BERSAMA HUJAN 12

 BERSAMA HUJAN  12

(Tien Kumalasari)

 

Pak Harsono langsung menarik Andin, diajaknya duduk di kursi. Andin berdebar, ini pasti masalah perjodohan dengan anak teman ayahnya. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Menolak dan mengecewakan ayahnya, atau menerima dengan perasaan ketakutan.

“Tadi kami bertemu, dan berbincang lama. Oh ya, nama teman bapak itu pak Istijab.  Dulu kami sekolah satu kelas sejak SD sampai SMA, tapi kemudian dia hijrah ke luar Jawa, punya usaha di sana, sehingga tidak pernah ketemu. Hanya sesekali saja dia menelpon atau mengirim pesan.

Andin masih mendengarkan. Nama itu diingatnya, pak Istijab. Baiklah, siapa nama anaknya? Andin semakin merasa gelisah.

 Dilihatnya sang ayah yang belum sempat membersihkan diri, apalagi berganti pakaian, sudah memintanya agar duduk di hadapannya. Wajahnya tampak berseri. Rasanya tak sampai hati Andin untuk mematahkannya.

“Tadi kami  bicara banyak. Anaknya bekerja di luar Jawa, karena meneruskan usaha ayahnya. Dia sangat berharap bisa berbesan dengan ayahmu ini. Sebentar, dia mengirimkan foto anaknya, bapak simpan di sini,” kata pak Harsono sambil mengeluarkan ponselnya, lalu membuka-buka untuk menemukan foto yang dimaksud.

“Nah, ini dia Ndin, lihatlah, ganteng dan berwibawa. Maklum, dia kan seorang pemimpin di perusahaannya. Lihat, apakah kamu tidak tertarik?”

Andin menerima ponsel itu, sekedar untuk menyenangkan hati sang ayah.

Dilihatnya seorang laki-laki gagah dengan balutan jas berwarna biru tua, matanya tajam, ada kumis di atas bibirnya. Andin hampir tersenyum, ia tak suka laki-laki berkumis. Ia juga tak suka mata tajam yang seperti mengintimidasi. Andin lebih suka wajah yang seperti dokter Faris. Wajahnya bersih, senyumnya manis, matanya teduh, dan …. Haaa? Apa? Andin terkejut oleh angan-angan gilanya. Mengapa ia membandingkan laki-laki yang fotonya ada di ponsel ayahnya itu dengan dokter Faris? Kesedihan kemudian muncul, ketika menyadari siapa dirinya. Siapapun laki-laki itu, mana mampu dia menerimanya? Andin merasa kotor dan tak pantas memiliki atau dimiliki. Ia mengembalikan ponsel ayahnya dengan pelan. Rasanya tak sampai hati mematahkan keinginan ayahnya, yang tampaknya sudah sangat menyukai laki-laki ganteng yang entah siapa namanya itu, dan dia tak ingin menanyakannya.

“Ganteng bukan? Pak Istijab sangat berharap, bapak bisa berbesan dengannya. Oh ya, anak ini namanya Luki. Lukianto,” Andin hanya menatap ayahnya, tanpa ekspresi. Sungguh tak sampai hati dia memudarkan kegembiraan ayahnya malam itu.

“Apa kamu suka?”

Andin terkejut. Suka? Bertemu juga belum. Tapi kemudian Andin menemukan jawaban untuk menolaknya.

“Mengapa Bapak sudah berharap untuk bisa memiliki menantu? Bukankah Andin masih kuliah, dan Bapak ingin agar Andin bisa menyelesaikannya?”

Pak Harsono memegangi tangan Andin yang memang berada di atas meja, lalu menepuknya pelan.

“Ini adalah sebuah harapan, dari mas Tijab, juga dari bapakmu ini.  Dia tidak meminta sekarang, tapi setidaknya kamu harus tahu bahwa kamu sudah dijodohkan. Dan ini membuat bapak merasa sedikit tenang.”

“Tapi Bapak kelihatan sangat tergesa-gesa.”

