BERSAMA HUJAN 18

 BERSAMA HUJAN  18

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rosi menatap Romi yang meneruskan acara sarapannya tanpa peduli apapun. Wajah tampannya berubah dingin dan menyeramkan.

“Romi, ada mertua kamu datang, sebaiknya kamu segera menyambutnya.”

“Romi sedang sarapan Ma, ini waktu yang terlalu siang untuk menikmati makan pagi,” kata Romi tak acuh. Ia menyendok lagi nasi goreng yang terhidang dihadapannya, dan menyuapnya pelan.

Sang ibu menatapnya kesal.

“Romi, kalian pengantin baru, apa yang membuatmu seperti ini? Aku sungkan pada orang tua Elisa,” kata bu Rosi sambil menyelesaikan sarapannya, kemudian meneguk segelas jus jeruk yang terhilang, lalu segera berdiri dan bergegas menuju ke arah depan, dimana tamunya sudah duduk di ruang tamu.

“Elisa, pergilah ke ruang makan, suami kamu sedang sarapan,” kata bu Rosi.

Elisa mengangguk, kemudian melangkah ke arah belakang. Dilihatnya Romi bergeming diatas kursinya, dan menikmati sarapannya tanpa mempedulikan kedatangannya.

“Romi, aku minta maaf, pergi tanpa memberi tahu, soalnya kamu masih tidur saat aku ingin keluar,” kata Elisa sambil duduk, kemudian membalikkan piring yang tersedia, mengisinya dengan sedikit nasi goreng yang terhidang.

Romi tak bereaksi apapun. Ia menyuap pelan makanannya, dan tampak menikmatinya tanpa peduli pada kedatangannya.

“Jangan bersikap begitu Romi, mari kita bicara.”

“Kamu kan sudah bicara?” sahutnya tak acuh.

“Romi, kamu marah-marah sejak semalam, dan kemarahan kamu sangat tidak beralasan.”

“Apa katamu? Tidak beralasan? Kamu pikir aku ini bodoh apa? Kamu itu sudah hamil, dan itu bukan usia kandungan yang masih muda.”

“Omong kosong apa itu Romi? Aku baru saja pergi ke klinik.”

”Klinik apa?”

“Karena kesal aku pergi ke dokter sendiri. Benar, aku hamil.”

“Hmh, benar?”

“Tapi usia kandungan aku masih sangat muda.”

“Perut kamu segede itu?”

“Tubuhku kan kecil Romi, jadi wajar saja kalau kehamilan yang sangat muda sudah menampakkan perut yang agak membesar.”

“Aku bukan anak kecil,” katanya kemudian meletakkan sendok garpunya, lalu mengambil gelas berisi jus, dan pergi dari sana, menuju dapur.

“Romi!”

Elisa menghentikan makannya, lalu berdiri dan mengejar Romi.

“Romi, dengar, papa sama mama aku mengantarkan aku ke dokter,” katanya begitu berada di dekat Romi, yang sedang menghirup minumannya didepan meja dapur. Elisa mencoba meraih tangannya, tapi Romi mengibaskannya.

“Romi, apakah kamu masih marah?”

Romi menoleh, dan melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu dapur. Romi meletakkan gelasnya, kemudian berjalan ke arah depan, karena tak ingin bibik mendengar suasana tak mengenakkan diantara mereka. Elisa dan ibunya mengikutinya.

Di ruang tengah, dilihatnya ayah Elisa dan ibunya masih berbincang. Kemudian mereka semua duduk.

“Romi, apa kabar kamu?” sapa sang ayah mertua dengan ramah.

“Baik, Pa.”

“Kami sudah bicara sama mama kamu. Dia sudah tahu permasalahannya. Pagi sekali Elisa datang dan menangis. Dia bilang kamu mencurigainya telah hamil. Dan kalau benar hamil, dia kan istri kamu, lalu sebelum menikah kalian sudah berhubungan lebih dari pasangan biasa. Benar begitu?” kata sang ayah mertua.

