpon ibu, mengatakan bahwa aku lulus, mereka pasti menunggu, dan aku lupa mengabarinya.”

***

Pak Harsono pulang agak siang, karena di hari Sabtu itu tak banyak pekerjaan yang harus di selesaikannya. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Pak Harsono mengangkatnya, dan berdebar karena yang menelpon adalah pak Istijab. Pasti masalah perjodohan itu lagi. Tapi pak Harsono harus mengangkatnya. Ia merasa, sebaiknya segera mengatakan saja dengan terus terang mengenai anaknya, yang walau belum secara resmi tapi telah dipinang oleh seseorang. Pinangan dokter Faris itu lebih menenangkannya, karena dokter Faris sudah mengetahui keadaan Andin yang sebenarnya. Kemarin-kemarin dia hanya masih ragu-ragu berterus terang kepada sahabatnya itu.

“Har, kamu ada di situ?” kata pak Tijab karena walau sudah membuka ponselnya tapi pak Harsono tidak segera menyapanya.

“Oh, eh … iya Mas, maaf, saya baru datang dari kantor, dan ini sambil berganti pakaian,” jawab pak Harsono asal.

“Baiklah. Sebenarnya aku ingin bertanya tentang anak kamu. Dan sebenarnya juga, aku agak kesal sama kamu,” kata pak Tijab yang langsung menyatakan kekesalan hatinya.

“Memangnya kenapa Mas?” pak Harsono pura-pura tidak tahu.

“Kamu merasa telah mempermainkan aku apa tidak sih?”

“Mempermainkan bagaimana Mas?”

“Kalau aku bicara tentang Andin, jawabmu hanya Andin masih ingin kuliah, Andin belum bisa diajak bicara, dan ini … dan itu … pokoknya kamu banyak memberi alasan supaya aku berhenti ngomong. Tapi pada kenyataannya, anakmu itu sudah punya pacar. Ya kan?”

Pak Harsono terkejut. Darimana sahabatnya ini bisa tahu kalau Andin sudah punya pacar? Sebenarnya sih bukan pacar, justru lebih dari itu karena dokter Faris sudah mengatakan ingin menjaga Andin dan membahagiakannya. Tapi bahwa hubungan itu ada, pastinya pak Harsono sudah memahaminya. Mungkin Andin masih takut mengatakannya, atau ragu-ragu karena dia belum menyelesaikan kuliahnya, entahlah.

“Har, kamu masih di situ?”

“Iya Mas, iya.”

“Kenapa tidak menjawab kata-kataku tadi?”

“Maaf Mas, sebenarnya begini. Bahwa Andin masih ingin menyelesaikan kuliahnya, itu benar. Tapi tentang Andin sudah punya pacar, tidak sepenuhnya benar.”

“Tidak sepenuhnya benar itu bagaimana? Setengah salah, setengah benar?” kata pak Istijab dengan nada tinggi.

“Begini. Ada seseorang yang ingin menjadikan Andin istrinya.”

“Mengapa kamu tidak pernah mengatakannya, sementara aku terus berharap? Bukankah itu namanya mempermainkan aku?”

Pak Harsono bingung menjawabnya, lalu daripada sahabatnya semakin marah, maka pak Harsono kemudian mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Andin, sehingga ia merasa rendah diri, dan bingung menerima lamaran. Pokoknya semuanya dikatakan. Apa boleh buat. Memang itu adalah aib keluarganya, tapi pak Istijab adalah sahabatnya, dan ia yakin sang sahabat akan bisa mengerti mengapa dia seperti berbelit-belit.

Dan ternyata pak Istijab mendengarkan dengan penuh rasa iba. Iba karena ternyata Andin pernah mengalami kejadian yang sangat mengerikan dan membuatnya cacat batin seumur hidup.

“Astaghfirullah, jadi begitu kejadiannya?”

“Iya Mas, tapi aku mohon, hanya Mas saja yang mengetahui kejadian ini, agar Andin tidak terluka karena rahasianya tersebar.”

“Iya, aku bisa mengerti. Tapi bagaimana dokter itu kemudian bisa menerima anakmu?”

