BERSAMA HUJAN 30

 BERSAMA HUJAN  30

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rosi melotot memandangi anaknya, apalagi Elisa yang wajahnya sudah menjadi merah padam. Mereka menatap Romi tak berkedip. Nama itu sudah disebutkannya berkali-kali, sejak Romi masih belum sadar dari pingsannya.

“Siapa dia?”

“Kamu sadar apa yang kamu katakan, Romi? Ini adalah istri kamu, Elisa, yang menunggui kamu sejak kamu dirawat.”

“Katakan siapa gadis bernama Andin itu?”

“Dia tak sepadan denganmu,” kata Romi sengit, kemudian membalikkan tubuhnya memunggungi istrinya.

“Mama, tolong tanyakan, siapa dia sebenarnya,” rengek Elisa.

“Romi, siapa yang kamu maksudkan itu? Apa itu Kinanti?”

“Siapa pula Kinanti?” tanya Elisa yang semakin kesal ada dua nama perempuan disebutkan.

“Mama, sebaiknya tinggalkan Romi sendirian,” kata Romi tanpa menatap istrinya.

“Kamu itu ya, di rumah tidak perhatian sama aku. Di sini, saat kamu sakit, juga tidak peduli sama aku, sementara aku selalu mengkhawatirkan kamu,” keluh Elisa sambil berlinang air mata.

“Mama, tolong ajak dia pergi dari sini,” kata Romi agak keras.

“Maukah kamu mengatakan apa sebenarnya maksud kamu, Romi?” pinta sang mama.

“Ajak dia pulang, Ma. Aku tak mau dia di sini.”

“Sudah sejak dua hari yang lalu dia menunggui kamu, tolong kamu jangan bersikap begitu. Dia adalah istri kamu. Kamu pasti tidak melupakannya.”

“Romi minta bawa dia pulang, kepala Romi sakit kalau ada dia,” Romi berteriak semakin keras.

Bu Rosi menghela napas panjang. Tanpa menjawab apapun juga, digandengnya tangan Elisa, dibawanya keluar dari ruangan itu.

Elisa mengusap air matanya di sepanjang langkah mereka menuju parkiran. Bu Rosi memilih memegang kemudi karena Elisa tampak sedang kacau.

“Jangan kamu pikirkan ucapan suami kamu. Dia sedang tidak sehat, bisa saja apa yang diucapkannya adalah hal yang tidak pernah dipikirkannya. Lebih jelasnya hanya khayalan dia saja,” bujuk bu Rosi sambil mengemudikan mobilnya untuk pulang.

“Tapi berarti nama itu memang ada di dalam benaknya, bukan? Saat sehat dia tak mengucapkannya, tapi saat sakit, dan barangkali dia setengah sadar, nama itu diucapkannya. Bahkan dia ingin mengambilnya sebagai istri.”

“Nanti kalau dia sudah sehat dan pulang ke rumah, mama akan mengajaknya bicara.”

“Mengapa dia selalu menyakiti Elisa, Ma?”

“Kamu kan tahu, dia mencurigai bayi yang kamu kandung itu sebagai bukan darah dagingnya.”

“Itu omong kosong Ma.”

“Besok kalau anakmu lahir, baru Romi bisa mengerti. Pasti hubungan kalian akan menjadi baik-baik saja. Untuk sekarang ini lebih baik kamu bersabar.”

Tapi mendengar perkataan ibu mertuanya tersebut, hati Elisa terasa miris. Kalau bayi yang dikandungnya lahir, lalu apa? Tes DNA? Elisa kemudian berpikir untuk bisa menghindari hal tersebut. Tapi apa yang harus dilakukan?

“Wanita yang sedang mengandung tidak boleh banyak pikiran. Itu akan berpengaruh pada bayi yang kamu kandung.”

“Romi yang membuat Elisa tertekan, Ma.”

“Kamu kan sudah tahu, Romi itu bagaimana, jadi lebih baik kamu tidak usah memikirkannya. Yang penting kamu sehat, bayimu juga sehat. Ya kan?”

“Bagaimana kalau Elisa melahirkan di luar negri saja?”

“Apa maksudmu?” bu Rosi kaget mendengar ucapan menantunya.

“Biar ditunggin mama sama papa Elisa.”

