BERSAMA HUJAN 11
(Tien KUmalasari)
Andin tiba=tiba teringat ucapan ayahnya pagi tadi, tentang temannya yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Lalu malam ini temannya sedang bersama sang ayah? Apakah membicarakan tentang perjodohan? Keringat dingin membuat telapak tangannya basah, Andin masih terpaku di tempat duduknya ketika dokter Faris keluar dan menatapnya heran.
“Andin, kamu melamun?”
Tergagap Andin mengangkat wajahnya, dan menatap senyuman manis yang terpampang di depannya.
“Ya Tuhan, seandainya keadaan jiwa raganya masih utuh dan sempurna, tatapan itu pasti sangat menggetarkan hatinya, dan membuatnya berbunga. Tapi itu tidak terjadi. Andin benar-benar terpuruk dalam nestapa berkepanjangan, dan tak mampu bangkit lagi.
“Andin, kamu kenapa?”
“Tidak, dok. Tidak apa-apa,” katanya sambil bangkit.
“Siap berangkat sekarang? Keburu malam lhoh.”
“Ya, dok. Siap,” jawabnya sambil mencoba tersenyum.
Dokter Faris mendahului berjalan ke arah mobil, lalu membukakan pintu untuk Andin, membuat Andin merasa sungkan karena diperlakukan seperti seorang gadis terhormat. Padahal dia kan hanya asistennya.
“Silakan masuk, Andin.”
Andin masuk dengan perasaan kikuk. Ia semakin gugup ketika dokter Faris sudah duduk di sampingnya dan mulai menghidupkan mesinnya.
“Ingin makan apa?” tanyanya sambil menjalankan mobilnya.
“Ter … terserah dokter saja. Kan dokter yang lapar?”
“Kamu kelihatan seperti orang ketakutan begitu. Apa ayah kamu marah kalau kamu terlambat pulang?”
“Tidak, kalau saya mengatakan alasannya.”
“Makan mie, maukah? Ada penjual mie Jawa yang enak.”
“Terserah dokter saja.”
“Jangan terserah aku dong, Biarpun aku yang mengajak, tapi aku bebaskan kamu untuk memilih apa yang kamu suka.”
“Saya kan suka makan apa saja, yang penting bukan racun,” kata Andin mencoba bercanda. Dokter Faris tertawa agak keras.
“Masa aku meracuni asisten aku yang pintar ini?”
“Dokter bisa saja,” sahut Andin yang perasaan kacaunya mulai mencair. Ia heran, ternyata dokter Faris senang sekali bercanda, dan itu membuat perasaannya terasa lebih tenang. Ia melupakan ucapan ayahnya pagi tadi.
“Apa kamu tahu, Andin, bahwa kamu lah sebenarnya yang telah meracuni aku,” kata dokter Faris tiba-tiba.
Andin sangat terkejut. Ia menatap dokter Faris, yang sedang mengarahkan pandangannya ke arah depan. Tapi senyumnya masih saja tetap mengembang,
“Ap … apa … maksud dokter?”
“Kamu telah meracuni perasaan aku.”
“Racun … apa? Saya tidak pernah memegang racun …” kata Andin ketakutan. Tapi dia heran dokter Faris malah tersenyum lebih lebar. Harusnya marah dong, diracunin.
“Karena ada kamu, aku merasa bahwa aku seperti sedang menemukan hidup yang baru. Ini sangat aneh. Aku yakin bahwa kamu telah meracuni aku.”
“Saya … tidak mengerti.”
“Itu sebabnya aku mengatakannya sama kamu, supaya kamu mengerti.”
Andin diam, dokter Faris bicaranya semakin aneh. Itu menurut anggapannya. Tapi dokter Faris tampak begitu senang melihat Andin seperti orang kebingungan.
“Beberapa tahun terakhir ini, aku merasa hidup aku datar-datar saja. Aku menjalani keseharianku tanpa rasa. Semuanya seperti kosong, tanpa makna. Seperti orang berjalan yang entah menuju ke arah mana, aku hanya mengayunkan kakiku, menuruti kemana kaki mengajak aku melangkah.”