“Dia mengetahui keadaan Andin, bahkan menolongnya ketika Andin keguguran. Itu sebabnya saya menerima lamarannya, walaupun belum secara resmi. Dengan apa yang saya katakan ini, saya harap Mas bisa mengerti, mengapa aku seperti berbelit-belit saat mas berbicara soal perjodohan ini.”

“Baiklah, sekarang aku juga ingin berterus terang, bahwa sebenarnya Luki juga tidak setuju adanya perjodohan ini. Akulah yang memaksa, mengingat persahabatan kita. Tapi, yah … ternyata orang hidup itu hanya bisa berharap, dan yang terjadi hanyalah apa yang dikendaki oleh Yang Maha Kuasa.”

“Benar Mas. Saya bersyukur Mas bisa mengerti. Saya berharap, anak-anak kita bisa menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.”

“Aamiin. Itu harapan kita semua. Tapi aku juga minta maaf ya Har, tadi tiba-tiba aku marah-marah sama kamu. Kamu kan tahu, bahwa aku ini memang agak kasar, gampang sekali marah.”

“Tidak apa-apa Mas, kita sudah berteman sejak lama, aku sudah tahu, Mas Tijab itu bagaimana. Tapi meskipun gampang marah, Mas Tijab juga gampang luluh untuk melupakan semua yang membuatnya marah.”

Ketika menutup ponselnya, pak Harsono bisa bernapas dengan sangat lega. Kiranya semua permasalahan, sedikit demi sedikit bisa terurai dengan sangat baik tanpa ada yang terluka.

***

 Ketika Andin pulang, pak Harsono sudah duduk di ruang tengah sambil menikmati acara televisi. Wajahnya tampak tenang, dan itu membuat Andin senang. Karena sejauh ini Andin melihat wajah ayahnya tak pernah cerah, seperti ada beban yang mengganjal. Tapi ketika ditanya, sang ayah hanya bilang ‘tak apa-apa’.

“Bapak kok sudah pulang?”

“Iya, ini kan hari Sabtu, jadi bapak bisa pulang setengah hari. Kamu juga sudah pulang?”

“Iya, sudah tidak ada kelas. Bapak sudah makan? Aduh, Andin baru mau masak, tadi mampir belanja di pasar.”

“Jangan repot memasak, bapak sudah beli makanan. Sate lontong kesukaan kamu.”

Wajah Andin berseri. Ia meletakkan belanjaan ke dapur, sambil melongok ke meja makan, dimana sang ayah sudah meletakkan sate lontong yang dibelinya.

“Kenapa tidak segera dimakan sate lontongnya, Pak?”

“Bapak nunggu kamu. Lebih enak makan bersama-sama, tidak sendirian.”

“Baiklah, Andin ganti baju dulu ya.”

Pak Harsono berdiri lalu beranjak ke ruang makan. Ia sudah menyiapkan piring-piring, kalau nanti sewaktu-waktu Andin datang tidak usah repot-repot menyiapkannya.

Ketika Andin datang, pak Harsono sedang menuangkan air putih ke dalam gelas-gelas, untuk dirinya sendiri dan untuk Andin.

“Mengapa tidak menunggu Andin.”

“Memangnya kenapa, bapak kan tidak harus selalu dilayani. Ada kalanya bapak juga ingin menyiapkan sesuatu untuk anak bapak yang cantik ini.”

“Bapak selalu begitu.” Andin tersenyum, lalu duduk di hadapan ayahnya.

Mereka makan siang dengan nikmat.

“Tadi mas Tijab menelpon.”

Senyum Andin tiba-tiba menghilang.

“Tapi dia tidak lagi mendesak soal perjodohan kamu dan Luki.”

Wajah Andin kembali cerah.

“Benarkah?”

“Luki juga tidak menyukai perjodohan ini,” kata pak Harsono yang tak ingin mengatakan bahwa dia sudah mengatakan semuanya kepada sahabatnya.

Andin tersenyum.

“Mas Luki menyukai Aisah.”

“Benarkah?”

“Mereka kan teman masa kecil. Ketika bertemu dan sudah dewasa, ternyata mereka saling menyukai. Andin senang sekali. Mereka orang-orang baik.”