“Jangan membuat hati mama ini khawatir. Kalau kamu melahirkan di sana, bagaimana dengan mama? Mama sangat ingin punya cucu. Dan ingin menunggui lahirnya cucu mama ini. Kamu tega meninggalkan mama?”

“Tapi Romi tidak suka sama Elisa. Lebih baik Elisa pergi saja.”

“Tidak untuk sekarang, Elisa, kamu harus bertahan. Kalau bayi ini sudah lahir, dan agak besar, kamu bisa membawanya jalan-jalan. Nanti mama akan menemani,” kata bu Rosi sambil menepuk tangan menantunya.

Elisa terdiam. Ada rasa nyaman ketika sang mama mertua mendukungnya. Elisa pun kemudian ingin bertahan. Dia berpikir akan pergi nanti saat sudah dekat saat melahirkan, agar Romi tidak perlu melakukan tes DNA atas bayinya. Kalau sekarang dia pergi, akan kelihatan dirinya seperti melarikan diri untuk menghindari tuduhan Romi. Ia akan minta kepada ibunya sendiri untuk  membantunya nanti.

***

Pagi hari itu Andin sudah berangkat kuliah, tapi dia melarang ayahnya untuk berangkat bekerja. Setelah kehujanan beberapa hari yang lalu, memang pak Harsono menderita batuk dan pilek. Memang sih, hanya batuk dan pilek, tapi alam sedang tidak bersahabat. Terkadang hujan, terkadang panas, dan itu tidak baik untuk kesehatan pak Harsono yang sudah tidak muda lagi.

Ia sedang duduk di teras, dan merasa bosan berada di kamar, ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah taksi berhenti di depan gerbang. Ketika seseorang turun dari taksi, pak Harsono terkejut, melihat yang datang adalah pak Istijab, sahabatnya. Ada rasa senang, tapi ada rasa tak enak, kalau nanti sahabatnya itu berbicara lagi tentang perjodohan.

Pak Harsono berdiri menyambut, dan begitu dekat mereka langsung berangkulan dengan hangat.

“Mas Tijab datang tanpa kabar sih, kaget saya.”

“Memang aku ingin membuat kejutan. Tadi aku menelpon kantor kamu, katanya kamu masih sakit dan belum masuk kerja, makanya aku langsung datang kemari.”

Pak Harsono mempersilakan tamunya masuk ke dalam.

“Agak flu, Mas. Tapi sebenarnya sudah tidak apa-apa. Andin saja yang melarang saya masuk kerja hari ini. Katanya sekalian besok Senin.”

“Oh iya, mana Andin?”

“Dia kuliah Mas. Sedang ngebut dia. Supaya cepat selesai, katanya.”

“Syukurlah, cepat selesai dan segera kita merancang pernikahan mereka,” kata pak Istijab penuh semangat. Tapi ucapan itu membuat pak Harsono berdebar. Ia tak akan kuasa menolaknya.

“Kenapa kamu tidak tampak gembira, Har?”

Pak Harsono mencoba untuk tersenyum.

“Bukan tidak gembira Mas, kan Andin masih kuliah, jadi belum bisa mengatakan apa-apa tentang perjodohan itu. Andin juga belum bisa diajak bicara.”

“Waktu Luki kemari, bukankah mereka sudah bertemu?”

“Benar. Malah Luki juga makan pagi di sini, dengan lauk seadanya.”

“Syukurlah, berarti mereka sudah semakin dekat,” pak Istijab tampak sangat nekat.

“Mereka bertemu tidak lama, karena saat itu kan saya juga lagi sakit.”

“O iya, waktu itu kabarnya kamu sakit. Ya sudahlah, kita tunggu saja kapan waktunya mereka siap. Kalau orang-orang tua seperti kita kan memang sudah mempersiapkan semuanya, ya kan Har?”

Pak Harsono menelan ludahnya.

“Andin itu agak sulit.”

“Sulit bagaimana?”

“Ketika dia sedang menekuni sesuatu, dia tidak mau memikirkan yang lainnya.”

“Itu benar. Dia harus fokus pada tujuannya. Aku senang. Dia gadis yang baik dan tekun. Luki akan bahagia hidup di sampingnya.”

