BERSAMA HUJAN 14
(Tien Kumalasari)
Dokter Faris tertegun sejenak. Ini bukan darah biasa. Andin tampak menggeliat, dan meringis sakit.
Dokter Faris meraih ponselnya, memanggil ambulans, dan seorang dokter pengganti karena ada empat pasien menunggu di tempat prakteknya.
“Perut saya sakit sekali,” Andin menggigit bibirnya menahan sakit.
Dokter Faris menelpon Aisah, dan dengan tegas menyuruhnya segera datang.
“Sekarang Mas?” suara Aisah dari seberang sana.
“Sekarang. Bawa baju kamu lengkap.”
“Kenapa Mas?”
“Jangan banyak bertanya. Lakukan perintahku, nggak pakai lama.”
Aisah melongo. Ia heran karena sang kakak misan tampak sangat gugup. Ia tak harus bertanya, karena sesuatu pasti terjadi di sana, dan itu membuat sang kakak panik. Ia mengambil satu setel bajunya, dimasukkan ke dalam keresek, lalu berangkat dengan mengganti baju rumahannya dengan baju sekenanya. Ia juga hanya berteriak kepada pembantunya untuk pamit pergi, lalu memacu sepeda motornya ke rumah kakak misannya.
Ketika dia sampai, dilihatnya ambulans sudah ada di sana. Aisah bergegas mendekat, dan melihat Andin memejamkan mata, tergolek dalam usungan.
“Ada apa?” tanyanya panik.
“Tinggalkan motor kamu, di garasi, kamu ikut aku.”
“Segalanya terjadi begitu tiba-tiba. Semuanya tampak panik, bahkan beberapa pasien yang sedang duduk di ruang tunggu. Ada rasa kecewa karena dokter lain yang melayani, tapi apa boleh buat. Dokter Faris sendiri tampak begitu memperhatikan asistennya yang tergolek tak berdaya.
Lalu tak lama kemudian, ambulans itu melaju, meraung memecah malam dan membelah lalu lintas yang agak padat.
“Ada apa?”
“Aku menemukan sedikit jawaban,” kata dokter Faris.
Aisah menatapnya. Ia memeluk keresek yang tadi dibawanya, bahkan lupa membawa tasnya sendiri.
“Andin keguguran?”
“Ap … pa?”
“Ini jawaban yang aku terima ketika pertanyaanku tak segera terjawab. Mengapa Andin menolak aku, karena dia hamil.”
Aisah menghela napas sedih. Sedih menyaksikan keadaan sahabatnya yang terpuruk karena diperkosa, dan jatuh bangun karena hamil, lalu keguguran.
“Apa kamu masih tak mau menjawabnya? Aku yakin kamu mengetahuinya. Mengetahui semuanya. Siapa suami Andin?”
“Andin bahkan tak tahu kalau dia hamil,” gumam Aisah.
“Tak tahu?”
“Gadis yang malang. Aku selalu sedih mengingatnya,” gumam Aisah sambil mengusap setitik air matanya.
“Masih tidak ingin bercerita? Tabir itu sudah terbuka, tapi semuanya masih gelap bagi aku.”
“Hampir dua bulan lalu, Andin diperkosa.”
Dokter Faris mengerem mobilnya tiba-tiba. Ia sangat terkejut. Dan sekarang Aisah juga terkejut karena dahinya hampir terantuk kaca mobil di depannya.
“Ya ampun Mas.”
“Pakai sabuk pengamannya.” perintahnya sambil menjalankan lagi mobilnya. Ucapan Aisah tentang ‘diperkosa’ mengiris jantungnya. Gadis cantik lugu yang dikaguminya, ternyata korban perkosaan?
Dokter Faris mengusap wajahnya dengan kasar. Tak pernah terbayangkan hal itu terjadi pada diri Andin. Kesedihan yang selalu tersirat pada wajahnya adalah duka yang ingin disembunyikannya rapat-rapat. Bahkan ia seperti tak berani melangkah karena aib yang dideritanya.
“Itu sebabnya dia tak berani menerima cinta Mas, atau bahkan barangkali dari siapapun,” kata Aisah sambil menahan tangis.
“Ceritakan semuanya, nanti. Kita sudah sampai di rumah sakit.”
