BERSAMA HUJAN 24
(Tien Kumalasari)
Andin sedang mengompres dahi ayahnya dengan lap dingin, ketika dokter Faris sudah datang dan langsung memasuki kamar pak Harsono yang memang terbuka. Andin menatapnya dengan rasa terima kasih, karena kurang dari seperempat jam sejak dia menelpon, dokter Faris sudah berada di rumahnya.
“Dokter …”
Andin tak perlu menerangkan apapun karena dokter Faris sudah mendekat dan duduk di kursi yang disediakan, kemudian mengambil stetoskop untuk memeriksa pak Harsono. Andin menatapnya cemas.
”KIta harus membawa bapak ke rumah sakit,” kata dokter Faris yang segera berdiri dan menelpon rumah sakit agar segera dikirim ambulans.
“Kamu siapa?" Lirih pak Harsono berucap, sambil mata sayunya menatap laki-laki yang memegangi tangannya erat.
“Saya Faris, Pak.”
“Bapak, ini dokter Faris, dimana saya bekerja setiap sore,” terang Andin.
Pak Harsono memejamkan matanya. Tubuhnya menggigil. Andin menyelimutinya dari kaki sampai ke dada.
“Apakah penyakit bapak berbahaya?” tanyanya khawatir sambil menatap sang dokter ganteng.
“Tidak. Akan ada penanganan khusus nanti di rumah sakit. Tolong bawakan baju ganti untuk bapak supaya nanti tidak usah repot mengambilnya pulang.”
Andin mengangguk. Ia mengambil baju ganti untuk ayahnya. Hanya beberapa lembar, lalu dimasukkannya ke dalam tas. Dan tak lama kemudian raung ambulas terdengar. Dokter Faris keluar untuk memerintahkan para perawat membawa usungan. Tak lama kemudian pak Harsono sudah berada di dalam ambulans, yang segera membawanya ke rumah sakit.
Dokter Faris meminta Andin untuk ikut bersama mobilnya. Tak ada yang bisa dikatakan Andin kecuali menurut. Hatinya tinggal sebulir menir, tak mampu dia mengucapkan apapun karena cemas yang menderanya.
“Kamu harus tenang. Bapak tak apa-apa.”
“Tapi panasnya sangat tinggi. Sudah sejak kemarin bapak terbatuk-batuk. Saya melarangnya bekerja, tapi bapak nekat bekerja,” kata Andin terbata-bata.
“Kamu tidak usah khawatir. Bapak tidak apa-apa.”
“Benarkah?”
“Tentu saja benar, ayolah, jangan menangis,” kata dokter Faris sambil tersenyum. Ingin rasanya ia mengusap air mata yang meleleh di pipi gadis kecintaannya. Tapi mobil sudah memasuki halaman rumah sakit. Di depan, ambulans yang membawa pak Harsono sudah lebih dulu sampai dan pak Harsono sudah dibawa ke ruang UGD dengan brankar. Andin ingin masuk, tapi dokter Faris menahannya.
“Duduk saja di sini, bapak akan segera ditangani,” kata dokter Faris yang kemudian ikut masuk ke dalam ruangan.
Andin menghela napas lega. Beruntung ada dokter Faris yang dengan cepat datang dan mengurangi kecemasan di hatinya.
Andin terdiam, tapi tak henti-hentinya mulutnya berkomat-kamit memanjatkan doa. Walau dokter Faris mengatakan bahwa ayahnya tak apa-apa, tapi Andin belum bisa merasa tenang sampai ia melihat sendiri bahwa ayahnya baik-baik saja.
***
Andin terkejut ketika seseorang berbisik di dekatnya.
“Andin ….”
Andin membuka matanya, dan nanar melihat ke arah sekeliling. Masih merasa bingung ketika melihat suasana yang berbeda dengan kesehariannya. Tadi karena lelah dia ketiduran sambil bersandar di sandaran kursi.
“Andin ….”
Andin mengucek matanya. Kesadaran belum sepenuhnya menguasainya. Tapi suara yang memanggil namanya sampai dua kali, menggelitik telinganya, menuntun ke arah kesadaran yang hampir sempurna.
