BERSAMA HUJAN 28

 BERSAMA HUJAN  28

(Tien Kumalasari)

 

 

Bayangan yang datang itu semakin dekat, dan Andin terkejut ketika tiba-tiba tamu tak diundang itu berlutut di tanah, tepat di depan tangga teras, dimana Andin masih berdiri kaku disana.

“Andin, maafkanlah aku,” rintihnya pelan sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Laki-laki, sang tamu adalah Romi, orang yang sangat dibenci Andin, dan tak ingin dilihat selamanya. Sekarang laki-laki itu sedang berlutut di hadapannya, dan memohon maafnya. Benar apa yang dikatakan Aisah, bahwa Romi telah menyesali perbuatannya, dengan cara yang sangat memilukan. Tapi Andin bergeming di tempatnya. Ia juga tak kuasa menggerakkan tubuhnya, walau hanya untuk memintanya agar berdiri.

Kilat tiba-tiba menyambar, dan guntur bertalu menggetarkan. Langit semakin gelap, dan gerimis mulai berjatuhan. Andin melihat Romi tak bergerak. Mau tak mau dia membuka mulutnya yang terasa berat.

“Pergilah,” hanya sepatah kata yang diucapkan Andin.

“Andin, maafkanlah aku,” rintihnya lagi.

“Aku maafkan, lalu pergilah.”

“Andin, aku ingin bertanggung jawab.”

Perkataan itu mengejutkan Andini. Bertanggung jawab apa maksud laki-laki itu, sedangkan ia tak peduli rintik hujan semakin membasahi bajunya.

“Pergilah. Hujan semakin deras.”

“Aku akan menjadikan kamu istriku,” ucapannya tegas, bersamaan dengan guntur yang menggelegar.

“Jangan mimpi. Pergilah.”

“Demi dosaku sama kamu, jadilah istri aku, Andin,” suara Romi hampir tak terdengar, karena hujan semakin deras mengguyur.

“Ijinkan aku menebus dosaku dengan menikahi kamu.”

“Pergilah, hujan sudah sangat deras.”

“Andin, aku tak akan pergi sebelum kamu bersedia menerima lamaran aku.”

Gelegar guntur kembali terdengar. Andin membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintunya dengan keras.

Dari dalam rumah Andin melongok keluar, dan melihat Romi bergeming ditengah guyuran hujan. Andin duduk di sebuah kursi. Ia terus memikirkan ayahnya yang belum juga sampai di rumah. Andin mencoba menelponnya lagi, tapi sampai beberapa saatnya tak juga panggilan itu diangkat.

Andin menelpon ke kantor, tapi tak ada jawaban dari sana. Pasti kantornya telah tutup. Lalu di mana ayahnya? Apakah masih menunggu hujan dan tak mendengar panggilannya?

“Ya Allah, lindungilah ayah hamba,” desisnya pelan.

Andin merasa cemas. Gelegar guntur bersahutan diantara derasnya hujan. Dia berdiri dan bermaksud menunggu ayahnya di teras, tapi ia terkejut melihat sosok Romi yang masih berlutut di depan tangga teras, tak peduli hujan terus mengguyurnya. Andin kebingungan. Rasa kemanusiaannya tersentuh. Mana mungkin Ia membiarkan orang tetap berada di bawah hujan tanpa mengacuhkannya. Perlahan ia membuka pintu, hujan sudah agak mereda, tapi belum bisa dikatakan berhenti. Ketika itu tiba-tiba Andin melihat sepeda motor ayahnya masuk ke halaman. Dilihatnya sang ayah memakai mantel hujan. Andin mengurungkan niatnya keluar, bahkan menutup kembali pintunya. Ia melongok di balik kaca jendela dengan cemas, melihat ayahnya datang di tengah hujan.

Pak Harsono berhenti, dan melangkah menuju teras, tapi dia heran melihat laki-laki basah kuyup yang diam saja terguyur hujan.

“Siapa kamu? Mengapa ada di sini?” tanya pak Harsono yang sudah berdiri di tangga, dan menatap heran Romi yang bergeming dilanda hujan.

“Saya Romi,” gemetar suara itu terdengar.

"Romi ... keparat itu?" Pekiknya geram.

