BERSAMA HUJAN 17

 BERSAMA HUJAN  17

(Tien Kumalasari)

 

Kantuk yang menggayuti mata Elisa lenyap seketika. Ia menatap suaminya yang masih berusaha meraih perutnya.

“Ada apa sih Rom?”

“Aku cuma heran, perutmu ternyata buncit begini.”

“Ih, ada-ada saja deh,” katanya sambil tidur telentang, dan tentu saja perutnya terlihat mengecil. Tapi Romi bukan laki-laki yang baru sekali berdekatan dengan perempuan secara intim. Dia tahu lah, bahwa perut itu tampak aneh.

“Dengar Rom, tadi tuh suguhan makanannya top banget, aku sudah lama menahan keinginanku makan gara-gara melayani tamu yang tak kunjung henti. Jadi tadi itu begitu ada kesempatan, aku langsung menyikat banyak sekali makanan yang aku suka. Memang sih, aku agak lapar, ditambah suguhan makanan yang menggugah selera. Terus terang aku agak lupa daratan tadi, sehingga perutku jadi agak gendut,” kata Elisa memberi alasan.

“Kamu bukannya hamil?” tuduh Romi.

“Hamil? Kalaupun aku hamil, ya pastilah anak kamu lah Rom. Mengapa kamu ini?” kata Elisa sambil mencumbu suaminya, agar Romi melupakan masalah perut itu tadi. Tapi Romi yang merasa aneh, tiba-tiba kehilangan selera. Ia mengibaskan tangan Elisa, lalu tidur menghadap tembok, membelakangi istrinya.

“Rom, sekarang aku jadi ingin, nih.”

“Hentikan Elisa, aku mau tidur lagi,” kata Romi kasar.

“Romi, ada apa denganmu? Kalaupun aku hamil, pastilah ini anak kamu.”

“Kamu baru saja kembali. Kita belum lama bertemu. Tapi sudahlah, aku enggan membicarakannya. Besok kita ke dokter.”

“Apa maksudmu ke dokter Romi?” tiba-tiba Elisa merasa cemas. Ia menggoyang-goyang tubuh suaminya, tapi dengan kasar Romi mengibaskannya.

“Romi! Kamu itu kesurupan atau apa? Mengapa tiba-tiba menuduh aku hamil? Dan kalaupun hamil, ini benih kamu juga kan?”

“Kapan kita melakukannya? Dan kalaupun benar, masa perut kamu sudah segede itu. Kamu bilang apa? Kekenyangan? Beda dong, kekenyangan sama hamil. Kamu kira aku anak kecil apa?”

“Romi, kamu menuduh aku apa?”

“Besok kita ke dokter, dan kita harus membuktikannya.”

“Romi, aku tidak mau!?

“Kenapa tidak mau?”

“Baru saja menikah periksa kehamilan. Malu dong.”

“Sudah, diam. Pokoknya besok ke dokter. Titik.”

Elisa menangis terisak. Bukan hanya untuk meluluhkan hati Romi, tapi memang dia sangat sedih dan kebingungan. Ia tak mengira Romi akan meraba perutnya lalu merasakan ada perubahan dalam perutnya. Memang sih, Elisa bertubuh semampai dan menarik. Sekecil apapun perubahan pada perut itu pastilah kelihatan.

Elisa terisak tak berhenti, tapi Romi menutupi kupingnya dengan bantal.

Sampai pagi harinya, Elisa tak bisa tidur. Ia terbangun saat pagi baru saja merekah. Ia bangkit lalu turun dari ranjang. Ia berjalan ke kamar mandi, memakai baju yang lebih pantas, lalu berjalan ke arah dapur. Bibik pembantu sudah sibuk melakukan kewajibannya. Elisa duduk di kursi dapur.

“Non, kenapa duduk di sini?”

“Tolong buatkan aku minum Bik.”

“Non Elisa mau minum  apa?”

“Buatkan coklat susu.”

“Baik, nanti bibik antarkan ke ruang makan, atau ….”

“Aku mau minum di sini saja.”

“Oh, di dapur Non? Baiklah, akan bibik buatkan, bersama tuan Romi kan?”

“Tidak, aku sendiri saja, Romi belum bangun.”

“Baiklah.”