“Bapak? Di mana bapak?” hal pertama yang diteriakkannya adalah ayahnya.
“Bapak baik-baik saja, panasnya sudah menurun.”
“Alhamdulillah ….” desisnya pelan sambil mengusap wajahnya.
Andin berdiri.
“Bolehkah saya melihatnya?”
“Bapak sudah tertidur. Kalau panasnya sudah stabil, kami akan membawanya ke ruang rawat. Duduklah dulu,” kata dokter Faris yang sudah lebih dulu duduk.
Andin mengikutinya, duduk. Ada perasaan lega ketika dokter Faris mengatakan bahwa panas ayahnya sudah turun.
“Tapi kalau kamu ingin melihatnya, ayo aku antarkan, tapi sebentar saja ya,” kata dokter Faris sambil berdiri, Andin mengangguk senang. Ia mengikuti dokter Faris masuk ke dalam ruangan, membawanya ke tempat dimana ayahnya berbaring.
“Bapak,” lirihnya.
“Sssst,” dokter Faris mengingatkan agar Andin tak bersuara, supaya tidak mengganggu tidur ayahnya.
Andin mendekat, menyentuh tangan ayahnya pelan, dan merasa lega karena tangan itu tak lagi panas, justru agak berkeringat. Sang ayah tampak terlelap dalam tidur yang nyaman. Andin mengusap air mata haru, kemudian ia melangkah keluar ketika dokter Faris memintanya.
“Sebenarnya, bapak kenapa?”
“Besok akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan sementara, ada radang di saluran napas.”
“Itu berbahaya?”
“Tidak, kalau segera tertangani.”
Andin bernapas lega.
“Terima kasih telah menolong ayah saya. Padahal harusnya dokter beristirahat di saat malam seperti ini.”
“Tidak selalu begitu. Seringkali dokter dibangunkan di malam buta, karena ada pasien kritis, atau ada yang segera membutuhkan. Kamu harus tahu tugas dan tanggung jawab seorang dokter. Siapa tahu, suatu hari nanti ada dokter yang kamu terima menjadi pendamping hidup kamu,” kata dokter Faris sambil menatap Andin. Andin terkejut, tak sengaja menoleh ke samping, dimana dokter Faris menatapnya sambil tersenyum menggoda.
Andin merasa heran, di saat yang seperti apapun, dokter Faris selalu menyertakan kata-kata yang berhubungan dengan dirinya, dan berhubungan pula dengan pernyataan cintanya.
Dokter Faris tersenyum lebih lebar, melihat Andin kebingungan.
“Tidurlah lagi. Nanti ketika bapak akan dibawa ke ruang rawat inap, kamu aku bangunkan. Oh ya, sebentar, ayo kita bawa baju ganti dan perlengkapan bapak ke ruang inapnya. Aku sudah memesankannya tadi,” kata dokter Faris sambil menenteng tas yang tadi dibawa Andin. Andin berusaha memintanya, tapi tak berhasil, jadi dia hanya melenggang sambil membawa tas tangan kecil yang digantungkan di pundaknya.
Tapi begitu memasuki ruangan, Andin terkejut. Ruangan itu terlalu mewah untuk keluarganya. Berapa harga kamarnya, belum ditambah biaya pengobatan dan lain-lainnya.
Dokter Faris meletakkan tas berisi pakaian itu di atas meja, sedangkan Andin masih terpaku di depan pintu.
“Andin, sini. Pakaian bapak bisa kamu tata di dalam almari itu.”
“Dok … Dokter … ini … ini …”
“Ini apa?”
“Jangan di sini, kami tak akan … tak akan kuat membayarnya,” katanya terbata, sambil masih tegak di tengah pintu.
“Apa yang kamu katakan? Ini ruang keluarga dokter. Dan bapak adalah keluarga aku, jadi kamu tak usah memikirkannya,” kata dokter Faris sekenanya.
“Apa… maksudnya?”
“Sudah, masuk saja dan tata pakaian ini di almari.”
Andin melangkah perlahan. Ada ya, ruang untuk keluarga dokter, yang maksudnya … gratis … alias tidak membayar?