Pak Harsono tak bisa melupakan nama itu. Nama yang disimpannya sebagai duri dalam hidupnya dan tak pernah dikatakannya kepada sang anak. Dan sekarang laki-laki itu berlutut di depan rumahnya. Apa maksudnya?

“Saya mohon maaf, telah melukai Andin,” masih bergetar suara itu, atau tepatnya menggigil.

“Kamu laki-laki bangsat itu?”

“Ijinkan saya … menebus dosa saya … dengan … menikahi Andin.”

Bukannya luluh dan jatuh rasa kasihan pak Harsono ketika melihat keadaan Romi, justru kemarahannya memuncak. Ia turun selangkah dari atas tangga, dan sebelah kakinya menendang tubuh Romi yang gemetaran.

Romi terjengkang, tanpa mampu mengaduh. Tak cukup hanya itu, ia turun ke bawah dan melanjutkan tendangannya. Romi meringkuk di tanah, dan pak Harsono terus menendangnya bertubi-tubi. Hujan masih mengguyur, dan pak Harsono sudah melepas jas hujannya. Karenanya diapun basah kuyup. Tapi ia tak berhenti menendang tubuh Romi yang sudah tak berdaya, diam tak bergerak.

Andin sangat terkejut, ia keluar dan berteriak.

“Bapak, sudah Pak!!”

Pak Harsono tak mau berhenti. Ia terus menendang tubuh tak berdaya itu, sehingga kemudian Andin nekat menghampiri ayahnya dan menariknya ke dalam rumah.

“Kenapa Bapak nekat, lihat … basah kuyup begini.”

“Lepaskan aku, biar aku bunuh bangsat itu.”

Andin terkejut. Apa ayahnya tahu tentang apa yang terjadi? Apa Romi sempat mengatakan apa yang pernah dilakukannya sehingga ayahnya mengamuk?

Tak sempat berpikir lama, Andin membawa ayahnya ke kamar dan memintanya berganti baju. Andin sangat khawatir melihat keadaan ayahnya yang dingin bagai es. Setelah ayahnya berganti pakaian, Andin masih kebingungan karena ia melihat Romi masih tergeletak di tanah. Bagaimana kalau Romi meninggal? Andin ketakutan, karena ayahnya akan dituduh membunuh.

Tanpa peduli pada bajunya sendiri yang basah kuyup, Andin meraih ponselnya. Hanya satu yang harus dihubunginya, yaitu dokter Faris, yang langsung meluncur ke rumah Andin.

Begitu mobil memasuki halaman, ia terkejut melihat sesosok laki-laki meringuk diam di tanah. Ia turun dan mendengar Andin berteriak.

“Dokter, tolong bawa dia ke rumah sakit.”

Dokter Faris memegang tangan laki-laki itu, yang terasa sangat dingin, tapi nadinya masih berdenyut. Naluri dokternya menyuruhnya bekerja tanpa banyak bertanya. Ia segera mengangkat tubuh itu, lalu melarikan mobilnya ke rumah sakit.

***

Pak Harsono berbaring di ranjang. Andin sudah menggosok seluruh tubuhnya dengan minyak hangat, dan juga memberinya minum teh hangat. Lalu menyelimuti tubuhnya dari kaki sampai ke dada.

“Siapa … tadi,” tanyanya pelan.

“Dia … Romi,” jawab Andin dengan ragu.

“Bukan keparat itu, mobil itu,” kata pak Harsono lagi. Ternyata bukan Romi yang dimaksud, tapi suara mobil yang datang, kemudian pergi.

“Itu mobil dokter Faris. Andin menelponnya, lalu dia membawanya ke rumah sakit.”

“Mengapa kamu mengabari dokter Faris? Biarkan dia mati, aku ingin membunuhnya. Berbulan aku menahan kemarahan ini.”

Andin terkejut. Jadi ayahnya sudah tahu apa yang dilakukan Romi? Apakah Aisah mengatakannya? Atau dokter Faris? Mengapa ayahnya tak pernah bicara, kalau memang dia mengetahui semuanya?

Andin masih duduk di samping ayahnya, mengelus tangannya dengan lembut. Andin merasa lega, tangan ayahnya sudah terasa hangat.

“Mengapa Bapak ingin membunuhnya? Nanti akan jadi perkara yang berat,” kata Andin hati-hati.

“Siapa peduli?”

