BERSAMA HUJAN 20
(Tien Kumalasari)
Aisah tertegun. Ia tak percaya pada apa yang didengarnya. Ketika ditatapnya wajah Romi, ia melihat kesungguhan dari ucapan yang baru saja didengarnya.
“Benar, aku akan menceraikannya.”
“Hm, aku tidak heran mendengarnya. Karena aku sudah tahu siapa dan bagaimana diri kamu. Penghargaan kepada seorang wanita, tak ada sama sekali dalam pikiranmu, sehingga sampai sebuah penikahanpun kau anggap hanya sebagai sesuatu yang tak harus kamu hormati,” kata Aisah sinis.
“Mungkin kamu benar, tapi sekarang aku mengerti, bahwa semua yang pernah aku lakukan itu salah.”
“Lalu … bagaimana sebuah pernikahan yang baru berumur dua hari kemudian kamu ingin membubarkannya?”
“Dia sudah mengandung sebelum menikah,” katanya dengan nada marah.
Aisah teringat apa yang dikatakan Andin, ketika Elisa memeriksakan diri ke dokter Faris, kemudian dinyatakan bahwa dia sudah hamil, padahal dia belum lama pulang dari luar negri.
“Yang dikandung bukan anakku.”
Aisah tersenyum dingin. Ia merasa bahwa sekarang Romi merasakan kekecewaan ketika menyadari sang istri mengandung bukan anaknya. Romi sedang terjebak dalam kubangan tanpa disadarinya.
“Sekarang kamu mengerti, bagaimana kekecewaan seorang suami ketika mengetahui sang istri adalah sisa dari laki-laki lain? Lalu bagaimana dengan Andin yang sudah kamu perkosa tanpa belas, kamu robek-robek kegadisannya, dan kamu hancurkan masa depannya? Apakah kamu juga berpikir bahwa nanti akan tiba saatnya seorang laki-laki memperistrikan dia, lalu akan kecewa dengan kesucian yang tidak lagi dimilikinya?”
Romi menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Aisah mendengar isak di sana, ketika melihat bahunya bergoyang-goyang pelan.
“Katakan padanya, aku minta maaf.”
“Lalu itu bisa langsung menghapus semua dosa-dosa kamu sampai tak berbekas?”
“Aku akan bertanggung jawab,” katanya lirih masih dengan tangan menutupi wajahnya.
Aisah tertawa lirih. Ada kepedihan dalam tawa itu.
“Andin bukan perempuan yang semudah itu bisa menerima sebuah permintaan maaf, dengan kemudian akan melayani kamu sebagai istri.”
“Tolong katakan padanya, Aisah. Tolonglah ….” katanya memelas.
“Dulu kamu berani mengatakan permintaan maaf dengan enteng, sambil tertawa-tawa, kenapa sekarang kamu tidak bisa melakukannya sendiri?”
“Aku takut pada bayangan dosa itu, bahkan aku takut bertemu dia kemudian meminta maafnya.”
“Lalu bagaimana dengan Kinanti yang benar-benar sudah hamil karena ulahmu?”
“Kamu mengenalnya?”
“Bahkan dia menangis semalaman di rumahku karena merasa terhina dan tidak berani berbuat apa-apa. Dia bahkan diusir orang tuanya karena dianggap membuat malu.”
“Di mana aku bisa menemui dia?”
Beberapa mahasiswa masuk, dan melihat keduanya yang tampak aneh. Aisah tak ingin akan banyak pertanyaan ditujukan padanya. Ia membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan.
“Aisah!” panggil Romi.
Tapi Aisah terus melangkah keluar.
“Ada apa dengan Romi?” tanya seseorang yang dari tadi memperhatikan, tapi Aisah hanya mengangkat bahunya.
***
Elisa duduk di depan televisi, tapi ia sama sekali tak menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Ia agak kesal pada sikap suaminya yang sudah berhari-hari sejak pernikahan itu, tak lagi mau menyapanya. Romi bahkan sering tidur di kamar lain dan tak pernah mau menyentuhnya.
Bu Rosi datang dari dapur, dan langsung mendekat ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.
“Kalian belum baikan?”