Pak Harsono menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Bahkan kalau Andin mau, menikah saja dulu, tidak apa-apa kalau dia masih ingin melanjutkan kuliah. Dengan begitu kamu tidak usah memikirkan biaya kuliahnya lagi. Ya kan? Aku juga sudah bicara tentang hal ini pada Luki, hanya saja Luki juga masih fokus menata usahanya yang rencananya akan dikembangkan juga di kota ini.”

Pak Harsono kebingungan menjawabnya.

“Kamu tampak gelisah, Har?”

“Ini, saya bingung harus menghidangkan apa, soalnya_”

“Tidak usah bingung. Bagaimana kalau kita keluar saja, untuk sekedar ngopi. Aku juga belum sarapan lho Har. Kamu sudah kuat, bukan, bagaimana kalau kita jalan sebentar?”

“Iya Mas, saya tidak apa-apa kok. Kalau begitu saya ganti baju dulu.”

“Baik, kamu ganti baju, biar saya memanggil taksinya. Nanti kita carter saja, supaya kita bisa jalan-jalan kemanapun kita mau.”

Pak Harsono masuk ke dalam rumah, tapi belum bisa mengendapkan perasaan gelisahnya, karena tampaknya pak Istijab sangat bersemangat dalam membicarakan perjodohan anak-anak mereka. Sedangkan dia sudah bilang tentang Andin yang masih ingin kuliah saja, pak Istijab  ingin tetap melangsungkan perjodohan itu, serta ingin segera menikahkannya. Bahkan ingin segera menikahkannya, dan membiarkan Andin melanjutkan kuliah.

***

Ketika mereka sedang ngopi di sebuah warung, tiba-tiba Luki menelponnya. Luki sebenarnya sudah melarang ayahnya untuk mengunjungi pak Harsono, karena dia tidak ingin kedua sahabat itu membicarakan perjodohan. Setelah bertemu Aisah, Luki merasa bahwa perasaan cintanya bukan kepada Andin, tapi kepada Aisah. Hanya saja dia belum berani mengutarakannya kepada sang ayah, soalnya dia juga belum mengatakan isi hatinya kepada Aisah.

“Luki, ada apa?” kata pak Istijab setelah mengucapkan salam.

“Bapak di mana?”

“Sedang ngopi nih, sama om kamu.”

“Katanya om Harsono sakit?”

“Tidak, hanya flu. Tapi dia tidak ke kantor hari ini. Kamu mengganggu saja, kami sedang asyik membicarakan perjodohan kalian.”

“Bapak jangan dulu bicara tentang perjodohan.”

“Memangnya kenapa?”

Pak Istijab memerlukan keluar dari ruangan itu, ketika harus menegur Luki yang tampaknya tidak suka tentang adanya perjodohan itu.

“Andin belum mau memikirkan perjodohan itu, jadi Bapak jangan mengusiknya.”

“Bapak tidak mengusik kok. Bapak kan pernah bilang sama kamu, menikah dulu tidak apa-apa, lalu kalau Andin ingin melanjutkan kuliah, juga tidak apa-apa. Bahkan kalau mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, bapak sanggup membiayainya.”

“Tidak dulu Pak, Luki juga belum ingin.”

“Kamu bagaimana sih. Memang sejak lama bapak sudah tahu kalau kamu sebenarnya tidak suka. Kamu jangan pernah membuat orang tua kecewa. Orang tua itu memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Apa sih yang kamu inginkan? Gadis mana yang kamu inginkan? Bukankah saat kamu mau berangkat kemari, kamu tidak membantahnya? Apa kamu kecewa setelah melihat orangnya? Apa dia kurang cantik? Apa dia terlalu sederhana, sementara kamu lebih suka yang modis, berpenampilan seksi dan menawan?”

“Bukan begitu Pak. Saya datang kemari itu kan sebenarnya ada hubungannya dengan pekerjaan. Dan kebetulan Bapak ingin Luki ketemu Andin.”

“Lalu apa? Kamu kecewa karena dia bukan type kamu?”

“Bukan Pak, kami sama-sama belum memikirkan. Jadi Bapak harus bersabar dulu ya,” Luki menjawab dengan lembut, berharap bisa menenangkan kekesalan ayahnya yang tiba-tiba terdengar sangat meluap-luap.