“Tidak, siapa bilang bapak tergesa-gesa? Bapak hanya mengatakan bahwa ada pembicaraan diantara bapak dan pak Tijab tadi, juga menyinggung tentang perjodohan diantara kalian. Tapi bukan minta untuk menikahkan kalian sekarang ini. Apa kamu mengerti?”

“Ini begitu tiba-tiba, Andin belum bisa memikirkannya.”

“Luki begitu ganteng dan dia pengusaha yang sukses. Apa kamu sama sekali tidak tertarik?” ada nada kecewa pada pertanyaan pak Harsono, membuat Andin merasa bersalah.

“Wajah ganteng dan kesuksesan seseorang, tidak bisa dikaitkan dengan perasaan hati seseorang. Andin hanya berharap agar Bapak lebih bersabar, dan tidak membicarakan masalah perjodohan sebelum Andin menyelesaikan kuliah. Bukankah ini juga harapan Bapak?” kata Andin sangat hati-hati.

Pak Harsono menghela napas panjang.

“Iya benar. Tapi bahwa ada sesuatu yang hampir pasti adalah sesuatu yang kelak akan membuat hidup bapak ini tenang, apakah itu salah?” Andin menangkap kekecewaan ayahnya tentang jawaban yang diutarakannya.

“Bapak, bukankah jodoh itu Allah yang menentukan? Baiklah, ada sebuah harapan yang hampir pasti bisa tercapai di tangan. Tapi bukankah Bapak pernah mengatakan bahwa berserah kepada kepastian Allah adalah hal yang terbaik?”

“Baiklah,  bapak mengerti. Tapi adakah sedikit saja rasa tertarik di hati kamu pada laki-laki ini?” katanya sambil menunjuk ke arah ponselnya. Tampaknya pak Harsono ingin mengetahui apakah Andin tidak tertarik sama sekali pada Luki. Ia tak melihat Andin memperhatikan foto itu dengan seksama, sepertinya hanya melihat sekilas saja.

“Bapak, Andin baru melihat foto dan belum orangnya, Andin harap Bapak bersabar ya? Menurut Andin, lebih baik Andin fokus pada kuliah Andin dulu.”

Akhirnya pak Harsono mengangguk. Ia segera berdiri menuju ke kamarnya.

“Bapak mau makan gado-gado? Tadi Andin belikan lhoh,” kata Andin agak berteriak karena ayahnya sudah melangkah menjauh.

“Tidak Ndin, bapak sudah kenyang. Kamu juga tidak usah menyiapkan minum untuk bapak. Tadi sudah makan minum sampai kenyang,” katanya sambil menoleh ke arah Andin, sebelum masuk ke kamarnya.

Andin masuk ke ruang makan, sebungkus gado-gado dimasukkannya ke dalam kulkas. Mana mampu dia menyantapnya lagi. Sudah dua bungkus dihabiskannya dalam beberapa menit terakhir.

Setelah itu Andin masuk ke kamarnya. Banyak beban menggayuti pikirannya. Ingin dia menelpon Aisah untuk berkeluh, tapi ia tahu Aisah sedang sibuk mengurusi skripsinya, jadi dia hanya menahannya saja di dalam hati, dan berusaha melupakan semuanya agar bisa memejamkan matanya sebelum besok pagi-pagi sekali dia mengerjakan banyak hal di rumah, baru setelahnya  berangkat ke kampus.

***

 

Pagi hari itu setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan memasak, dia menyiapkan sarapan untuk ayahnya dan dirinya sendiri.

Wajah ayahnya tampak tak secerah biasanya. Tampaknya sikapnya setelah ayahnya memberitahukan tentang laki-laki bernama Luki itu, membuat sang ayah kecewa. Andin jadi merasa serba salah.

“Mengapa Bapak sarapan hanya sedikit? Masakan Andin tidak enak ya?”

“Enak kok. Masakan kamu selalu enak. Tapi ini sudah cukup. Bapak sudah merasa kenyang,” jawabnya sambil mengakhirri sarapannya.

“Apakah Bapak marah sama Andin?”