“Syukurlah, bapak juga senang.”

Mereka senang, perjodohan yang tak diinginkan telah terurai. Tiba-tiba Andin teringat dokter Faris yang sudah terang-terangan mengatakan rasa sukanya pada sang ayah. Tapi sejauh ini sang ayah belum mengatakan apapun.

“Andin. Apakah kuliah kamu masih akan lama?” tiba-tiba kata ayahnya.

“Andin akan berusaha agar tahun depan bisa selesai.”

“Syukurlah. Kalau ada biaya yang harus dibayar, katakan saja pada bapak. Bapak sudah menyiapkan semuanya.”

“Andin juga punya tabungan. Nanti kalau kurang, Andin akan bilang pada Bapak.”

“Sebenarnya uang kamu itu bisa untuk membeli semua keperluan kamu yang lain, soalnya masalah biaya kuliah, bapak sudah menyiapkannya.”

“Tidak apa-apa. Bukankah niat Andin untuk bekerja itu memang untuk mengurangi beban Bapak? Jadi biarkan Andin membantu Bapak.”

Pak Harsono menatap anak gadisnya dengan rasa terharu.

“Setelah lulus, kamu akan menikah.”

Andin mengangkat wajahnya.

“Bukankah kamu sudah mengerti bahwa dokter Faris sudah bicara sama bapak tentang keinginannya meminang kamu?”

Andin tertunduk tersipu. Baru kali ini sang ayah bicara tentang hubungan Andin dengan seseorang, yang tampaknya tidak akan ditentangnya.

“Bukankah kamu juga menyukainya?”

“Sebenarnya Andin takut mengecewakan.”

“Berkali-kali dia mengatakan bersedia menjagamu dengan segala kelebihan dan kekurangan kamu. Aku kira dia laki-laki baik yang akan menepati janjinya.”

“Semoga saja Pak.”

“Janganlah sebuah sandungan membuat kamu berhenti melangkah. Nanti, ketika bapak sudah dipanggil, bapak harus mengerti bahwa kamu hidup bahagia, disamping orang yang bisa menjaga dan mencintai kamu. Bapak percaya, dokter Faris akan melakukannya.”

“Bapak jangan bicara tentang sesuatu yang membuat Andin sedih. Bapak akan selalu bersama Andin.”

“Masa begitu sih? Kalau kamu sudah menjadi istri seseorang, pastilah kamu akan dibawa oleh dia.”

“Andin akan minta agar Bapak selalu berada di dekat Andin. Kalau dia tidak mau, Andin juga tidak mau dinikahi.”

Pak Harsono tertawa lirih.

“Kamu seperti anak kecil saja.”

Mereka melanjutkan makan dengan nikmat, bukan hanya di lidah, tapi juga nyaman di dalam hati.

***

Hari sudah sore ketika Luki mengantarkan Aisah ke rumahnya. Ia bersiap untuk mengatakan kepada kedua orang tua Aisah tentang hubungan mereka, dan kalau boleh akan mengajak Aisah menemui ayahnya. Tapi sebenarnya Luki masih ragu tentang keinginannya yang terakhir ini. Kalau ia sudah datang bersama Aisah, dan sang ayah menolak, pasti Aisah akan terluka, dan hubungan mereka entah akan bagaimana, dan itu membuat Luki ketakutan. Karenanya ia hanya akan bersilaturahmi dulu dengan kedua orang tua Aisah.

“Ayo Mas, kenapa berdiri saja di situ? Grogi ya?” ejek Aisah yang lebih dulu masuk ke dalam, sementara Luki masih berdiri di depan teras.

Tapi tiba-tiba ponsel Luki berdering. Aduh, dari ayahnya lagi. Mau bicara apa lagi sang ayah ini, sementara tadi sudah bersikap seolah menolak keinginannya.

“Assalamu’alaikum, Pak.”

“Wa’alaikumussalam. Kamu di mana?”

“Luki sedang … di jalan Pak,” katanya bohong.

“Kapan kamu akan mengajak Aisah menemui bapak?”

Luki ingin berteriak karena gembira, ini sebuah sapa dari ayahnya  yang membuatnya lega.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post