Elisa menatap ibu mertuanya sekilas, kemudian menatap ke arah televisi.
“Sebuah pertengkaran di dalam rumah tangga itu lumrah terjadi. Kamu sebagai istri harus pandai-pandai meluluhkan hatinya.”
“Sudah tidak kurang-kurang Elisa berusaha mendekatinya, tapi dia tak mau peduli pada Elisa. Ia selalu menuduh kehamilan Elisa tidak wajar, karena dia merasa bahwa bukan dia ayah dari bayi ini,” katanya sambil mengelus perutnya.
Bu Rosi melirik ke arah perut menantunya, kemudian merabanya.
“Mengapa kamu mengikat perut kamu sekencang ini?”
“Hanya merasa nggak enak ma.”
“Tidak bagus perut yang berisi janin diikat sekuat ini. Lepaskan saja.”
“Perut Elisa itu memang datar, karena tubuh Elisa kan ramping, Jadi kehamilan yang sekecil apapun pasti kelihatan. Romi tidak mau menerimanya. Itu sebabnya Elisa mengikatnya dengan korset.”
“Lepaskan saja, kasihan anak kamu.”
“Nanti Romi akan mengatakan perut Elisa terlalu gendut.”
“Waktu yang akan membuktikan, apakah kamu benar, atau Romi yang benar. Tapi jangan sekali-sekali melakukan hal yang menyakiti bayi tak berdosa ini.”
Elisa tersenyum tipis. Sesungguhnya Elisa tak peduli walau Romi mengacuhkannya. Ia hanya berusaha menutupi kehamilannya yang entah siapa laki-laki yang melakukannya. Sangat memalukan kalau dia tidak segera menikah sementara perutnya akan semakin membesar.
“Kalau Romi ingin menceraikan saya, saya pasrah saja. Terserah apa maunya,” katanya enteng.
“Apa kamu bilang? Cerai? Tak ada dalam kamus keluarga kami untuk mengenal kata cerai itu. Sebuah pernikahan didasar oleh niat yang baik, untuk membentuk sebuah keluarga yang kokoh sampai maut memisahkan. Mengapa bicara tentang cerai? Mama tidak suka mendengarnya,” kata bu Rosi dengan wajah muram.
“Maaf Ma, bukan Elisa yang ingin. Tapi melihat sikap Romi selama berhari-hari ini, tampaknya hal itulah yang diinginkannya. Kalau itu benar, Elisa bisa apa? Terserah apa keinginan dia saja kok.”
“Tidak bisa begitu. Sepasang suami istri harus bisa saling menjaga, agar sebuah rumah tangga tetap berdiri dengan kokoh, walau badai kehidupan menerpanya. Hentikan keinginan itu. Kalau sampai Romi punya maksud begitu, mama pasti akan menentangnya."
Elisa tersenyum. Ia sudah kehilangan rasa cintanya pada Romi, yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh dia sadari, apakah dia benar-benar cinta, atau sekedar ingin bersenang-senang. Kalau kemarin dia mendesak ingin segera dinikahi, bukan karena dia takut kehilangan Romi, tapi karena ia harus menutupi kandungannya yang sudah berjalan beberapa bulan. Sekarang, setelah dia punya status seorang istri, apa salahnya kalau kemudian perutnya semakin membuncit?
Bu Rosi menangkap senyuman Elisa, tapi tidak mengerti apa yang sesungguhnya dipikirkannya. Ia melihat, Elisa tidak tampak sedih ketika berbicara tentang kemungkinan terjadinya perceraian. Barangkali Elisa sudah bosan menghadapi sikap Romi yang keras kepala, entahlah. Itu hanya perasaan bu Rosi saja. Walau begitu ia tetap berpegang bahwa perceraian bukan sesuatu yang baik dilakukan.
***
Bu Rosi bahkan marah-marah ketika malam hari itu Romi masuk ke kamarnya dan berbicara tentang keinginannya bercerai.
“Apa kamu kira, pernikahan itu adalah sebuah permainan?”
“Romi tidak bisa hidup bersama seorang wanita yang tidak bisa dipercaya.”