Andin menoleh ke arah laki-laki ganteng di sebelahnya. Senyuman itu hilang entah ke mana. Dokter Faris seperti sedang mengucapkan sebuah isi hati, atau entahlah, tapi itu kelihatan amat serius.
“Ya Tuhan,” tiba-tiba dokter Faris mengeluh sambil menepuk dahinya.
“Apakah bicaraku ngelantur?” lanjutnya.
Andin menggelengkan kepalanya. Ia tahu dokter ganteng majikannya sedang bercerita tentang hidupnya, tapi ia memulainya bukan dari sebuah awal yang mudah dimengerti. Tapi Andin menangkap kegelisahan dalam ungkapan itu.
Sebenarnya Andin lebih suka mendengar dokter Faris bercanda seperti pada awal perjalanannya tadi. Tapi Andin masih bingung ketika sang dokter mengatakan bahwa dirinya telah meracuni hidupnya. Ia sedang menunggu kata ‘racun’ itu terurai sehingga dia bisa mengerti.
Tapi kemudian dokter Faris terdiam. Barangkali dia menyesal telah mengatakan sesuatu yang membingungkan asisten cantiknya.
Di sebuah rumah makan, dokter Faris menghentikan mobilnya. Ia memasuki rumah makan itu, dan memarkirnya di tempat yang luang.
Ketika Andin ingin membuka sendiri pintunya, dokter Faris dengan kecepatan yang luar biasa sudah lebih dulu membukanya, dan mempersilakannya turun.
Andin selalu merasa kikuk. Tapi entah sengaja atau tidak, dokter Faris memegangi lengannya, hanya beberapa saat, kemudian melepaskannya dengan diiringi sebuah kata ‘maaf’.
Andin mengikutinya melangkah masuk, lalu duduk di sebuah bangku yang terletak agak ke dalam, yang sudah dipilih oleh dokter majikannya.
“Maaf, aku agak kacau. Bicaraku aneh, tadi?”
“Tidak. Biasa saja,” jawab Andin, walau dia benar-benar merasa aneh.
“Ayo pesan apa,” kata dokter Faris ketika pelayan sudah mendatanginya dengan membawa sebuah buku menu.
“Di sini juga ada masakan Jawa. Terserah kamu saja.”
“Saya mau gado-gado,” kata Andin meluncur begitu saja.
“Hm, tampaknya enak. Aku pesan dua gado-gado,” katanya kepada pelayan.
Pelayan itu mencatat pesanan dokter Faris.
“Minumnya?”
“Saya jeruk panas saja.”
“Jeruk panas dua,” perintahnya lagi.
Pelayan itu pergi, dan Andin menatap dokter majikannya sambil tersenyum lucu.
“Mengapa dokter ikut memesan seperti pesanan saya?”
“Kalau kita kompak, maka makanan akan menjadi nikmat,” jawab dokter Faris sekenanya. Padahal Andin hanya ingin melampiaskan makan gado-gado yang sejak kemarin ingin dimakannya bersama Aisah.
“Kalau dokter lapar, mengapa makan gado-gado? Bukannya nasi?”
“Gado-gado di sini ada kentangnya, ada sayurnya. Cukup mengenyangkan kok.”
Andin mengangguk setuju. Tapi ia ingat ayahnya, yang kalau lapar itu harus makan nasi, walau hanya sedikit. Katanya, yang namanya makan itu adalah makan nasi, bukan yang lain.
“Andin, kamu merasa aku agak aneh malam ini?”
“Yang paling aneh adalah ketika dokter mengatakan bahwa saya meracuni dokter," kata Andin yang sebenarnya ingin sekali dokter itu mengatakan maksudnya.
“Oh, itu …”
Andin menunggu.
“Maksudnya bukan racun seperti sesungguhnya racun. Bukan racun yang seperti pembunuh, tapi racun yang menyembuhkan.”
Andin mengerutkan keningnya. Racun yang menyembuhkan, bukan membunuh, apa pula itu.