“Bapak, apakah yang bapak ketahui tentang Romi?”

“Kamu pikir bapakmu ini bodoh? Ketika kamu dirawat, kamu keguguran setelah dihamili bangsat itu.”

Mata Andin terbelalak. Bibirnya gemetar, tapi tak sepatah katapun mampu diucapkannya.

“Bapak menyimpannya hanya untuk menjaga perasaan kamu. Bapak tahu kamu menyimpan juga rahasia ini untuk menjaga perasaan ayahmu ini, bukan?”

Andin masih terdiam.

“Bapak tahu kamu sangat menderita, tapi menyembunyikannya dari ayahmu, supaya ayahmu yang tua ini tidak bersedih, tidak marah dan tidak terluka,” kali ini suara pak Harsono bergetar, seakan menahan tangis.

Andin memeluknya, jatuh di dada ayahnya, dan terisak di sana.

“Maafkan Andin, Pak,”  isaknya.

“Kamu kehilangan masa depan kamu gara-gara dia. Apa tidak pantas kalau ayahmu membunuhnya?”

“Manusia tidak berhak menentukan mati dan hidup atas dirinya ataupun diri orang lain, bukan? Kalau Bapak melakukannya, Bapak bukan hanya terlibat dalam sebuah pembunuhan dan hukumannya hanyalah penjara, tapi Bapak juga berdosa karena mengakhiri hidup yang sebenarnya bukan hak manusia untuk menentukannya.”

Tiba-tiba ponsel berdering, milik Andin, yang masih tertinggal diluar kamar. Andin bergegas menghampiri dan mengangkatnya dengan hati berdebar. Matikah Romi?

“Ya, Dokter,” sapa Andin setelah mengangkatnya.

“Apa yang terjadi?”

“Apakah dia selamat?” Andin justru menanyakan keselamatannya.

“Sedang ditangani. Dia Romi kan?”

“Ya.” jawab Andin yang sedikit merasa lega. Jawaban dokter Faris menunjukkan bahwa Romi selamat.

“Mengapa dia ada di sana dan dalam keadaan seperti itu? Terlambat sedikit saja dia pasti meninggal."

Andin merinding mendengarnya.

“Tolonglah dia, selamatkan dia.”

“Kamu sangat menghawatirkannya?” tiba-tiba rasa cemburu memenuhi benaknya.

“Kalau dia meninggal, bapak bakal dihukum karena pembunuhan.”

“Apa? Jadi bapak menghajar dia?”

Lalu Andin menceritakan semua yang terjadi kepada dokter Faris, yang membuat dokter Faris juga mengkhawatirkan keadaan pak Harsono.

“Bagaimana keadaan bapak sekarang?”

"Sudah lebih baik. Tadi kedinginan, saya sangat khawatir."

"Setelah keadaan Romi stabil, aku akan melihat keadaan Bapak.”

“Kelihatannya sudah baikan.”

“Kamu keberatan kalau aku datang ke rumah?”

“Tidak, bukan begitu, mm … baiklah … “ kata Andin pada akhirnya.

Dokter Faris tersenyum di seberang sana. Sejauh ini dia belum pernah mendengar jawaban Andin tentang pernyataan cintanya, walau dia sudah berterus terang kepada ayahnya. Tapi dari sikap Andin setelahnya, dia tahu bahwa gadis lugu itu tidak menolak. Entah mengapa dia seperti tampak sangat berat mengakuinya.

***

Bu Rosi kebingungan ketika sudah malam Romi belum juga pulang. Ia melihat Elisa tampak santai di ruang tengah, sambil ngemil makanan yang dihidangkan bibik, dan sesekali menatap ke arah televisi. Bu Rosi kesal melihat sikap menantunya.

“Elisa, apa Romi sudah pulang?” tanyanya kepada sang menantu.

“Sepertinya belum Ma,” jawabnya enteng.

“Kok sepertinya sih El,”

“Elisa belum melihat mobilnya kembali pulang, jadi menurut Elisa dia belum pulang.”

“Hujan deras tadi, apa kamu tidak berusaha menelponnya?”

“Elisa sudah capek berbaik-baik sama mas Romi, Ma. Dia nggak pernah perhatian sama Elisa. Kalau Elisa menelpon, paling juga jawabnya kasar.”