Pak Harsono meneguk minumannya, menatap Andin sambil tersenyum. Memang Andin tak bersalah. Dirinyalah yang terlalu bersemangat setelah bertemu temannya malam itu. Ia bahkan lupa pada pesannya setiap waktu, bahwa Andin harus menyelesaikan kuliahnya.

“Mengapa kamu berpikir begitu? Apa bapak kelihatan seperti sedang marah?”

“Tidak sih, tapi Andin merasa, bahwa Andin telah mengecewakan Bapak dengan pembicaraan kita semalam.”

“Kamu tidak salah. Mungkin bapak yang terlalu tergesa-gesa.”

“Baiklah, yang Bapak harus tahu adalah, bahwa Andin ingin menyelesaikan kuliah Andin, seperti yang diinginkan Bapak.”

“Ya, tentu saja.”

Pak Harsono berdiri.

“Bapak ke kantor dulu. Lupakan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi kamu.”

Andin tersenyum. Ia meraih tas kerja ayahnya, kemudian mengantarkannya sampai ke halaman.

“Oh ya, sepeda motor yang biasanya kamu pakai, ke mana? Sudah diambil oleh yang punya?”

“Tidak Pak, Andin tinggalkan di kantor.”

"Semalam kamu naik apa?”

“Diantarkan oleh dokter Faris, karena saya harus menemani dokter Faris makan.”

“Oh, jadi gado-gado yang kamu tawarkan semalam itu oleh-oleh dari makan malam kamu bersama dokter itu?”

“Iya. Pembantunya tidak masuk kerja kemarin, sehingga dokter Faris belum makan.”

“Apa kamu … ada hubungan khusus dengan dokter itu?” tuduh pak Harsono tiba-tiba.

“Tidak … tidak Pak, saya hanya disuruh menemani saja, kemudian dia mengantarkan Andin pulang. Itu sebabnya sepeda motor masih tertinggal di sana.”

Pak Harsono mengangguk mengerti, tapi bahwa kecurigaannya tentang hubungan Andin dan dokter Faris itu ada, kemudian masuk ke dalam pikirannya.

“Kamu harus hati-hati menjaga diri, karena kamu itu seorang gadis.”

Batin Andin terasa seperti dirajang. Bapaknya takut tentang hubungannya dengan dokter Faris, padahal yang terjadi bukanlah itu. Ia merasa gelisah ketika membalikkan tubuhnya masuk ke rumah setelah ayahnya pergi.

Tapi sebelum sampai di pintu, Andin mendengar suara mobil memasuki halaman.

Klakson dibunyikan, dan Andin bergegas turun. Bagaimana mungkin dokter Faris datang ke rumahnya pagi-pagi sekali?

“Dokter,” sapanya.

Dokter Faris turun sambil tersenyum.

“Kamu berangkat jam berapa?”

“Sebentar lagi dok. Silakan masuk.”

“Aku datang menjemput kamu, karena motor kamu kan kamu tinggal di rumah aku.”

“Mengapa begitu dok? Itu kan punya dokter, dan tidak ada salahnya kalau saya berangkat naik angkot atau yang lainnya.”

”Tidak apa-apa, sekalian aku berangkat ke rumah sakit. Mau berangkat sekarang?”

Andin tak berdaya, karena sang dokter sudah ada di depannya.

“Duduklah dulu, saya akan bersiap-siap.”

“Kalau masih ada waktu, maukah menemani aku makan?”

“Dokter belum makan?” Ada keinginan di hati Andin untuk mengajaknya makan di rumah, tapi ia merasa tidak enak membiarkan seorang laki-laki masuk ke dalam rumahnya, karena tak ada siapapun di rumah itu.

“Iya, bibik belum pulang juga.”

“Baiklah, saya menutup pintu dan mengambil buku-buku saya dulu.”

Dokter Faris sangat senang karena Andin mau menemaninya sarapan sebelum ke kampus. Dengan senyum sumringah dia menunggu. Dan senyum itu masih juga ada saat Andin keluar dari dalam dan menutup pintu serta menguncinya.