“Kamu bicara tentang kepercayaan, dari mana kamu tahu bahwa bayi yang dikandung itu bukan darah dagingmu, sementara kamu juga pernah melakukannya?”
“Tampaknya aneh.”
“Pokoknya mama tidak suka mendengar tentang perceraian. Apalagi istri kamu itu sedang mengandung. Mana ada suami menceraikan istrinya yang sedang mengandung?”
“Dengan sebuah alasan, bisa saja kan?”
“Ini bukan masalah bisa atau tidak. Kamu harus menjaga martabat keluarga juga. Alangkah memalukan, baru beberapa hari menikah kemudian bercerai,” sungut sang ibu.
Romi tampak diam. Romi yang biasanya arogan, yang selalu bisa memaksa ibunya agar semua keinginannya dipenuhi, kali ini tak bisa apa-apa. Ia diam beberapa saat lamanya.
“Bagaimana dengan tes DNA”
“Romi, ibu tidak suka semua itu. Segala yang kamu lakukan demi untuk bisa bercerai, tetap saja mencoreng nama baik keluarga.”
“Romi tidak tahan lagi Ma.”
“Tunggu sampai bayi itu lahir. Bukan awal pernikahan begini kamu sudah membuat gara-gara demi perceraian.”
Romi kembali terdiam. Menunggu sampai bayi itu lahir, terlalu lama, tapi apa boleh buat, Romi tak bisa membantah apa yang dikatakan ibunya.
“Lagipula kamu sudah harus mulai terjun di perusahaan ayah kamu. Ibu sudah capek mengurusnya. Ibu sudah tua dan ingin hidup tenang.”
“Romi selesaikan dulu kuliah Romi yang semoga saja sebentar lagi selesai.”
“Itu lebih bagus daripada kamu memikirkan sebuah perceraian,” sentak sang mama yang kemudian meninggalkannya sendiri di dalam kamar itu.
***
Sore itu seperti biasa Andin bekerja bersama Kinanti. Andin tahu apa yang terjadi pada Kinanti, tapi Aisah tidak pernah mengatakan apa yang terjadi pada Andin, karenanya dia tak pernah membicarakan masalah laki-laki yang menyakitinya.
Keduanya bahkan tak pernah berbicara tentang kehidupan pribadi mereka, karena mereka berusaha saling menjaga perasaan, dan tak ingin berbincang tentang hal yang hanya akan membuat mereka sedih. Kinanti sudah bisa menerima takdir hidupnya dengan ikhlas, dan berjanji akan meraih kehidupan yang tenang nanti bersama anak yang masih dikandungnya.
Dokter Faris senang karena kedua asistennya bisa bekerja sama dengan baik. Ia menempatkan Andin di dalam ruangannya karena ia ingin selalu berdekatan dengannya. Sementara Andin yang sudah tahu bagaimana perasaan dokter Faris kepadanya, berusaha menjauhinya, dan bersikap biasa saja.
Berbeda dengan Andin yang mengagumi dokter Faris dalam hati, Kinanti yang kehilangan cinta merasa kagum terhadap dokter Faris yang selalu baik kepada siapapun juga.
Kinanti bahkan membayangkan, alangkah bahagianya seandainya ia memiliki suami seperti dokter Faris. Ganteng, baik hati. Lalu Kinanti menepiskan perasaannya, mengingat dirinya sudah mengandung, tanpa suami pula.
“Pasien sore ini lebih banyak dari kemarin ya Mbak, pasti Mbak Kinan capek.”
“Enggak Ndin, biasa saja kok. Namanya bekerja, pasti juga capek.”
“Mbak Kinan sedang mengandung, pasti beda lah.”
“Tidak kok. Aku sama sekali tidak merasa capek, kan hanya bekerja paruh waktu. Aku bahkan ingin bekerja saat pagi, daripada menganggur di rumah kontrakan.”
“Mbak Kinan mau bekerja apa?”
“Entahlah, belum aku pikirkan. Mungkin akan berjualan makanan, entah nanti bagaimana.”
“Tapi Mbak Kinan harus bisa menjaga kesehatan lho ya, ingat kandungan Mbak.”