“Andin, apa aku harus menggendongmu masuk?”
Andin terkejut. Digendong dokter Faris? Bisa pingsan dia. Karenanya ia segera melangkah maju dan mendekat ke arah meja.
“Tata di dalam almari itu, nanti di meja akan ada obat-obatan, atau apalah yang disediakan, mungkin makanan, buah, atau apa.”
“Be … benarkah ruangan ini ... ruang untuk keluarga dokter? Begitu mewah, kalau harus membayar, saya dan bapak tak akan bisa, Dokter.”
“Tidak ada yang akan menyuruh membayar. Ayo cepatlah, dan sebaiknya kamu beristirahat di sini saja. Tidurlah di sana, karena sofa itu memang untuk penunggu pasien.”
Dokter Faris segera berlalu, karena tak ingin Andin banyak bertanya tentang ruangan yang akan dipergunakan untuk ayahnya.
Andin menata pakaian ayahnya, kemudian duduk di sofa itu, termangu kebingungan. Ada televisi di sana, yang tak ingin dia nyalakan. Ruangan orang sakit, mengapa semewah ini? Apakah orang sakit bisa menikmati segala kemewahan yang disuguhkan? Walau sederhana, pasti lebih baik duduk atau berbaring di rumahnya sendiri. Kata batin Andin.
***
Aisah turun dari sepeda motornya, memarkirnya di bawah pohon, di halaman rumah Andin. Tapi ia tak melihat pintu rumahnya terbuka. Biasanya pagi-pagi sekali pintu itu sudah terbuka, saat Andin bersih-bersih rumah. Tak mungkin di pagi yang sudah benderang begini Andin masih tertidur.
Aisah mengetuk pintu perlahan. Sepi.
“Andin !!”
Tak ada jawaban.
“Apa Andin sudah ke kampus sepagi ini? Ia melongok ke arah samping. Ada ruangan kecil yang dipergunakan sebagai garasi sepeda motor. Andin melongok melalui celah karena garasi itu pintunya memang tampak tidak rapat. Tapi dengan heran Aisah melihat dua sepeda motor masih tegak di dalam sana, artinya Andin dan ayahnya belum pergi ke mana-mana. Tapi mungkinkah bepergian tanpa naik motor? Naik mobil kah?
Aisah mengambil ponselnya, lalu menghubungi Andin. Tak ada jawaban. Mungkinkah pergi bersama Luki? Ya nggak mungkin pula. Bukankah Luki bilang bahwa hari ini masih ada pertemuan dengan rekan bisnisnya? Tapi Aisah kemudian tetap saja menghubungi Luki, siapa tahu ia mengetahui keberadaannya, atau bahkan sedang bersama dia.
Dan panggilan Aisah segera terhubung.
“Aisah?” Luki sangat terkejut karena Aisah menelpon pagi-pagi.
“Mas, apa Andin bersama Mas?”
“Apa? Sepagi ini bersama aku? Ya enggak lah, kamu ada-ada saja,” jawabnya sambil tertawa.
“Ini aku sedang di rumahnya, tapi sepertinya rumahnya kosong.”
“Kamu pikir dia sedang bersama aku?”
“Andin dan ayahnya nggak ada di rumah.”
“Nggak tahu aku. Malah aku sebenarnya ingin menagih janji sama kamu. Kamu bilang semalam mau menelpon aku, nyatanya tidak.”
“Maaf, aku ketiduran.”
“Sebenarnya, kalau semalam kamu menelpon, aku mau bertanya sesuatu.”
“Masalah apa Mas?”
“Siapakah sebenarnya dokter itu?”
“Maksud Mas, dokter Faris? Dia itu kakak misan aku.”
“Dia pacaran sama Andin?”
“Boro-boro pacaran. Mas Faris jatuh cinta sama dia, tapi Andin belum menggubrisnya.”
“Belum? Artinya nanti akan menggubrisnya?”
“Nggak tahu aku, kalau suatu hari nanti Andin jatuh cinta juga sama dia. Andin itu susah. Mas Luki suka sama Andin?”