***

Dokter Faris membawa Andin ke sebuah warung yang menjual masakan sederhana. Ada pecel, tumpang, gudeg, dan lain-lain.

“Kamu mau sarapan apa?”

“Tadi saya sudah sarapan menemani Bapak, jadi sekarang dokter saja yang makan.”

“Mengapa begitu? Nggak enak dong makan sendirian.”

“Saya tidak mungkin makan lagi, dok. Perut saya bisa meletus. Saya akan makan gorengan saja, dan minum es beras kencur.”

“Baiklah kalau begitu. Aku mau makan nasi pecel sama minum es beras kencur juga. Ambil saja sendiri gorengannya.”

Andin mengangguk. Ia mengambil dua potong pisang goreng, yang kemudian dokter Faris mencomotnya, saat pesenannya belum terhidang.

“Jam berapa kamu masuk?”

“Jam sembilan, jadi masih ada waktu.”

“Aku akan makan cepat.”

“Jangan dok, nanti tersedak,” kata Andin sambil tertawa. Karena keramahan dokter Faris, rasa rikuh Andin sudah mencair. Debar-debar yang mengganggu itu mulai lenyap perlahan. Tapi debar aneh itu masih tersisa.

Ia asyik menikmati pisang gorengnya dan es beras kencur yang segar,

“Nanti kamu pulang jam berapa?”

“Agak siang mungkin. Belum tahu juga. Kalau dosennya datang semua, bisa jam dua atau tigaan.”

“Nanti aku jemput lagi.”

“Jangan dok, mana bisa begitu,” seru Andin terkejut.

“Tidak apa-apa, sekalian aku juga pulang dari rumah sakit.”

“Ya ampun, dok.”

Kali ini Andin benar-benar merasa sungkan. Tapi dokter Faris seakan tak peduli. Ia asyik menikmati nasi pecelnya, kemudian meminta agar tukang warung membungkus sepuluh biji pisang gorengnya.

“Ya ampun dok, untuk apa, pisang goreng segitu banyak?”

“Bawalah ke kampus, teman-teman kamu pasti suka,” jawabnya enteng.

“Dokter, tuh.” Dokter Faris tersenyum lucu melihat bibir Andin tampak manyun karena dipaksa membawa sepuluh biji pisang goreng,

“Menyenangkan teman itu ibadah,” katanya sambil menghabiskan es beras kencurnya.

“Mengapa dokter melakukan semua ini?” katanya lirih.

Dokter Faris menatapnya tajam.

“Karena aku suka sama kamu.”

Pisang goreng yang masih ada di dalam mulut terlempar keluar mendengar perkataan dokter Faris.

“Adduh, eh … maaf … “ lalu Andinpun meneguk habis minumannya.

“Mengapa? Tiba-tiba saja aku suka sama kamu. Kamu bukan saja cantik, tapi pintar, dan baik, dan … masih banyak lagi hal menarik pada diri kamu. Tapi aku tidak memaksa kamu agar mengimbangi perasaan aku. Aku hanya mengutarakan perasaan aku. Maaf kalau kamu memang sudah punya pacar.”

Dokter Faris mengatakan semuanya dengan lugas, tanpa sungkan dan juga tanpa ragu. Dia seorang yang tegas, dan lebih suka berterus terang dari pada memendam perasaannya.

Andin menundukkan wajahnya. Air mata merebak, segera diusapnya dengan tissue.

“Jangan menangis, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan memaksa kamu untuk menerimanya? Kamu bisa menolaknya, tapi jangan sampai kamu membenci aku.”

“Dokter akan kecewa,” katanya pelan.

“Mengapa aku harus kecewa? Aku jatuh cinta, dan bersiap untuk patah hati.”

“Dokter menjatuhkan perasaan pada perempuan yang salah.”

“Karena kamu sudah punya pacar?”

“Bukan. Karena saya bukan perempuan yang pantas.”

Dokter Faris membayar semua makanan, mengambil bungkusan pisang goreng lalu menyerahkannya pada Andin, kemudian mengajak Andin keluar dari warung itu.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post