“Iya Ndin. Jangan khawatir. Anakku ini bandel kok. Ia tak pernah mengeluh karena ibunya bekerja keras untuk dirinya juga.”
Andin tersenyum, sambil mengelus perut Kinanti. Ada rasa miris mengingat apa yang terjadi pada Kinanti sehingga sekarang harus mengandung anak tanpa punya suami.
“Ini sudah malam, kalian pulang naik taksi saja,” tiba-tiba dokter Faris muncul dari balik pintu ruang prakteknya, karena pasien memang sudah habis.
“Tidak usah dok, biar saya mengantarkan mbak Kinan dulu seperti biasa, kenapa harus naik taksi?”
“Tapi pasien tadi lumayan banyak, ini sudah hampir jam sembilan.”
“Jalanan masih ramai kok Dok.”
“Atau biar aku saja yang naik taksi Ndin, kamu tidak usah mengantarkan aku, nanti kamu kemalaman sampai di rumah,” kata Kinanti.
“Mengapa begitu? Kan rumah Mbak Kinan kelewatan kalau aku mau pulang?”
“Berbeda dong, kalau kamu langsung pulang.”
“Ya sudah, daripada berebut, sepeda motor Andin ditinggal saja di sini, aku yang mengantarkan kalian pulang,” akhirnya kata dokter Faris.
“Nggak usah Dok,” kata keduanya hampir bersamaan.
“Sudah, jangan membantah. Sekarang Andin masukkan sepeda motor kamu ke garasi, lalu bersiap pulang.”
Andin dan Kinanti tak bisa membantah kata majikan gantengnya, dan terpaksa menurut ketika dokter Faris memaksanya masuk ke dalam mobilnya.
Andin duduk di depan, menemani dokter Faris, sementara Kinanti di belakang.
“Terima kasih banyak Dok,” kata Kinanti setelah mobil dokter Faris melaju.
“Tidak apa-apa, jangan pikirkan. Ini sudah terlalu malam. Biasanya jam delapan sudah selesai, kan?”
“Jalanan masih rame.”
“Nanti kalau kamu diculik, bagaimana? Soalnya wanita cantik dijalanan tanpa pengawal pula, pasti menarik bagi pria hidung belang.”
“Dokter berlebihan deh. Jalanan begini ramai, mana ada orang berani menculik,” kata Andin.
“Siapa tahu. Aku hanya menghawatirkan kalian.”
“Baiklah, terima kasih banyak Dok,” kata mereka hampir bersamaan.
Dokter Faris hanya tersenyum. Sesekali ia melirik Andin yang duduk di sebelahnya. Sesungguhnya ia amat penasaran, karena Andin tampak tak pernah perhatian saat dia menatapnya. Apakah Andin masih sungkan mengingat soal keguguran itu?
Mobil dokter Faris berhenti di rumah kost Kinanti. Ia belum menjalankan mobilnya, sampai Kinanti masuk ke dalam rumah.
“Kasihan gadis itu.”
“Terkadang seorang wanita menerima perlakuan yang kejam, dan luka yang dideritanya akan berlangsung lama, bahkan selama hidupnya akan masih terasa sakit,” gumam Andini.
“HIdup itu kan sebuah perjalanan. Dan perjalanan itu kan seperti orang berjalan biasa. Terkadang ada sandungan, terkadang ada lobang yang membuat kita terperosok ke dalamnya. Tapi bahwa sebuah kejatuhan itu tidak seharusnya menjadi derita seumur hidup, kita harus bisa menyikapinya dengan baik. Bukan menangisinya sepanjang hidupnya,” kata dokter Faris bijak. Sebenarnya ia sedang menyindir Andini, yang masih tampak trauma dengan kejadian yang menimpanya. Bahkan ia juga belum tampak menyambut cintanya yang berkali-kali diutarakan, baik secara terang-terangan maupun hanya sindiran.
Andin diam di sepanjang dokter Faris berbicara, hingga akhirnya tercetus sebuah kata yang mengejutkan dokter Faris sendiri.
“Yang harus dikasihani adalah mbak Kinanti.”
***
Besok lagi ya.