BUNGA TAMAN HATIKU 36

 BUNGA TAMAN HATIKU  36

(Tien Kumalasari)

 

Satria menatap Nijah tak mengerti.

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku hanya ingin bicara saja, apa tidak boleh?”

Tak lama kemudian Ristia keluar, diantarkan oleh petugas, Nijah menyambutnya dengan senyuman. Kemudian ia menyalami Ristia dengan hangat.

“Ada apa?” tanya Ristia dengan wajah dingin. Ia tak bisa menyembunyikan lagi kebenciannya setelah semuanya terbuka.

“Non, saya minta maaf. Sayalah penyebab semua ini.”

“Bagus kalau kamu tahu.”

“Nijah, untuk apa kamu meminta maaf?” kali ini Satria segera mendekati Nijah dan menarik tangannya.

“Aku hanya ingin meminta maaf. Apa tidak boleh?”

“Kamu tidak bersalah apa-apa. Tidak harus minta maaf.”

“Jangan begitu Mas, bagaimanapun aku yang telah membuat semua ini terjadi, Itu salahku. Maaf ya Non Ristia,” katanya kemudian kepada Ristia, sambil meraih tangannya, kemudian digenggamnya erat.

Entah mengapa, melihat sikap Nijah, hati Ristia mendadak luluh. Ia merasa sakit, tapi sakit karena telah salah melangkah, sakit karena perbuatannya meluluh lantakkan sebuah hubungan yang semula baik dan aman-aman saja. Melihat ketulusan hati Nijah, ia merasa sangat kecil. Nijah berada jauh lebih  tinggi di atasnya. Ketulusan hatinya, kesederhanaannya, membuat dirinya seperti wanita tak berharga. Matanya berlinang saat melihat tangannya digenggam Nijah dengan hangat.

“Nijah, ayo kita pergi," kata Satria sambil menarik lengan Nijah. Tapi Ristia menahannya, sambil menitikkan air mata yang tak kuasa ditahannya.

“Nijah, benar kata mas Satria, kamu tidak pantas meminta maaf. Kamu tidak bersalah, kamu wanita yang mulia. Aku yang harus minta maaf, Nijah. Maafkanlah aku,” katanya sambil menjatuhkan dirinya ke lantai, bersimpuh di hadapan NIjah. Membuat Nijah sangat terkejut.

“Non, jangan begini, berdirilah Non.”

Nijah berusaha menarik tubuh Ristia sekuat tenaga, sampai tubuhnya sendiri terhuyung ke belakang, beruntung Satria sempat menahannya.

“Ayo pergi,” katanya.

Nijah merangkul Ristia dan berbisik. 

"Kembalilah kepada mas Satria, memohonlah maaf padanya. Aku akan pergi, Non.”

“Apa??” yang terteriak adalah Ristia, hampir bersamaan dengan teriakan Satria.

“Aku bersungguh-sungguh. Non yang lebih pantas berada di samping tuan Satria. Biarkan saya pergi,” katanya lirih.

“Nijah, apa kamu sadar apa yang kamu katakan?” sentak Satria.

“Nijah, bukan begitu. Aku ini wanita yang kotor, kamu lah yang lebih pantas untuk mas Satria. Dampingi dia, dan berbahagialah,” kata Ristia yang kemudian membalikkan tubuhnya, lalu memberi isyarat kepada petugas bahwa dia ingin masuk ke dalam.

“Non Ristia,” panggil Nijah. Walaupun pelan, membuat Ristia membalikkan tubuhnya, kemudian mengulaskan senyuman tulus, sambil melambaikan tangannya, ia melanjutkan langkahnya, masuk kembali ke dalam. Nijah menatapnya tertegun, sampai bayangan Ristia tak lagi nampak.

Nijah mengusap air matanya, sambil berjalan mengikuti Satria yang masih memegangi lengannya.

“Nijah, tidak benar kamu berkata seperti itu.” yang bicara adalah Bowo.

Nijah menatap Bowo yang berjalan di sampingnya.

“Kamu sudah menjadi istri sah mas Satria. Mas Satria bukan asal menikahi kamu. Pasti ada sesuatu pada diri kamu, yang membuat dia meminta kamu agar mau diperistri olehnya. Hal itu juga sudah dibicarakan dengan Ristia, bahkan seluruh keluarga mendukung kamu. Jadi jagalah rumah tangga kamu agar selalu utuh dan sempurna.”