“Obat itu ada yang berupa racun. Racun yang membunuh penyakit. Kamu kira apa?”
Andin membelalakkan matanya. Obat itu racun ya? Ia baru tahu.
“Jadi, kamu itu menurut aku adalah racun yang menyembuhkan rasa sakit aku.”
Mata Andin membulat sempurna. Apa pula maksud dokter ini.
Sementara itu pesanan mereka sudah dihidangkan.
“Makan dulu Ndin,” perintahnya sambil mendekatkan piring Andin ke dekatnya.
Aroma gado-gado itu sangat menggoda. Sambal kacang yang harum segera mengelitik mulutnya. Tanpa disuruh, Andin mengaduk sayurnya agar sambalnya merata, lalu menyendoknya dengan nikmat.
Dokter Faris menatap polah Andin dengan tatapan lucu.
“Sudah berhari-hari saya ingin makan gado-gado bersama Aisah, tapi belum kesampaian,” katanya memberi alasan, karena dia tahu dokter Faris menatapnya sambil tersenyum lucu. Apa dia tampak seperti serigala kelaparan? Lalu Andin mengunyahnya pelan. Menahan keganasan yang ditahannya karena harus menjaga ‘sopan-santun'.
“Nanti kalau kurang, boleh nambah lho. Hm, memang enak,” kata dokter Faris untuk menawarkan rasa sungkan Andin karena terlalu terburu-buru menyendok gado-gadonya. Tapi ucapan itu justru menunjukkan bahwa Andin tampak sangat bernafsu memakan gado-gadonya, sehingga dokter Faris menawarkan untuk nambah. Andin tersipu.
“Tidak, dok. Ini sudah cukup.”
“Nanti pesan untuk dibungkus, barangkali ayah kamu suka,” tawaran ini agak halus. Andin boleh saja nanti membawanya pulang, tapi alasannya kan untuk bapak? Perkara nanti dia memakannya lagi, masa dokter Faris akan memikirkannya.
“Iya, nanti saya pesan untuk bapak.”
Ketika mereka selesai makan dan Andin menolak untuk nambah, dokter Faris memesan lagi dua porsi es krim.
“Banana split, dua,” perintahnya tanpa menawarkannya pada Andin.
Andin terkejut, rupanya dokter Faris juga penyuka es krim.
“Kamu suka kan? Enak lhoh, ada pisangnya, trus es krimnya tuh tiga macam, yang putih itu vanila, trus coklat, trus ada juga stroberi.”
Andin tersenyum, kedengarannya enak. Jadi dia mengangguk setuju.
“Dokter suka es krim?”
“Kamu suka nggak?” dokter Faris balas bertanya.
“Sangat suka, tapi jarang beli. Mahal,” katanya tanpa malu.
“Nanti aku akan sering membeli es krim untuk kamu,” tiba-tiba Andin terkejut mendengarnya. Sering membelikannya es krim?
“Soalnya aku juga suka.”
Tiba-tiba dokter Faris terdiam. Wajahnya menerawang ke arah atas, seperti sedang mengingat sesuatu.
“Dia juga suka es krim. Kenapa wajahnya mirip sekali sama kamu?” dokter Faris bergumam lirih, tapi kuping Andin mendengarnya dengan jelas. Siapa ya yang wajahnya mirip dirinya? Apakah dokter Faris sedang mengingat seseorang, dan seseorang itu sangat berarti bagi dirinya, lalu kemudian seseorang itu pergi meninggalkannya? Lalu Andin meraba-raba, menghubungkan apa yang tadi dikatakan dokter Faris saat di mobil. Apakah dokter Faris merasa hampa karena ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya?
“Tiba-tiba malam ini aku banyak ngelanturnya. Dan tentang racun itu, jangan lagi kamu pikirkan, karena aku akan mengganti kata racun itu dengan yang lebih manis, ialah ‘obat’.”
Andin menatap dokter Faris, yang sedang melahap es krim yang baru saja dihidangkan.