Elisa duduk menunggu, kepalanya bertumpu pada kedua belah tangannya. Rambutnya awut-awutan, dan matanya tampak sembab. Si bibik mengira itu adalah hal biasa bagi pengantin baru. Ia tak tahu bahwa sedang terjadi perang kecil yang membuatnya ketakutan. Bukan perangnya pengantin baru, tapi perangnya suami yang sedang mencurigai istrinya.

Bibik menyerahkan segelas coklat susu yang diminta majikan barunya di rumah itu.

“Mau bibik buatkan roti bakar?”

“Tidak, ini saja.”

Elisa mendekatkan gelasnya, lalu dengan sendok ia mengaduknya pelan, kemudian mencecapnya berkali-kali.

“Kalau kurang manis ini ada gulanya, Non.”

“Nggak usah, ini cukup.”

Ketika ia menghabiskan separuh gelas minumannya, tiba-tiba bu Rosi muncul. Heran melihat Elisa minum di dapur.

“Elisa, kenapa minum di sini? Romi mana?”

“Belum bangun Ma.”

“Dasar anak itu. Ayo ke ruang makan saja, biar mama temani kamu minum.”

Elisa terpaksa menurut. Bu Rosi memerintahkan bibik agar membuatkan minuman lagi untuknya. Tapi rupanya bibik sudah membuatkannya begitu melihat nyonya besarnya muncul di dapur.

“Bawa sekalian minuman Elisa.”

“Baik.”

Bu Rosi melihat wajah Elisa pucat, rambutnya juga awut-awutan. Ia juga melihat sembab di wajahnya. Tapi ia enggan bertanya. Ia merasa urusan anaknya bukan lagi menjadi urusannya.

“Kalian punya rencana bulan madu ke suatu tempat?”

Elisa tersenyum tipis, bahkan pahit. Sang suami malah akan mengajaknya ke dokter kandungan, dan dia sedang berpikir, apa yang harus dilakukannya.

“Katakan saja kalau kalian ingin ke suatu tempat, atau barangkali ke luar negri.”

Bibik menghidangkan minuman kedua majikannya.

“Buatkan roti selai sarikaya untuk aku Bik. Kamu mau apa, Elisa?”

“Terserah mama. Sama juga nggak apa-apa.”

Bibik mengangguk, kemudian berlalu.

“Kalau mau, besok mama akan menyuruh orang untuk mengurus semuanya. Kalian tidak perlu repot.”

“Menunggu Romi saja Ma, kalau Elisa sih, tidak ingin ke mana-mana.”

Bu Rosi meneguk minumannya.

“Kamu tampak sedih? Pengantin baru kok sedih?” tak urung bu Rosi menanyakannya, karena Elisa tampak tak bersemangat.

“Tidak apa-apa Ma, hanya pertengkaran kecil saja.”

“Agak aneh juga kalau pengantin baru bertengkar. Ada masalah?”

“Tidak. Hanya perbedaan pendapat. Bukan masalah besar.”

“Kalian sudah menjadi suami istri. Perbedaan pendapat itu bisa saja terjadi, tapi sebagai orang dewasa, kalian harus bisa mengatasinya dengan bijak.”

Elisa hanya mengangguk.

“Mama ingin segera punya cucu.”

Elisa terhenyak. Ibu mertuanya mana tahu bahwa anak dan menantunya sedang bersitegang gara-gara kehamilannya.

Elisa salah sangka. Ia mengira semuanya akan baik-baik saja, dan kalau nanti tiba-tiba dia melahirkan yang menurut perhitungan suaminya seperti belum saatnya, ia tinggal bilang kalau anaknya lahir prematur, atau entahlah, yang penting semuanya akan baik-baik saja. Tapi yang terjadi bukan seperti bayangannya. Mereka baru saja melangkah, dan kecurigaan itu sudah disematkan suaminya, bahkan pada malam pertama dimana seharusnya sepasang pengantin menikmatinya dengan penuh suka cita.

Bibik menghidangkan roti bakar yang dipesan.

“Makan rotinya. Enak selagi hangat,” kata bu Rosi sambil mencomot rotinya.

Elisa mengikutinya, kendati dia tak ingin melakukannya.

“Kamu tak ingin membangunkan suami kamu?”

“Biarkan saja, daripada nanti dia marah.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

Keduanya menghabiskan minum dan roti yang terhidang, kemudian Elisa pamit untuk mandi.