“Tapi aku kan bersalah juga dalam hal ini?”

“Tidak, kamu tidak bersalah. Yang dianggap salah adalah ketika kamu meminta agar diijinkan pergi, dan berharap Ristia kembali menjadi istri mas Satria.”

Satria terdiam, membiarkan Bowo bicara, dan berharap Nijah bisa memahami apa yang dikatakannya.

Mereka berbicara sambil mendekat ke arah mobil.

“Nijah, apa yang dikatakan mas Bowo itu benar. Ristia bukan wanita yang pantas untuk mas Satria, mengapa kamu berharap mereka bisa kembali bersatu?” kali ini Ratih ikut bicara.

Nijah diam. Mereka memasuki mobil berpasangan seperti sebelumnya. Satria bersama Nijah, dan Ratih bersama Bowo. Mereka semua menuju ke rumah sakit, untuk menemani Ratih bertemu ibu mertuanya.

***

Di rumah keluarga Sardono, kegelisahan masih meliputi semuanya, karena mereka belum mendengar berita tentang Nijah. Bibik lebih banyak termenung, dan membiarkan dapur masih berantakan. Pikiran tentang hilangnya Nijah membuatnya enggan melakukan apapun. Sang nyonya majikan juga membiarkan bibik masak sesukanya, karena seluruh keluarga sama sekali tidak memiliki nafsu makan, dan hanya makan asal-asalan sekedar mengisi perut.

“Mengapa mereka tidak memberi kabar apapun ya Pak?” kata bu Sardono.

“Tidak tahu, aku menelpon Satria berkali-kali, tapi tidak diangkat.”

“Dasar orang jahat, tega-teganya membuat sengsara wanita lugu yang tidak berdaya. Kebaikannya tidak tulus, hanya pura-pura, untuk menutupi rencana jahatnya,” geram bu Sardono.

“Ya sudah, coba kita tunggu dulu saja, Semoga Satria ingat untuk memberi kita kabar.”

Baru saja pak Sardono berhenti bicara, ponselnya berdering.

“Nah, ini dari Satria,” katanya sambil mengangkat ponselnya, buru-buru.

“Satria, ada berita apa?”

“Kami sudah menemukan Nijah Pak.”

“Alhamdulillah. Di mana?”

“Di jalan. Dia bersama Ratih.”

“Siapa Ratih?”

“Istri Andri yang kabur dari vila. Ceritanya panjang. Nanti sesampai di rumah saya akan menceritakan semuanya.”

“Sekarang kalian di mana?”

“Tadi dari kantor polisi, tapi ini sedang di rumah sakit.”

“Siapa yang sakit? Nijah terluka?”

“Bukan Pak, ada sih luka Nijah, hanya sedikit, tapi sekarang ini yang sakit adalah ibu Andri.”

“Oh, sakit apa?”

“Kami baru saja masuk rumah sakit. Saya menelpon ke rumah supaya Bapak dan ibu, juga bibik, merasa tenang karena Nijah sudah ketemu.”

“Baiklah, kami pasti merasa lega dengan ketemunya Nijah. Cepat pulang dan ceritakan semuanya nanti.”

Ponsel di tutup. Bu Sardono mengusap air matanya. Bibik juga meneteskan air mata, bahkan sebelum pak Sardono mengatakan semuanya. Mereka sudah mendengar bahwa Nijah sudah ketamu, dan air mata yang menetes adalah air mata bahagia.

***

Mereka memasuki rumah sakit, dan Ratih segera menemukan ruang rawat inap bu Widodo setelah menanyakannya kepada petugas.

Ratih dan yang lainnya memasuki ruang rawat yang tampak sunyi, karena hanya seorang pembantu menunggui di dalam ruangan itu, sementara bu Widodo tampak tergolek di ranjang dengan selang infus dan oksigen yang ditautkan di tubuhnya. Dari bibik pembantu itu, Ratih mendengar, bahwa bu Widodo langsung pingsan ketika polisi datang dan ingin menangkap Andri.

Ratih mendekat dengan perasaan trenyuh. Seorang ibu yang terluka karena perbuatan anaknya, sangat memelas.

Perlahan Ratih menyentuh tangannya, mengelusnya lembut. Bu Widodo membuka matanya. Terkejut melihat Ratih berdiri di sampingnya, dan ada tiga orang asing yang belum dikenalnya, berdiri di dekat Ratih, kecuali Satria, karena Satria juga teman anaknya.