Romi tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah lain.

“Aku dan papanya mengantarkannya ke dokter pagi ini, memang Elisa hamil. Tapi baru awal kehamilan. Memang itu kesalahan kalian karena menerjang pagar pengaman yang seharusnya baru pantas dilakukan setelah menikah. Tapi karena kalian melakukannya, dan awal pernikahan ternyata telah hamil, itu salah kalian, dan Romi tidak boleh ingkar."

“Ada dokter langganan kami, seorang dokter kandungan, yang nantinya akan terus mengawasi kehamilan Elisa. Sangat menyakitkan bagi seorang wanita ketika suaminya menuduhnya hamil dengan laki-laki lain, sementara dia juga melakukan hubungan tak pantas itu sebelumnya,” sambung ayahnya lagi.

“Romi, kamu tidak boleh keras kepala. Usia pernikahan baru sehari dan kamu membuat gara-gara seperti ini. Kamu harus ingat, pernikahan bukanlah permainan. Bukankah mama juga sudah mengatakannya tadi?” bu Rosi ikut bicara.

Romi tetap bergeming.

“Romi, nanti sore kami berdua harus kembali ke luar negri, kami berharap pernikahan kalian baik-baik saja. Yang terjadi adalah sebuah sandungan kecil yang kalian harus bisa melewatinya,” kata ayah Elisa.

“Benar. Pertahankan pernikahan kalian. Jangan sampai gagal di tengah jalan. Aku titipkan Elisa pada kamu, agar kamu membuatnya bahagia karena dia jauh dari orang tua,” sambung sang ibu mertua.

Sampai kemudian mereka pulang, Romi hanya mengantarkannya sampai ke halaman, dan tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, kecuali mengangguk dan mencoba tersenyum.

Sang mama juga mengomelinya sampai Romi dan Elisa masuk kembali ke dalam rumah.

Romi hanya diam, tapi sungguh di dalam hati dia tak percaya, tentang apa yang dikatakan ayah dan ibu mertuanya.
Ia masuk ke kamarnya dan bersiap pergi tanpa mengucapkan apapun pada sang istri. Ketika dia keluar, bu Rosi menegurnya.

“Kamu mau ke mana?”

“Ke kampus,” jawabnya singkat.

“Romi,  mama kan sudah bilang menikah belum sepekan tidak boleh keluar rumah. Tadi Elisa melanggarnya, dan sekarang kamu juga?”

“Romi sedang mengerjakan skripsi dan tidak mau menundanya lagi, supaya bisa segera selesai,” jawabnya sambil langsung melangkah keluar.

Bu Rosi tidak melihat Elisa mengantarkan suaminya keluar. Tampaknya ketegangan diantara keduanya belum juga mereda.

Bu Rosi sangat sedih melihat keadaan ini. Tapi Romi bukan anak kecil, dia melakukan apa yang ingin dilakukannya. Ia kemudian melangkah ke dapur, duduk di kursi dapur, memperhatikan bibik yang bersiap untuk memasak.

“Nyonya ingin makan sesuatu?” tanya bibik.

“Tidak, ambilkan lagi jus jeruk. Tadi aku belum menghabiskannya.”

“Maaf, Nyonya, tadi saya buang. Tapi saya akan mengambilkannya lagi,” kata bibik sambil mengambil gelas, dan menuangkan jus jeruk seperti yang diminta majikannya.

“Silakan Nyonya, ditaruh di sini, atau di meja makan?”

“Di sini saja Bik. Tiba-tiba aku merasa sendirian, dan butuh teman. Karena itulah aku duduk di sini, karena di sini ada kamu, jadi mengurangi rasa sepi aku.”

“Nyonya tampak tidak sedang baik-baik saja.”

“Bagaimana aku bisa merasa baik Bik. Baru kemarin mereka menikah, sekarang sudah ada huru hara. Sudah begitu, dilarang keluar sebelum sepekan saja tidak ada yang mau mendengar. Tadi pagi Elisa nekat pergi, sekarang Romi juga begitu."