Dokter Faris menghentikan mobilnya, lalu setengah berlari mendekati brankar yang sudah mengusung Andin masuk ke dalam. Aisah mengikutinya sambil memeluk bungkusan baju yang dibawanya.
Andin langsung dibawa ke ruang operasi. Dokter mengatakan bahwa Andin keguguran dan harus dikuret.
Aisah duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Ia membayangkan pak Harsono harus diberi tahu. Dengan demikian sang ayah tercintanya Andin akan tahu semuanya. Andin bingung harus melakukan apa. Ketidak pulangan Andin malam itu ke rumah, pasti menimbulkan pertanyaan bagi sang ayah. Andin bingung apakah harus menyimpannya sebagai rahasia, atau berterus terang.
***
Aisah memasuki ruang rawat inap, setekah Andin dipindahkan. Andin tampak kebingungan melihat dirinya tergolek di sebuah ruang di rumah sakit, dan dokter Faris duduk menungguinya.
Mata Andin berkejap tak percaya. Ia ada di mana dan kenapa dokter Faris menungguinya? Senyuman itu menusuk perasaannya. Senyuman yang selalu membuat hatinya bergetar, tapi selalu dikibaskannya.
“Aap …apa … yang terjadi?” bisiknya lirih.
Senyuman dokter Faris mengembang.
“Kamu baik-baik saja.”
Aisah yang tiba-tiba masuk, kemudian merangkulnya erat.
“Aisah, katakan … aku kenapa?”
“Kamu keguguran, Andin.”
Tiba-tiba Andin menjerit sekuat-kuatnya.
“Apa? Aku … hamil?”
Aisah memeluknya erat.
“Tenang Andin, semuanya sudah berlalu. Tadi kamu jatuh dan perdarahan. Ternyata kamu hamil, dan sayangnya kamu harus dikuret karena bayimu tak tertolong,” kata Aisah meluncur begitu saja. Ia merasa tak perlu menyembunyikan apapun. Andin harus tahu apa yang terjadi, lalu dia bisa menentukan sikap apa yang seharusnya dilakukan. Terutama terhadap ayahnya yang belum tahu apa-apa.
Andin masih menangis histeris, dan Aisah terus merangkulnya.
“Ini adalah sesuatu yang harus terjadi. Kamu harus menerimanya dengan ikhlas.”
“Bapak sudah tahu?”
Hal pertama yang ditakutkan Andin adalah kalau sampai ayahnya tahu. Betapa akan sedihnya hati orang tua yang mengetahui derita anaknya sedalam itu.
“Aku baru ingin menanyakan, apakah sebaiknya bapak diberi tahu? Maksudku … berterus terang tentang apa yang terjadi?”
“Jangan … tolong jangan …”
“Sekarang ayahmu pasti sedang menunggu kepulangan kamu. Jangan membiarkan ayah kamu kebingungan terlalu lama.”
“Aku mohon, jangan katakan apapun. Maaf aku meminta kamu untuk berbohong. Maksudku, setengah berbohong.”
“Maksudnya bagaimana?”
“Bilang saja sakit perut. Itu tidak terlalu berbohong kan? Karena aku memang sakit perut. Tapi tidak, jangan kamu terlibat dalam kebohongan ini, biar aku menelpon bapak sendiri saja.”
“Aduh, maaf. Tas kamu dan tentunya ponsel kamu tidak terbawa, masih di tempat praktek,” kata dokter Faris yang dari tadi hanya diam.
Andin baru sadar kalau sekarang dokter Faris sudah mengetahui semuanya. Ia memalingkan wajahnya, dengan perasaan tak menentu.
“Pakai saja ponsel aku ini, Andin. Kasihan bapak kalau lama menunggu. Beliau juga pasti sudah menelpon kamu berkali-kali,” kata dokter Faris.
Aisah yang melihat Andin tampak bingung, segera mengambil ponsel dokter Faris, lalu menyerahkannya pada Andin.
“Telpon saja sekarang,” kata Aisah.
Andin yang mencemaskan perasaan ayahnya segera menelpon ayahnya.
“Ini kamu? Kamu di mana? Aku tadi pergi ke tempaat praktek dokter Faris. Tak ada siapa-siapa di sana. Pasien juga sudah tidak ada. Kamu kemana?” kata ayahnya yang memang benar-benar bingung.
