BERSAMA HUJAN 27

BERSAMA HUJAN  27

(Tien Kumalasari)

 

Aisah menatap Kinanti yang tiba-tiba wajahnya menjadi keruh. Aisah menyesal mengatakannya, padahal dia sebenarnya bermaksud baik, menyampaikan keinginan Romi yang semula tersesat, kemudian menemukan jalannya kembali.

“Mbak Kinan, saya minta maaf, ya. Saya tidak bermaksud melukai hati mbak Kinan kok, barangkali ada sebuah pilihan terbaik untuk hidup Mbak bersama si kecil, nantinya. Tapi kalau itu membuat Mbak Kinanti marah, saya sekali lagi minta maaf,” kata Aisah sambil memegangi tangan Kinanti.

Kinanti tersenyum kembali. Ia sadar, bahwa kemarahan yang ditunjukkannya sangat tidak beralasan. Kemudian ia balas menggenggam tangan Aisah dan meremasnya perlahan.

“Lupakan saja. Aku juga tidak bermaksud marah sama kamu kok.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Apa kamu datang kemari hanya untuk mengatakan itu?”

“Tidak. Akhir-akhir ini aku sibuk mengurus kuliah aku, jadi lama nggak ketemu Mbak. Kangen rasanya.”

“Terima kasih, Aisah. Aku tahu kamu sibuk, dan aku juga tak ingin mengganggu kok. Aku senang kalau kamu segera bisa menyelesaikan kuliah kamu. Terus … setelah selesai … apa? Menikah?”

Aisah terkekeh.

“Menikah sama siapa?”

Tapi tiba-tiba wajah berkumis itu melintas. Wajah yang dulu saat masih kecil sering memboncengkannya dengan sepeda, jalan-jalan melalui tepian sawah, mencari cacing untuk umpan memancing. Hiiih, sekarang kalau mengingat binatang menjijikkan itu bulu kuduknya langsung berdiri. Sangat menjijikkan, sementara waktu dulu Luki dengan tenangnya memegangi binatang itu, dikaitkan pada ujung pancingnya. Tiba-tiba Aisah  menampakkan bibir yang aneh, seperti sedang melihat sesuatu yang menjijikkan.

“Aisah, ada apa?”

“Ya ampun, aku ingat cacing ….”

“Apa? Aku mengingatkan kamu tentang sebuah pernikahan, tapi kamu malah membayangkan cacing?”

“Hiiih, sudah, jangan bicara tentang binatang itu lagi.”

“Ada suatu kenangan tentang cacing?”

“Mbak Kinan, jangan sebut nama binatang itu, aku sungguh jijik.”

Kinanti terkekeh geli, melihat Aisah yang tiba-tiba enggan mengingat cacing. Ia tidak mengerti, apa hubungan pembicaraannya dengan cacing itu.

“Maukah bercerita tentang cacing itu?” Kinanti malah seperti menggodanya.

“Iiih, Mbak Kinan gitu ya. Nggak mau.”

“Habis … aku heran, aku bicara tentang ‘menikah’, kamu membayangkan cacing. Apa hubungannya coba?”

Aisah tersenyum kecut.

“Nggak ada. Aku mau pulang dulu ya. Bukankah sebentar lagi Mbak Kinan harus berangkat kerja?”

“Masih satu jam lagi aku bersiap-siap. Oh ya, bagaimana keadaan pak Harsono? Aku belum bisa bezoek nih.”

“Sudah membaik, tapi masih harus dirawat di rumah sakit. Mbak Kinan repot ya, bekerja sendirian?”

“Tidak, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Sebelum ada aku, Andin juga bisa mengerjakannya sendiri kan? Jadi tidak masalah, kalau selama ayah nya sakit, Andin tidak bekerja dulu. Dokter Faris pasti juga bisa mengerti.”

“Iya, tentu. Mas Faris orangnya penuh pengertian kok. Tapi bener ah. Aku pulang sekarang, supaya walaupun satu jam, mbak Kinan bisa beristirahat."

“Baiklah, kalau begitu. Tapi lain kali kamu harus bercerita tentang cacing itu,” canda Kinanti.

Aisah terkekeh, sambil mendekati motornya.  