“Kamu belum tahu ceritanya? Aku dan Andin itu dijodohkan oleh orang tua kami. Ayahku dan ayah Andin bersahabat sejak muda, dan ingin mereka berbesan. Aku dipaksa menemuinya dan menjajaki hatinya. Dan aku juga berencana mengajak kalian jalan-jalan bukan?”
“Jadi maksud Mas mengajak jalan-jalan itu, sekalian menjajaki hatinya?”
“Maksud semula sih begitu, tapi kayaknya aku ragu.”
“Tapi kalau sudah dijodohkan?”
“Perjodohan harus dikaitkan dengan hati. Tapi aku kok tidak tertarik sama dia, dan lagi sepertinya ada penghalang, seandainya aku harus menuruti kemauan bapak.”
“Mas Faris cinta setengah mati sama Andin.”
“Itulah.”
“Ya sudah Mas, bagaimanapun, jodoh itu ada ditangan Allah. Pasrah saja ya. Sekarang aku mau ke kampus dulu, tadi maksudnya ingin menemui Andin dulu untuk bicara tentang besok Sabtu, ee … dia nggak ada. Aku menelpon, kok ya nggak terjawab.”
“Nanti agak siang barangkali. Ini aku juga sedang bersiap pergi. Nanti kita bicara lagi. Masih ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
Pembicaraan itu terhenti karena masing-masing punya keperluan yang mendesak. Dan kepergian Andin belum juga terjawab, sampai Aisah tiba di kampusnya.
***
Bu Rosi mengejar Romi yang bergegas keluar dari rumah.
“Romi, tunggu,”
Romi berhenti, menunggu ibunya, dan yakin bahwa ibunya akan mengomel perihal rumah tangganya yang tampak tidak harmonis. Romi ingin menghindar, tapi kasihan pada ibunya yang mengejarnya dari arah belakang sampai ke depan.
“Romi mau ke kampus, menemui dosen pembimbing. Ada apa Ma?”
“Elisa mau periksa ke dokter kandungan. Kamu tidak ingin mengantarkannya?”
“Bukankah biasanya dia juga berangkat sendiri? Seperti anak kecil saja harus diantar-antar.”
“Romi, dia kan istri kamu.”
“Sementara ini, ya. Tapi aku kan masih punya kewajiban. Aku sudah menyelesaikan skripsi dan sekarang sedang akan menemui dosen pembimbing. Jadi jangan dulu mengganggu Romi.”
“Aku kasihan pada Elisa. Dia tampak begitu sabar menerima perlakuan kamu yang seenaknya.”
Romi tertawa sinis. Begitu sabar, kalau tidak sabar dia mau apa? Kalau dia ingin pergi, silakan saja kok. Itu lebih mudah bagi Romi.
Tapi Romi tak mengucapkan apapun. Ia sudah punya rencana. Kalau dia sudah selesai, dia berencana akan menemui Andin untuk meminta maaf, dan akan melamarnya secara resmi. Ia merasa dosanya teramat besar pada Andin, bahkan ia juga teringat Kinanti yang entah di mana sekarang dia berada. Aisah mana mau mengatakan di mana Kinanti, karena ia yakin, Kinanti juga tak akan mau menerimanya.
Bu Rosi masih termangu, sementara Romi sudah memasuki mobilnya dan menjalankannya keluar dari halaman.
Bu Rosi hanya bisa menghela napas, dan berharap Romi segera menyadari kesalahannya pada Elisa. Bu Rosi tetap tak percaya pada tuduhan Romi yang mengatakan bahwa bayi yang dikandung Elisa bukanlah darah dagingnya.
Dalam perjalanan ke kampus itu, wajah Andin tiba-tiba terbayang. Gadis lugu dan pintar. Gadis cantik yang sederhana itu pernah membuatnya kalap, dan itu amat disesalinya. Romi juga menyadari kelakuannya yang buruk, brutal dan membuat gadis-gadis menjauhinya karena muak.
“Aku akan segera menyelesaikan semuanya, kemudian aku harus menemui Andin. Kalau perlu aku akan merangkak dihadapannya untuk mendapatkan maafnya,” gumam Romi di sepanjang perjalanannya.
***
Besok lagi ya.