“Padahal di kampung bibik, pengantin sebelum sepekan tidak boleh keluar rumah, Nyonya. Bisa kena sawan.”

“Aku sudah bilang begitu, mereka tidak percaya.”

“Saya khawatir akan tidak baik bagi pernikahan tuan muda.”

“Nah, itu juga yang aku khawatirkan.”

“Doakan agar semuanya baik-baik saja, Nyonya.”

“Tentu saja, Bik. Aku hanya punya Romi. Kalau dia gagal dalam mengayuh kehidupan ini, maka apa lagi yang bisa aku harapkan? Aku telah membuat suami aku kecewa karena tak bisa menjaga anak satu-satunya yang dititipkannya."

“Dengan doa, Nyonya akan menjadi kuat. Dan Nyonya jangan pernah merasa sendiri, karena bibik akan selalu bersama Nyonya.”

“Terima kasih Bik,” kata bu Rosi sambil mengusap setitik air matanya, kemudian meneguk jus jeruknya, berharap perasaannya akan lebih tenang.”

***

Pagi hari itu Aisah membantu bersih-bersih di rumah Andin. Sudah tiga hari dia ada di rumah itu, karena menghindari permintaan bu Rosi untuk menjadi pendamping pengantin untuk Romi.

Aisah merasa senang, karena di rumah itu ia merasa lebih tenang, dan bisa mengerjakan skripsinya dengan lancar, karena Andin selalu memberinya semangat.

“Nak Aisah kok rajin sekali?” tiba-tiba pak Harsono yang sudah siap berangkat ke kantor menegurnya.

“Iya Pak, tadi bangun agak kesiangan.”

“Jangan dipaksakan Nak, katanya Nak Aisah baru mengerjakan skripsi. Kalau terlalu keras membantu Andin bekerja, nanti kecapekan lalu tidak bisa belajar.”

“Tidak apa-apa Pak. Belajar juga harus ada istirahatnya. Lagi pula hanya membantu bersih-bersih, tak ada yang berat Pak.”

“Mana Andin?”

“Sedang menyiapkan sarapan, Pak. Agar Bapak tidak kesiangan masuk ke kantor.”

“Andin sangat memperhatikan ayahnya. Terkadang bapak ini merasa kasihan sama dia. Anak baik, penurut,” kata pak Harsono yang menurut Aisah seperti terdengar sedang mengeluh. Ada nada sedih yang mengiringi ucapan itu. Ia tahu pak Harsono sudah mengetahui kejadian yang menimpa Andin, tapi berusaha menutupinya. Aisah sangat menghargainya, dan tak ingin mengatakan apapun pada sahabatnya.

Ia sudah selesai mengepel dan membersihkan debu di setiap perabotan, ketika Andin berteriak dari belakang.

“Ais, ngapain kamu itu. Sudah, tinggalkan saja.”

Aisah membawa sulak ke belakang, menggantungkannya di tempat biasa, lalu mendekati Andin.

“Ada yang bisa aku bantu?”

“Apaan sih, ini sudah selesai, sekarang kamu mandi saja, lalu kita sarapan.”

“Wah, iya … nggak sempat bantuin masak nih, aku.”

“Hanya masak sarapan kan tidak banyak. Oseng sayur sama keripik ikan asin.”

“Hm, kedengarannya nikmat. Biar aku mandi dulu,” kata Aisah yang kemudian berlari ke kamarnya, bersiap mandi.

Andin tersenyum. Ia melanjutkan menata piringnya, karena tampaknya sang ayah akan berangkat pagi-pagi.

“Bapak makan dulu saja, nanti Andin makan bareng Aisah.”

“Iya Ndin, maaf kalau bapak makan lebih dulu ya, akhir-akhir ini banyak pesanan, sehingga bapak harus datang lebih pagi, dan terkadang juga pulangnya agak sorean.”

“Bapak jangan sampai kecapekan. Andin sedih kalau Bapak sampai sakit.”