Bu Rosi menghela napas sedih. Ia menyesal rumah tangga anaknya sepertinya akan berakhir buruk. Ia heran, dulu setengah memaksa minta dinikahkan, tapi begitu menikah, sudah tampak tanda-tanda tidak harmonisnya hubungan mereka.

Bu Rosi mulai berpikir, apa benar tuduhan Romi, bahwa yang dikandung Elisa adalah bukan anaknya? Tampaknya memang hal itulah yang menjadi penyebab sikap Romi begitu dingin terhadap istrinya.

Dari mana Romi berpikir bahwa Elisa mengandung anak orang lain?

Bu Rosi ingin bertanya kepada sang menantu, tapi takut menantunya tersinggung, soalnya pertanyaannya pasti dianggap tidak mendasar. Berbeda dengan Romi, yang pastinya punya alasan untuk menuduh.

“Ma, saya lapar, bolehkah saya makan sekarang?” Elisa yang tak tahan menunggu kedatangan Romi mulai merasa lapar, sementara sang mertua masih belum mengajaknya makan. Barangkali masih menunggu kepulangan Romi.

“Ya sudah, makan dulu saja sana. Kamu kan lagi hamil, kasihan anak kamu kalau kamu sampai terlambat makan.”

“Mama tidak makan sekalian?”

“Biar Mama menunggu Romi dulu.”

Tanpa sungkan, Elisa kemudian berdiri dan langsung beranjak ke belakang. Di ruang makan dia berteriak memanggil bibik.

“Bik, aku mau makan sekarang ya.”

Bu Rosi duduk di ruang tengah sendirian. Sebentar-sebentar melongok ke halaman, berharap melihat bayangan mobil Romi segera datang. Tapi yang ditunggu tidak juga tampak batang hidungnya.

Ia menelpon sekali lagi, tapi panggilan itu tidak segera tersambung.

“Ada nada panggil, tapi kok dari tadi tidak diangkat ya.”

Ketika itulah tiba-tiba bu Rosi melihat bayangan seseorang. Tapi dia bukan Romi. Seorang wanita. Langit yang gelap belum bisa memantulkan wajah siapa yang baru datang, dan bu Rosi baru mengenalnya ketika bayangan itu mendekat.

“Aisah?”

“Selamat malam, Bu.”

“Tumben malam-malam datang kemari, Nak.”

“Saya mendapat berita dari rumah sakit, bahwa Romi dirawat di sana.”

“Apa? Romi dirawat? Kenapa? Kecelakaan?” bu Rosi berteriak khawatir.

“Saya juga belum jelas Bu, kakak saya kan dokter di sana. Dia tahu bahwa Romi tetangga saya. Makanya dia menghubungi saya, soalnya Romi tidak membawa identitas apapun. Ponsel juga tidak dibawanya,” terang Aisah.

“Ya Allah, anakku kenapa?”

Bu Rosi segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam, bahkan lupa mengucapkan terima kasih karena Aisah sudah mengabari. Tapi kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berteriak memanggil Aisah yang sudah siap untuk pergi.

“Aisah!”

Aisah menoleh lalu menghentikan langkahnya.”

“Di rumah sakit mana?”

“Pusat, Bu.”

Bu Rosi kembali masuk ke rumah, dan kembali lupa mengucapkan terima kasih. Ia melewati ruang makan dan mengabari Elisa yang masih asyik makan.

“Elisa, suami kamu ada di rumah sakit. Kita harus segera ke sana.”

“Romi kecelakaan?”

“Ibu tidak tahu, cepat kita pergi ke sana.”

Elisa dengan malas meninggalkan piringnya yang masih berisi separuh nasi yang tadi diambilnya. Ia sungkan melanjutkannya, walau perutnya masih terasa lapar.

***

Dokter Faris sedang ikut menangani Romi yang belum tampak sadarkan diri. Badannya sangat panas.

Beberapa luka lebam tampak di sekujur wajahnya. Pakaiannya masih basah.

Dokter Faris ingin menelpon lagi Aisah, agar keluarga Romi juga membawakan baju ganti untuknya, ketika tiba-tiba dari mulut Romi terucap sebuah nama.

“Andini ….”

Dokter Faris urung mencari nama Aisah di ponselnya, menatap bibir kebiruan yang beberapa kali menyebut nama Andin.

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post