“Terserah kamu saja,” kata pak Istijab yang segera menutup ponselnya, lalu masuk kembali ke dalam ruangan, duduk di depan sahabatnya sambil menyeruput lagi kopinya. Tapi wajah merah padam itu tertangkap oleh mata pak Harsono.

“Ada masalah Mas?”

“Kesal aku.”

“Tentang pekerjaan?”

“Ya, tentang pekerjaan,” akhirnya kata pak Istijab, karena merasa tidak enak kalau mengatakan bahwa Luki tampaknya juga menentang perjodohan itu.

***

 Hari itu Aisah sedang santai di rumah. Ia menunggu jadwal ujian minggu depan, dan ingin main ke rumah Kinanti, karena Andin pasti sedang berada di kampus. Ia terkejut ketika tiba-tiba Luki menelponnya.

“Assalamu’alaikum,” sapa Aisah.

“Wa’alaikumussalam. Kamu di kampus?”

“Tidak, aku di rumah. Ada apa?”

“Kamu tahu kalau ayah aku ada dikota ini?”

“Oh, ya? Nggak tahu tuh, kan ayah kamu tidak datang menemui aku,” canda Aisah.”

“Kalau mau sih, aku minta agar dia datang menemui kamu.”

“Kenapa? Bukannya beliau sahabatnya pak Harsono?”

“Kalau ke rumah kamu, berarti dia melamar kamu,” canda Luki.

Aisah terkekeh geli.

“Melamar untuk siapa?”

“Untuk aku lah, masa untuk ayahku.”

Aisah masih terkekeh.

“Aku kesal sama bapak, dia nekat berbicara tentang perjodohan sama om Harsono. Sementara kami kan tidak saling suka. Andin juga sudah punya pilihan, dokter ganteng yang selalu ada di dekatnya, ya kan?”

“Tapi kalau memang orang tua menjodohkan, mau bagaimana lagi?”

“Nggak bisa begitu dong. Kami masing-masing menyukai orang lain. Andin suka sama dokter Faris.”

“Mas Luki suka sama siapa?”

“Sama kamu lah, siapa lagi.”

“Jangan bercanda.”

“Aku serius.”

“Ini ungkapan cinta kah?”

“Iya, aku cinta sama kamu.”

“Huh, nggak romantis banget.”

“Tapi kamu menerima kan?”

Aisah menelan salivanya, menata batinnya yang terguncang. Memang dia suka sama Luki, tapi pernyataan cinta yang tiba-tiba, lewat telpon pula, itu sangat mengejutkannya. Bukan karena tidak romantis sih, tapi benar-benar membuatnya gemetar. Bahkan tangan yang memegang ponsel itupun bergetar.

“Hei, kamu masih di situ? Kenapa diam?”

“Aku terkejut.”

“Kalau kamu ingin, minggu depan aku akan datang kemari.”

“Hari apa? Aku ujian hari Sabtu minggu depan.”

“Aku antar kamu saat ujian, menunggu kamu sampai selesai dan dinyatakan lulus.”

“Mas Luki serius?”

“Sangat serius.”

Sampai kemudian Aisah meletakkan ponselnya, getar itu masih ada.

***

Pak Istijab yang merasa kecewa atas sikap anaknya, langsung pulang hari itu juga. Malam harinya, begitu Luki pulang dari kantor, terkejut ketika sang ayah sudah di rumah. Wajahnya gelap, dan bertambah gelap ketika dia mendekat dan menyapanya.

“Kok Bapak sudah pulang?”

“Apa lagi yang akan bapak katakan? Kamu sangat mengecewakan.”

“Luki minta maaf.”

“Kamu akan membuat bapak malu, tahu. Bapak sudah bicara panjang lebar, tapi ternyata tanggapan kamu amat membuat bapak kecewa.”

“Luki minta maaf kalau mengecewakan Bapak. Tapi Luki mencintai gadis lain.”

“Apa kamu ingin membuat ayahmu ini malu?” kata pak Istijab dengan nada tinggi.

“Saya kira Bapak tidak perlu malu. Bukankah saat ini Andin ataupun om Harsono belum memberikan jawaban yang pasti?”

“Itu karena Andin masih harus menyelesaikan kuliah dan tidak ingin memikirkan perjodohan ini.”

“Bukan Pak. Luki harap Bapak mengerti. Andin juga mencintai laki-laki lain.”

Pak Istijab terpana.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post