“Kalau aku sedang tidak ada pekerjaan, aku bantuin mencatat pasien-pasien mas Faris. Sambil ngobrol, tentu menyenangkan,” katanya setelah menaiki motornya dan menstarternya.

***

Hari Sabtu itu, hari masih pagi ketika Luki sudah sampai di rumah Aisah. Ketika ia datang, Aisah sudah selesai mandi dan sudah rapi.

Ketika Aisah keluar, Luki menatapnya tak berkedip. Aisah mendekat dan melambaikan tangannya di depan Luki.

“Hei, kamu melihat apa?”

“Pagi ini kamu cantik sekali.”

Aisah terkekeh. Ia memakai celana panjang dan kaos lengan panjang yang longgar berwarna merah jambu berbunga-bunga biru dibawahnya. Kerudung senada dikenakannya, tampak sangat menarik.

“Kenapa baru sekarang bilang cantik? Perasaan aku cantiknya sudah lama lhoh.”

“Aku juga sudah bilang sejak lama, cuma di dalam hati saja. Mau ngomong takut. Kamu kan galak?”

“Enak saja, gadis lemah lembut seperti aku dibilang galak?”

“Tapi aku suka, kalau lagi marah kamu lucu”

“Sudah, ngobrolnya, jadi pergi nggak?”

“Jadi dong. Ayuk, sudah pamit sama bibik?”

“Sudah. Jadi hanya berdua nih, kita perginya?”

“Nggak apa-apa cuma berdua, memangnya kenapa?”

“Dikira orang lagi pacaran,” kata Aisah sambil naik ke dalam mobil.

Luki segera masuk ke sampingnya, di belakang kemudi.

“Memangnya kenapa kalau kita beneran pacaran?”

Aisah terkekeh.

“Kemana kita?”

“Terserah kamu saja. Kan kamu yang ingin jalan-jalan.”

“Mancing yuk!”

“Apa?” Aisah berteriak keras sekali, karena tiba-tiba bayangan binatang menjijikkan itu melintas di hadapannya.

“Mancing, sambil mengenang masa kecil kita, pasti asyik.”

“Nggak mau. Nggaaaak,” tandas Aisah, masih dengan berteriak.

“Hei, kamu kok aneh? Kenapa sih? Bukankah kenangan masa kecil itu indah? Sepasang anak laki-laki dan perempuan, menyusuri parit, mencari cacing … lalu…”

”Nggak mau, itu yang aku nggak mau!”

“Kita bisa beli umpannya. Tidak usah mencarinya di parit.”

“Jangan. Kalau pengin ikan, beli di pasar saja, atau di warung yang menjual ikan. Ada goreng, ada bakar, atau dimasak apapun juga semau kamu.”

Luki terkekeh, agak heran melihat sikap Aisah.

“Kamu nggak suka kita mengenang masa kecil kita?”

“Suka, tapi jangan memancing, aku geli mengingat cacing. Hiih, itu menjijikkan.”

Luki terbahak keras sekali.

“Ooh, itu masalahnya. Dulu kamu memang nggak suka pegang-pegang cacingnya, tapi suka pegang pancingnya, dan berteriak setiap dapat ikannya.”

“Kenangan yang lainnya saja, nggak mau yang mancing-mancing.”

“Baiklah, naik sepeda saja yuk. Di mana ya, bisa cari sepeda sewaan? Lalu kita muter-muter, berboncengan, asyik tuh …”

“Aku tahu, kita ke sebuah tempat wisata, ada sepeda di sewakan di sana.”

“Tuh, mana tempatnya?”

“Terus saja, nanti aku kasih tahu jalannya, jauh di luar kota,” kata Aisah dengan wajah berseri. Alangkah menyenangkan masa-masa itu.

Celoteh mereka sangat heboh terdengar, dan kadang-kadang disertai tawa yang tak putus-putusnya.

Luki saat masih kecil bukan anak yang nakal dan suka mengganggu. Dia terlalu serius dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Tapi dia sangat dekat dengan Aisah. Mereka sering belajar bersama, tapi juga main bersama setiap liburan. Dalam setiap perdebatan, ataupun pertengkaran, Luki selalu mengalah. Itu sebabnya Aisah sangat suka berteman dengannya. Dan sekarang, saat sama-sama dewasa dan dipertemukan kembali, tiba-tiba masa-masa indah itu kembali terbayang.