“Ratih ?” bisiknya pelan.

“Ya, Bu. Ini Ratih.”

Tiba-tiba mata setengah tua itu mengalirkan air mata. Ratih mengusapnya dengan jarinya.

“Kamu bersama siapa?”

“Itu mas Satria, Nijah istrinya, dan mas Bowo. Mas Satria dan mas Bowo yang menolong Ratih serta Nijah yang semula diculik.”

“Ya Tuhan, benarkah itu semua kelakuan Andri? Mengapa Tih, mengapa dia melakukan perbuatan itu?”

“Ibu harus menenangkan diri dulu. Mas Andri bukan anak kecil, dia melakukan perbuatan itu, jangan sampai membuat ibu sedih, ya.”

“Andri itu anakku.”

“Ratih tahu. Tapi mas Andri bukan anak kecil lagi. Ibu harus memikirkan kesehatan ibu sendiri. Berusahalah tenang, semuanya akan baik-baik saja.”

“Apa Andri ditangkap polisi?”

“Iya Bu, tapi seperti tadi Ratih katakan, Ibu harus bisa melepaskan semuanya, dan hanya memikirkan kesehatan ibu saja.”

“Apa kamu mau menemani aku di sini?”

“Ratih akan menemani ibu, sampai ibu sembuh.”

“Terima kasih Ratih, kamu adalah juga anakku,” katanya sambil terus mengalirkan air mata.

Nijah mendekati bu Widodo, meraih tangannya dan menciumnya, diikuti Satria dan Bowo.

“Ini siapa saja?” lirih bu Widodo setelah lebih tenang.

“Ini namanya Nijah, ini mas Satria, suami Nijah, dan ini mas Bowo.”

“Kalau Satria aku sudah tahu, dia teman Andri, tapi istrinya kan Ristia?”

“Nanti kalau ibu sudah lebih merasa tenang, Ratih akan menceritakan semuanya. Sekarang ini, mereka pasti sangat lelah, jadi biarkan mereka pulang dulu ya Bu.”

“Bukankah kamu akan tinggal di sini?”

“Iya, Ratih akan tinggal di sini dulu, menemani ibu sampai sembuh.”

Kemudian mereka bertiga pamit pulang, meninggalkan Ratih menemani ibu mertuanya.”

***

Di sepanjang perjalanan pulang, Nijah hanya terdiam. Ia selalu merasa bersalah, dan itu sangat mengganggu perasaannya.

“Nijah, kok diam?” tanya Satria yang duduk di depan di samping Bowo, sedangkan Nijah di belakang, sendirian.

“Aku harus omong apa?”

“Kamu sudah mengerti, bahwa sebenarnya kamu tidak bersalah?”

“Kenapa ya, aku tetap merasa bersalah.”

“Nijah, kamu itu tidak bersalah. Kamu melakukan hal yang benar, tidak akan ada yang menganggapmu bersalah.”

“Seandainya tidak ada aku, pasti semua ini tak akan terjadi.”

“Barangkali bisa lebih parah untuk Ristia, karena kedua orang tuaku tak menyukai tabiatnya. Ia berubah setelah ada kamu. Berubah menjadi istri yang baik, mau mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, walau akhirnya semua tahu bahwa dia hanya berpura-pura. Tapi setidaknya dia mengetahui, bahwa seorang ibu rumah tangga harus melakukan banyak hal untuk rumah tangganya.”

“Entahlah, aku bingung,” keluh Nijah sambil memijit-mijit kepalanya.

“Nijah, kamu tidak perlu bingung, dan sekali lagi tidak perlu merasa bersalah. Kamu seorang istri dan sudah melakukan kewajiban kamu sebagai istri. Tentang Ristia, dialah yang telah melakukan kesalahan. Kalau saja sejak awal Ristia menentang, dan tidak berpura-pura menerimanya, mungkin kamu tidak akan bersedia menjadi istri mas Satria bukan?” kata Bowo.

Nijah diam, tapi dia setuju ucapan Bowo. Kalau saja ia tahu bahwa Ristia tak mau menerimanya sebagai madu, ia pasti tak akan mau diperistri tuan muda Satria.

“Benar kan?” kata Bowo lagi ketika Nijah tetap diam.

“Iya, benar.”

“Jadi pernikahan kamu itu juga atas persetujuan Ristia, entah dia berpura-pura, atau tidak.”