“Baiklah, mandi sana. Supaya kalau suami kamu bangun, melihat istrinya sudah cantik, pasti dia senang.”

Elisa melanjutkan langkahnya, setelah menanggapinya dengan senyuman tipis.

“Ini sudah Bik,” teriak bu Rosi, lalu bibik setengah berlari mendekat.

“Nyonya masih ingin rotinya? Bibik masih membakar roti lagi.”

“Sudah kenyang, untuk kamu saja.”

“Barangkali tuan Romi nanti mau.”

“Kalau dia sudah bangun saja. Nanti dingin, apa mau dia.”

“Baik Nyonya.”

Kembali ke kamarnya, bu Rosi masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa sang pengantin baru tampak kucel dan tidak bahagia.

***

 Ketika Elisa kembali ke kamarnya, dilihatnya Romi masih meringkuk, membelakangi pintu, jadi tidak melihat Elisa masuk, walau matanya sudah terbuka.

Ia langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ia harus pergi sebelum suaminya terbangun, dan memang sampai kemudian dia selesai mandi dan berdandan, belum tampak Romi bangun dari tidurnya.

Ia keluar dari kamar, lalu melihat ibu mertuanya juga sudah rapi.

“Apa mama mau pergi?”

“Tidak, barangkali masih ada tamu yang datang, kan aku harus rapi.  Kamu mau pergi?”

“Mau keluar sebentar Ma, ada perlu sebentar.”

“Pengantin baru sehari mau keluar rumah, itu tidak baik. Ada keperluan apa, biar mama suruh orang melakukannya.”

“Mau pulang sebentar.”

“Mengapa pulang?

“Sebentar saja.”

“Sebentar juga tidak boleh. Pengantin baru belum boleh keluar rumah sebelum sepekan.”

“Mah, ini sudah bukan jamannya mempercayai hal seperti itu.”

“Kamu jangan ngeyel. Memang anak jaman sekarang pasti tidak akan percaya hal-hal seperti itu. Tapi itu adalah sebuah tradisi yang tidak boleh dilanggar. Akan tidak baik jadinya kalau dilanggar.”

Elisa diam, tapi bukan berarti dia menurut. Kecurigaan Romi membuatnya kalut. Ia harus melakukan sesuatu. Oleh karena itu ketika sang ibu mertua masuk kedalam, dia segera menuju ke garasi, mengeluarkan mobilnya, kemudian membawanya keluar dari rumah.

Bu Rosi yang mendengar suara mobil menjauh segera memburu ke depan, tapi Elisa tak lagi tampak batang hidungnya.

Melihat majikannya melongok-longok, satpam yang berjaga di depan mendekat.

“Nyonya mencari non Elisa? Dia baru saja keluar dengan membawa mobilnya.”

“Jadi dia pergi?”

“Ya nyonya, saya tidak berani mencegahnya.”

“Ya sudah, tidak apa-apa.”

Sang satpam kembali ke arah depan, dan bu Rosi bergegas masuk ke kamar anaknya.

Dengan kesal ia membangunkan Romi yang masih saja meringkuk memeluk guling.

“Romi, Romi, bangun.”

Romi menggeliat, tapi hanya membalikkan badannya menghadap ibunya, masih memeluk guling dan masih memejamkan matanya pula.

“Romi, bangun.”

“Aku capek Ma.”

“Semua orang juga capek. Apa kamu tahu bahwa istrimu pergi?”

“Pergi ke mana?” tanyanya tanpa membuka mata.

“Nggak tahu, mama. Mama larang dia pergi karena pengantin baru itu tidak boleh meninggalkan rumah sebelum sepekan. E, dia nekat.”

“Biarkan saja Ma.”

“Kalian itu kenapa sih? Baru menikah sehari kok sepertinya nggak karuan begitu. Ada apa? Bertengkar soal apa?”

“Nggak apa-apa Ma, hanya pertengkaran kecil,” rupanya Romipun tak ingin mengatakan permasalahan yang sedang terjadi dengan istrinya.

“Pengantin baru itu mestinya kan tampak bahagia, bersikap manis, menunjukkan kalau saling mencintai. Kalian ini aneh.”

“Sebenarnya Romi tidak mencintai Elisa.”