"Masih jauh kah?”

“Tidak, kira-kira 3 kilometer dari sini.”

Ketika sampai di tempat tujuan, benar saja, ada yang menyewakan sepeda. Luki memilih sepeda tandem, supaya bisa dikayuh berdua.

“Ini bukan sepeda masa kecil kita,” protes Aisah.

“Nggak apa-apa, beda dikit. Dulu kita masih kecil, boncengan biasa, sekarang sudah dewasa, harus meningkat dong.”

Akhirnya Aisah mengalah. Tak apa-apa sepeda tandem, yang penting bisa bersama Luki dan itu sekarang membuat hatinya berbunga-bunga. Ada perasaan aneh dirasakannya. Apakah Luki juga merasakan hal yang sama?

Setelah melalui proses sewa menyewa, mereka berdua mengambil satu sepeda tandem dan dikayuh bersama dengan riang.

Wajah mereka berseri-seri karena gembira.

“Ada sayangnya nih,” tiba-tiba Luki nyeletuk.

“Apa tuh?”

“Kamu nggak bisa pegangan di pinggang aku dong.”

“Huh, emang nggak boleh dong, enak aja,” sergah Aisah yang disambut tawa Luki.

“Iya, aku tahu. Bercanda tadi tuh.”

Mereka menghabiskan waktu bersenang-senang sampai matahari condong ke barat. Ketika mengantarkan Aisah pulang, Luki masih memerlukan duduk di teras sambil menikmati suguhan wedang jahe dari bibik.

“Cocokkah di udara panas begini minum wedang jahe?” tanya Luki yang tak urung menyeruputnya dengan nikmat.

“Udara mendung. Guntur sudah terdengar. Sebentar lagi hujan, wedang jahe sangat cocok diminum sekarang ini,” balas Aisah.

“Mendung itu membuat kita merasa gerah.”

Tapi seperti menjawab perkataan Luki, tiba-tiba hujan datang tiba-tiba.

“Tuh kan.”

“Kok tiba-tiba hujan, tanpa gerimis pula.”

“Suka-suka dia, mau didahului gerimis atau enggak,” kata Aisah.

“Aku nggak bisa segera pulang dong.”

“Kamu kan naik mobil, dan aku punya payung, nanti pas mau menuju ke mobil kamu, aku payungin kamu deh.”

“Menyenangkan ….” gumam Luki sambil tersenyum nakal.

“Hei, apa yang kamu pikirkan?”

“Di bawah payung ku berlindung,” Luki menyenandungkan sebuah lagu.

Aisah tersenyum lucu.

“Sebenarnya aku ingin berlama-lama di sini. Masih kangen sama kamu.”

“Ya sudah, nggak usah pulang saja,” canda Aisah.

“Jadi boleh, aku tidur di sini?”

“Boleh, di teras sini, nggak boleh masuk.”

“Yeee, kedinginan dong.”

Aisah terkekeh.

“Suatu hari nanti aku ingin mengulang saat-saat manis seperti tadi,” kata Luki sambil menatap tajam Aisah.

“Besok-besok, semoga sudah bisa bersama Andin.”

“Aku ingin hanya sama kamu. Jangan mengganggu Andin. Atau tepatnya, jangan sampai kita terganggu,” kata Luki polos.

“Apa maksudnya tuh?”

“Sudah gede masa nggak tahu maksudnya sih?”

Luki pulang saat hujan sedikit reda, dan meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab atas ucapan Luki yang terakhir. Terjawab sih, hanya saja Aisah malu mengakuinya. Bahwa ada ikatan yang tiba-tiba membelenggu hatinya, itu benar. Dan tampaknya Luki juga menunjukkan sikap yang sama. Apakah mereka berjodoh? Bukankah Luki dijodohkan dengan Andini?

***

 Hari Senin itu, Aisah pergi ke kampus, dan tanpa sengaja bertemu Andin.

“Hai, bagaimana keadaan Bapak? Kemarin mas Luki pamit ke rumah sakit kan?” tanya Aisah.

“Tidak, ia bilang terburu-buru, dan hanya pamit melalui telpon.”