“Tapi sehari sebelum kami menikah, mas Satria bersikap acuh sama Ristia. Aku masih ingat, mas Satria sangat tak peduli, bahkan menolak ketika non Ristia mengajak ke pesta pernikahan Andri.”

“Kamu tahu Nijah, malam itu aku mencium sesuatu yang tak beres pada Ristia. Aku mencium adanya perselingkuhan, hanya saja aku belum tahu kalau selingkuhan Ristia itu Andri,” kata Satria.

“Jadi mas Satria bersikap begitu karena mengetahui bahwa non Ristia selingkuh.”

“Baru perkiraan, dan jawaban Ristia membuat aku kesal. Aku meyakininya, tapi dia menyangkal. Aku adalah laki-laki, dan aku tidak bisa dibodohi. Akhirnya kenyataan bukan, bahwa  hubungan tak wajar antara Ristia dan Andri itu nyata? Ratih bahkan melihatnya, dan Andri sudah mengakuinya bahwa yang dicintai Andri adalah Ristia, bukan Ratih yang sudah sah menjadi istrinya.”

Nijah terdiam, Apa yang dikatakan Bowo dan Satria mulai bisa diterimanya, walau belum sepenuhnya.

***

Begitu memasuki rumah, bu Sardono dan bibik langsung memeluk Nijah bergantian, sambil berurai air mata.

"Syukur kepada Allah, kamu kembali dengan selamat, Nijah.”

Bowo menatap pertemuan itu dengan rasa haru yang menyesak dadanya. Ia bahagia, bahwa ternyata Nijah diterima di keluarga Sardono dengan penuh cinta. Bowo kemudian merasa, bahwa tak salah dia merelakan Nijah berada di tangan Satria, karena banyak cinta ditemukannya di sana.

Setelah acara peluk memeluk itu selesai, mereka menemui Bowo dengan luapan terima kasih tak terhingga. Pak Sardono menepuk-nepuk bahu Bowo dengan hangat.

“Terima kasih banyak Nak Bowo. Nak Bowo ikut bersusah payah memikirkan menantuku,” kata pak Sardono ramah.

“Kami bersahabat sejak lama, dan saya kenal baik mas Satria, saya tentu saja ikut prihatin atas kejadian ini. Tapi saya bersyukur, Nijah sudah kembali, dan yang bersalah sudah akan menerima hukumannya.”

“Benar Nak, tapi sekarang kami sudah merasa tenang. Semoga kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih berhati-hati.”

“Kok tamunya dibiarkan berdiri saja, silakan duduk Nak,” sapa bu Sardono ramah.

“Mohon maaf Bu, saya segera mohon pamit. Kalau bisa sore ini mau kembali ke Jakarta.”

“Mengapa tidak besok pagi saja Mas, nanti saya antarkan Mas Bowo ke bandara,” kata Satria.

“Saya mau mencoba apakah masih ada tiket pesawat yang kemungkinan masih terkejar oleh saya atau tidak. Kalau tidak mungkin ya besok pagi-pagi. Sekarang, sambil pamit pada Ratih, saya mau pesen tiket.”

“Kalau begitu saya antarkan saja ke rumah sakit.”

“Tidak usah Mas, saya bisa naik taksi.”

“Tidak, saya hanya mengantarkan saja, lalu saya tinggal, supaya tidak mengganggu, kata Satria sambil tersenyum penuh arti, membuat Bowo tersipu.

***

Ratih sedang beristirahat di sofa,  setelah mandi dan berganti pakaian. Dilihatnya bu Widodo sedang mencoba meraih gelas di meja di sampingnya. Ratih segera berdiri dan bergegas menghampiri.

“Ibu mau minum?”

Bu Widodo mengangguk.

Ratih segera mengambilkan gelas dan sedotan, kemudian membantu mengangkat kepala bu Widodo agar lebih mudah meminumnya.

“Terima kasih, Ratih. Aku sudah tahu sejak lama, bahwa kamu wanita yang baik. Tidak salah aku mengambil kamu sebagai menantu.”

Ratih hanya tersenyum tipis. Dia belum berani mengatakan pada mertuanya, bahwa dia ingin menggugat cerai suaminya atas perlakuannya yang tidak manusiawi.

“Ratih, walaupun Andri dipenjara, aku mohon kepadamu, jangan pernah kamu meminta cerai darinya, ya.”

Ucapan memelas itu membuat Ratih tertegun, dan Bowo yang sudah berdiri di pintu merasa keringat dingin membasahi tangannya.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post