“Cepat makan sebelum mencair,” perintahnya.
Andin tak perlu mendapat perintah dua kali, karena es krim juga kesukaannya, yang jarang dibelinya karena dianggapnya mahal.
“Apakah kamu bisa menangkap apa yang aku katakan sepanjang kita berangkat tadi sampai saat ini?”
Andin menggeleng pelan. Ia bukan gadis bodoh yang tidak gampang mengerti. Hanya saja sungkan mengatakan bahwa dia mengerti.
“Kesimpulannya adalah begini. Aku pernah ditinggalkan oleh seseorang yang sangat aku cintai, dan membuat hidupku hampa. Lalu aku berusaha melupakannya, dan sekarang aku benar-benar melupakannya setelah bertemu kamu.”
Andin tersedak karena terkejut. Untunglah jeruk panas yang tadi dipesannya masih tersisa, sehingga dia bisa meminumnya untuk meredakan batuk-batuknya.
“Andin, hati-hati,” dokter Faris mengulurkan tissue.
Andin benar-benar terkejut mendengar dokter Faris mengatakan semuanya dengan lugas. Jadi dia adalah obat yang bisa menyembuhkan dokter Faris dari luka hatinya? Bukan main sakitnya mendengar semua itu. Bukannya bahagia karena menemukan perhatian seorang dokter muda ganteng dan menawan, justru Andin merasa sakit dan nelangsa.
“Apa kamu sudah punya pacar, Andin?” Andin kembali terkejut. Dokter Faris yang kesehariannya hanya bicara tentang kartu pasien, tumpukan buku resep, malam ini bicara tentang hati, dan berhasil mengaduk-aduk hatinya.
“Maaf, kalau kamu sudah punya pacar. Anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa,” kata dokter Faris yang kemudian tampak berusaha menikmati es krimnya, sampai habis, tandas.
“Dokter tidak perlu minta maaf. Saya tidak apa-apa,” kata Andin yang berusaha mencairkan perasaan dokter Faris yang tampak menyesal.
Dokter Faris mengangkat wajahnya, menatap Andin tak berkedip.
“Ayo kita pulang, nanti ayah kamu marah kalau kamu pulang kemalaman,” kata dokter Faris sambil melambai ke arah pelayan, lalu memesan dua porsi lagi gado-gado untuk Andin dan ayahnya.
***
Dokter Faris mengantarkan Andin sampai ke rumahnya. Ia masih mendengar dokter Faris mengatakan maaf sebelum pergi, membuat Andin salah tingkah.
Pasti dokter Faris mengira dia benar-benar sudah punya pacar, sehingga menyesal telah bicara yang ‘aneh-aneh’ padanya malam ini.
Andin sudah sampai di teras, dan mendapati ayahnya belum pulang. Ia membuka pintu dan menyalakan semua lampu.
Gado-gado yang dibelikan dokter Faris diletakkannya di meja makan. Sungguh memalukan, Andin masih ingin memakannya lagi. Tapi harus malu pada siapa? Kan ini sudah di rumah dan dokter Faris tak melihatnya.
Tapi saat dia sudah berganti pakaian dan menyantap kembali satu bungkus gado-gadonya, ia merasa sedih. Jelas-jelas dokter Faris tertarik, atau bahkan suka pada dirinya, walau tidak dikatakannya dengan nyata. Tapi sebagai gadis dewasa dia bisa menangkapnya.
“HIdupku sudah hancur. Tak pantas menikmati kebahagiaan dicintai dan mencintai,” keluhnya sedih.
Andin bergegas pergi ke depan ketika mendengar sepeda motor ayahnya memasuki halaman. Ia membukakan pintu dan tiba-tiba ayahnya merangkulnya.
“Kamu sungguh beruntung, Andin.”
“Apa?” kata Andin sambil mendorong tubuh ayahnya pelan.
“Kalau suatu hari nanti Allah memanggil ayahmu ini, ayah akan merasa lega karena ayah yakin kamu akan bahagia bersama dia.”
***
Besok lagi ya.