“Tidak capek. Bapak hanya selalu merasa senang karena melihat kamu tampak senang juga.”

“Bukankah setiap hari Andin selalu senang?”

“Anakku …” kata pak Harsono sambil mengelus kepala Andin, kemudian duduk di kursi, lalu mulai menikmati sarapannya ditungguin oleh anak semata wayangnya, yang selalu disebutnya permata hati.

“Kamu tidak sarapan sekalian?”

“Nanti Andin sarapan bareng Aisah. Enakkah sarapannya?”

“Kamu selalu bertanya begitu. Bapak selalu merasa enak makan masakan kamu. Kamu anak bapak yang luar biasa.”

“Bapak bisa saja.”

“Itu benar.”

Pak Harsono menikmati sarapannya dengan nikmat. Tapi dalam hati ia selalu menyesali penderitaan Andin yang selalu disembunyikannya dari ayahnya. Ada sedih dan kecewa, tapi yang juga ditutupinya, seperti Andin menutupi penderitaannya.

“Andin … kamu tahu apa yang bapak inginkan?”

Andin menatap ayahnya lekat-lekat,

“Semoga kamu menemukan kebahagiaan dalam hidup kamu.”

Andin terharu. Ia menatap mata tua ayahnya dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya.

“Andin tahu. Bapak tidak usah mengkhawatirkan Andin. Andin akan selalu bahagia, apalagi di samping Bapak.”

“Pada suatu hari bapak tidak akan ada di samping kamu.”

“Mengapa Bapak berkata begitu?”

“Umur manusia kan ada batasnya. Tidak selamanya bisa seperti ini.”

“Bapak jangan berkata begitu. Semoga hal itu masih akan sangat lama. Andin ingin bisa terus bersama Bapak,” kata Andin sambil memegangi tangan kiri ayahnya dengan perasaan haru.

“Saat itu, kamu harus sudah menemukan kebahagiaan kamu.”

Andin tak menjawab. Kalau ia membuka mulutnya dan bicara, maka air matanya pasti akan berhamburan membasahi pipinya, jadi dia hanya menatap ayahnya dan membiarkan matanya basah.

“Oh ya Ndin, dalam beberapa hari, di minggu ini, Luki akan datang kemari untuk menemui kamu.”

Wajah Andin langsung muram.

“Tapi bapak tidak ingin memaksa kamu. Kalau kamu tidak suka menjalaninya, ya sudah, tak usah dijalani.  Bapak hanya ingin kamu memilih yang terbaik untuk hidup kamu. Kalau nanti Luki datang kemari, barangkali hanya ingin mengenal kamu lebih dekat, bukan serta merta ingin melamar kamu.”

Andin merasa agak lega, karena rupanya sang ayah sudah lebih melunak ketika berbicara soal Luki, bukan seperti saat awal, lalu tampak tidak suka mendengar dirinya menolaknya.

Andin mengangguk.

“Walau kamu tidak suka, kamu harus bersikap baik dan sopan, karena ayah Luki adalah sahabat baik bapak.”

“Andin mengerti.”

“Saatnya bapak pergi ya, sarapannya enak sekali,” kata pak Harsono sambil berdiri.

Seperti biasa, Andin mengantarkannya sampai ke halaman sambil membawakan tas kerja ayahnya.

Ketika ia mau naik ke rumah, dilihatnya Aisah sudah rapi dan segar.

“Bapak sudah berangkat?”

“Baru saja. Katanya sedang banyak pekerjaan, jadi harus berangkat lebih pagi. Ayuk kita sarapan,” kata Andin sambil menggandeng tangan sahabatnya.

Tapi ketika Andin mau menutupkan pintu depan, dilihatnya sebuah taksi berhenti. Andin dan Aisah mengamatinya, dan melihat seseorang turun dari dalam taksi itu.

Tiba-tiba Andin terkejut, ketika Aisah berteriak.

“Itu mas Luki?”

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post