“Bapak, Andin sakit perut, ini di rumah sakit.”
“Sakit bagaimana? Rumah sakit mana? Biar bapak ke sana.”
“Tidak usah Pak, sekarang sudah tidak apa-apa. Besok Andin sudah boleh pulang.” katanya tanpa yakin apakah dia benar-benar boleh pulang besok, atau tidak. Ia hanya merasa baik-baik saja, dan rasa sakit itu tidak lagi terasa.
“Benarkah tidak apa-apa?”
“Benar Pak, ini Andin bisa bicara jelas kan Pak?”
“Kenapa tidak pulang sekarang saja?”
Andin menoleh ke arah dokter Faris, dan berbisik, bolehkah pulang sekarang, tapi dokter Faris memberi isyarat, menunggu dokternya besok.
“Harus besok Pak, dokternya menunggu dulu semalam ini, apakah saya masih merasa sakit atau tidak. Bapak sabar ya.”
Andin menutup ponselnya dan memberikannya kepada dokter Faris. Selangkah kebohongan sudah dilakukan, lalu apa lagi? Andin memejamkan matanya, dengan pikiran masih kalut.
***
Pagi hari itu dokter Faris sudah bersiap akan pergi ke rumah sakit. Semalam dia minta Aisah agar menemani Andin, lalu ditinggalkannya pulang. Tas kecil milik Andin sudah dibawanya, dan dia bersiap memasuki mobil, ketika seorang laki-laki setengah tua masuk ke halaman dengan mengendarai sepeda motor.
Dokter Faris berhenti dan menduga-duga.
Laki-laki setengah tua itu turun dari sepeda motornya, dan berjalan mendekati dokter Faris.
“Selamat pagi,” sapanya.
“Selamat pagi Pak.”
“Apa Anda adalah dokter Faris, majikan anak saya?”
“Oh iya Pak, saya Faris. Jadi Bapak ini adalah ayahnya Andin?”
“Benar. Semalaman saya gelisah memikirkan Andin, ternyata dia ada di rumah sakit. Bagaimana keadaannya, dan kenapa?”
Dokter Faris menghela napas panjang. Sudah kepalang tanggung, dia harus mengikuti kebohongan yang pada awalnya diciptakan Andin. Tak apa, kebohongan demi kebaikan, demikian pikirnya.
“Hanya gangguan perut Pak, tidak berbahaya.”
“Kenapa harus opname?”
“Karena … waktu itu sudah malam, dan untuk lebih jelasnya harus menunggu pagi ini. Saya yakin hari ini Andin boleh pulang. Hanya harus menunggu dokter yang menanganinya.”
“Anda kan dokter? Kenapa harus dokter lain?”
“Maksud saya … mm … saya carikan dokter wanita,” tuh kan, dokter Faris juga sudah melanjutkan kebohongan itu.
Bukankah sebuah kebohongan akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang lain? Itu pasti. Kebohongan tidak mungkin hanya sepotong, akan ada sambungannya.
“Oh, apakah saya bisa melihatnya sekarang?”
“Bisa saja Pak, tapi apakah tidak sebaiknya nanti saja kalau dia sudah mau pulang, soalnya saya tidak tahu jam berapa dia pulang. Kan harus menunggu dokternya.”
“Bagaimana saya tahu jam berapa dia pulang?”
“Nanti Bapak saya jemput. Berikan saja alamat kantor Bapak.”
“Wah, merepotkan.”
“Tidak, justru kalau Bapak ke rumah sakit sekarang, nanti Bapak yang repot karena kelamaan menunggu. Tapi semua terserah Bapak. Kalau mau sekarang, akan saya antarkan. Sepeda motor Bapak ditinggal di sini saja.”
Pak Harsono menimbang-nimbang, di tempat kerja dia sedang banyak pekerjaan, karena sedang ramai pesanan. Dia juga harus menyiapkan semuanya pagi-pagi. Tapi dia menghawatirkan keadaan anaknya.
“Keadaan Andin bagaimana?”
“Dia baik kok Pak, bukankah semalam dia sudah bicara sama Bapak?”