“Apa?”

“Memang iya.”

“Kamu anggap pernikahan ini sebuah permainan? Sudah resmi menikah lalu bilang tidak mencintai?”

“Setelah benar-benar menikah, Romi baru merasa bahwa tidak mencintai dia.”

“Kalian kenal sudah lama, pacaran sudah bertahun-tahun, bagaimana bisa mengatakan tidak mencintainya?”

“Dia bertahun-tahun sekolah di luar negri, dan nyatanya kan tidak menjadi apa-apa. Pulang kemari dengan kegagalan kuliahnya, kemudian tiba-tiba minta Romi segera menikahinya.”

“Kamu bisa mengatakannya sebelum menikah. Kenapa bilang tidak cinta setelah kalian menikah?”

“Kan Romi sudah bilang bahwa baru merasakannya?”

“Kamu menganggap sebuah pernikahan ini seperti permainan. Begitu tidak suka, ya sudah, selesai. Begitu?”

“Romi menikahinya karena sudah pernah berhubungan sama dia.”

“Hm, mama sudah menduganya. Kamu memang tukang mempermainkan wanita. Seperti yang kamu lakukan sama gadis yang datang kemari itu, siapa namanya, Kinanti … atau siapa. Dia bahkan sudah hamil,” kata bu Rosi dengan nada tinggi.

Tiba-tiba Romi teringat gadis itu. Kinanti. Penjaga toko batik yang cantik dan lembut. Lalu seperti biasanya, dia berhasil merayunya, dan sekarang gadis itu hamil anaknya. Lalu kalau benar Elisa hamil, anak siapa yang dikandungnya? Romi tak yakin itu darah dagingnya. Baru sebulan berhubungan lalu perutnya segendut itu? Apa dirinya sedemikian sakti sehingga dalam sebulan bisa menggendutkan rahim seorang gadis?

Romi bangkit dari tempat tidur, melempar selimut begitu saja, lalu turun, melewati sang ibu yang berwajah muram karena kesal terhadapnya.

“Cari istri kamu. Bagaimanapun, sebuah rumah tangga harus dipertahankan. Mama nggak mau punya anak yang tidak bertanggung jawab.”

“Romi kan tidak tahu, dia pergi ke mana?”

“Katanya ke rumah orang tuanya.”

“Bukankah hari ini mereka kembali ke luar negri? Semalam sudah pamit, dan Romi sudah mengucapkan selamat jalan.”

“Mana mama tahu apa maksud Elisa pulang. Orang tuanya baru akan berangkat sore, mungkin Elisa ingin melepaskan kerinduan dia karena belum bertemu lama, lalu mereka sudah pergi lagi.”

“Romi mau mandi dulu.”

Romi memasuki kamar mandi, lalu bu Rosi keluar dari kamar dengan perasaan tak menentu. Ia menikahkan satu-satunya anak peninggalan suaminya, dengan harapan akan bisa melepas semua tanggung jawab atas perusahaan sang suami kepada anaknya, walau ternyata belum menyelesaikan kuliahnya. Tapi melihat rumah tangga yang ingin dibangunkannya untuk menjadi sebuah pernikahan yang utuh dan bahagia, rasanya semua itu akan jauh dari jangkauan.

Ia memasuki dapur untuk melihat bibik menyiapkan makan pagi, sambil mengeluh.

“Kepergian Elisa tanpa mendengar peringatannya agar jangan pergi sebelum sepekan, membuat perasaanku tak enak,” gumamnya.

“Benar Nyonya, seharusnya non Elisa mendengar apa yang Nyonya katakan. Yah, semoga tidak terjadi apa-apa,” sambung bibik yang mulai mengatur meja makan untuk sarapan para majikan.

Saat bu Rosi sarapan hanya bersama Romi, karena Romi belum juga menyusul istrinya atas perintah sang mama, didengarnya mobil memasuki halaman.

“Bik, tolong lihat ada tamu siapa? Persilakan duduk dulu sampai kami selesai sarapan,” perintahnya kepada bibik.

Bibik bergegas ke arah depan, tapi tak lama kemudian kembali dengan napas tersengal karena ia berjalan setengah berlari.

“Nyonya, yang datang adalah non Elisa bersama ayah dan ibunya.”

***

Besok lagi ya.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post