“Oh, gimana sih mas Luki,” gerutu Aisah.

“Nggak apa-apa. Memang waktunya yang sudah mepet. Bapak juga tidak mengeluh soal itu. Bagaimana acara hari Sabtu? Asyik kan?”

“Sayang nggak ada kamu, Ndin.”

“Nggak apa-apa, yang penting mas Luki bisa menikmati liburan di sini, dan ada yang mengantarnya.”

“Iya sih, tapi akan lebih menyenangkan lagi kalau ada kamu.”

“Sama saja ah.”

“Oh ya, apakah aku pernah cerita tentang Romi, sama kamu?”

Wajah Andin langsung gelap.

“Maaf, bukan maksud aku mengingatkan kamu tentang kejadian menyakitkan itu. Tapi aku melihat Romi seperti sangat menyesal.”

“Benarkah? Apa yang membuatnya menjadi menyesal? Kedengarannya aneh.”

“Mungkin setelah tahu bahwa dia juga ditipu istrinya.”

“Ditipu?”

“Kan kamu bilang bahwa saat itu Elisa periksa ke mas Faris, dan kamu bilang sama aku bahwa Elisa sudah hamil sebelum sampai di Indonesia.”

“Aduh, aku pernah bilang ya. Maaf sekali. Barangkali karena pikiran gelapku, aku jadi salah bicara. Maksudku, salah membicarakannya sama kamu.”

“Apa maksud kamu?”

“Sesungguhnya aku kan tidak boleh membawa keluar tentang sebuah penyakit atau apa pun yang diderita oleh pasien, dan aku dengan lancang mengatakannya sama kamu. Aku salah, barangkali karena itu ada hubungannya dengan Romi, jadi aku ngomong begitu saja.”

“Oh, apakah itu salah, kan cuma sama aku.”

“Apa  pun itu, harus menjadi rahasia antara dokter dan pasien. Tapi karena sudah terlanjur, aku harus minta maaf, dan tolong jangan katakan lagi itu kepada siapapun.”

“Baiklah. Aku akan menyimpannya di dalam hati. Sekarang aku akan melanjutkan bicaraku, maaf juga kalau kamu tersinggung. Aku hanya ingin menyampaikan, bahwa dia ingin menemui kamu.”

“Untuk apa?”                                                                      

"Meminta maaf, pastinya.”

“Ah, sudahlah, aku mau ke kelas dulu.”

“Dia juga menanyakan tentang mbak Kinanti.”

“Nah, itu lebih penting, supaya bayi yang dikandungnya punya status yang jelas.”

“Tapi mbak Kinanti juga nggak mau, jadi aku tidak mengatakan di mana dia bisa menemui mbak Kinanti.”

“Ya sudah, aku mau ke kelas dulu ya, nanti kita ketemu dan ngomong lagi. Tapi bukan tentang orang itu,” kata Andin sambil melangkah menjauh.

Aisah menghela napas panjang. Ia bisa memaklumi, mengapa Andin bersikap begitu.

***

Hari-hari berlalu begitu cepat. Pak Harsono sudah sembuh dari sakit, dan mulai bekerja kembali. Pernyataan dokter Faris yang berjanji akan mencintai dan menjaga Andin, masih disimpannya di dalam hati. Ia masih diam, karena Andin juga tidak menanyakannya. Andin bahkan tak pernah menunjukkan bahwa ada hubungan khusus antara dirinya dan sang dokter ganteng itu.

Hari itu hari Sabtu. Andin tak bekerja, tapi pak Harsono sudah mulai bekerja sejak seminggu yang lalu.

Andin termangu di rumah, dan mengkhawatirkan ayahnya, karena mendung begitu menggantung, dan gelegar guntur bertalu-talu. Ia berkali-kali menelpon sang ayah, tapi tidak terjawab. Barangkali sudah di jalan, atau sedang sibuk menekuni pekerjaannya.

Andin berdiri termangu di teras, berharap ayahnya segera pulang. Tiba-tiba Andin terkejut, melihat seseorang memasuki halaman. Seorang laki-laki yang sangat dikenalnya. Andin ingin berlari tapi kakinya terasa kaku, tak mampu digerakkannya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post