“Ya sudah, saya mohon Nak dokter nanti benar-benar mengabari saya kalau Andin sudah boleh pulang.”
“Saya akan mengabari Bapak, sekaligus menjemput Bapak.”
Pak Harsono mengangguk. Diam-diam dia menilai bahwa dokter muda ini amatlah baik terhadap anaknya. Itukah sebabnya maka Andin tampak ragu-ragu dijodohkan dengan Lukianto?
“Ya sudah Nak, kalau begitu saya akan langsung ke kantor sekarang.”
Faris merasa lega. Ia harus memberi tahu Andin kalau sang ayah akan menjemputnya, sehingga Andin bisa bersiap menjawab pertanyaannya nanti. Pasti ada susulan kebohongan yang lain.
***
Andin sudah bisa duduk. Tindakan kuret tidak begitu mempengaruhi keadaannya. Ia hanya sedikit lemas, tapi ia siap segera pulang, kalau tidak diijinkan dia akan memaksa pulang. Ia sudah meminta Aisah agar segera pulang, karena semalaman memaksa menemaninya.
Tapi saat dokter Faris datang, dia bilang bahwa Andin memang boleh rawat jalan.
Andin yang merasa sangat sungkan kepada dokter Faris, tak ingin bicara banyak. Akhirnya semuanya terbuka. Akhirnya rahasia yang disimpannya akan terburai dengan sendirinya, tanpa keinginannya.
“Ini tas kamu, aku bawa sekalian.”
“Terima kasih dokter. Saya punya sedikit uang untuk membayar perawatan saya, jadi_”
“Kamu tidak usah membayar apapun. Semuanya sudah beres.”
“Dokter …”
“Jangan pikirkan apapun. Kalau kamu belum merasa sehat benar, tidak usah masuk dulu. Biar aku melakukannya sendiri. Itu sudah biasa.”
Andin terdiam. Tapi dilihatnya dokter Faris duduk didepannya, dan menatapnya tak berkedip.
“Terima kasih untuk semuanya,” katanya sambil menundukkan kepalanya.
“Untuk apa?”
“Semuanya. Dan maafkan saya.”
“Untuk apa meminta maaf?”
Andin tak bisa mengatakannya. Sangat berat rasanya mengungkapkan apa yang sebenarnya dialaminya. Tapi dokter Faris sudah mengetahui semuanya, karena Aisah sudah mengatakannya.
“Apapun yang terjadi atas diri kamu, tidak usah kamu mengungkapkannya lagi. Aku sudah tahu, dan sudah mengerti. Jangan merasa sungkan, bersikaplah seperti sebelumnya.”
“Apakah … saya … masih diperbolehkan bekerja?”
“Mengapa tidak? Kalau kamu bersedia, aku senang sekali, karena aku memang sangat membutuhkan bantuan orang seperti kamu.”
Andin hanya mengangguk.
“Aku ke klinik sebentar. Pada saat kamu sudah diijinkan pulang, aku akan menjemput ayah kamu, karena beliau ingin menjemput kamu pulang.”
“Terima kasih,” ucapnya sambil mencoba tersenyum. Dokter Faris menatap wajah kepucatan itu, dan merasa bahwa perasaannya tidak berubah.
***
Pagi hari itu, dokter Faris sedang bersiap untuk bertugas di rumah sakit. Andin sudah pulang sejak kemarin, dan pak Harsono tampak senang melihat Andin baik-baik saja, Tak ada kecurigaan di hati dokter Faris tentang sikap ayah Andin itu, sampai kemudian pagi hari itu tiba-tiba pak Harsono menemuinya.
Dokter Faris meminta agar pak Harsono duduk, tapi pak Harsono menolaknya.
“Saya hanya ingin bilang. Seorang dokter muda, ganteng, tampan, terkenal, tapi sama sekali tidak bisa menjaga martabat seorang gadis yang seharusnya dipegang oleh gadis itu,” kata pak Harsono sambil menatap tajam dokter Faris, yang kebingungan mendengar pak Harsono berkata-kata.
“Apa … maksud Bapak?”
“Apa Anda kira saya tidak tahu bahwa sebenarnya Andin keguguran?”
Dokter Faris terkejut.
***
Besok lagi ya.