BUNGA TAMAN HATIKU 35

 BUNGA TAMAN HATIKU  35

(Tien Kumalasari)

 

Ratih terpaku di tempatnya berdiri, wajahnya tampak sedih. Nijah yang memperhatikannya beberapa saat sebelumnya, kemudian mendekat.

“Ada apa Mbak?”

“Ibu Widodo, masuk rumah sakit.”

“Siapa ibu Widodo?”

“Itu, ibunya Andri. Dia sangat menyayangi aku, dan itu sebabnya aku diambil menjadi menantu. Tapi Andri tidak pernah mencintai aku. Dia melakukannya hanya untuk menjaga perasaan ibunya, agar tidak jatuh sakit. Sekarang beliau ada di rumah sakit, apa sudah mendengar berita kelakuan Andri ya,” kata Ratih sedih.

“Sebenarnya aku mau mengajak kalian mampir ke sebuah warung dulu, sekalian melepaskan lelah, makan dan minum, juga menceritakan semua kejadian itu, supaya bisa jelas nanti saat datang ke kantor polisi.”

“Begitu juga tidak apa-apa Mas, setelah dari kantor polisi baru aku ke rumah sakit.”

“Tapi nanti ibu mertua Mbak menunggu.”

“Ibu sudah sadar, setelah semalam pingsan. Soal ke kantor polisi itu juga penting kan? Semoga ibu tidak apa-apa.”

“Baiklah, sekarang ayo kita mencari warung terdekat, barangkali Nijah dan Ratih butuh membersihkan diri.”

“Itu mobilnya Andri bagaimana? Kunci mobilnya masih terpasang, aku baru saja melihatnya,” kata Bowo.

“Biar aku yang membawa mobilnya,” kata Ratih.

“Kamu sudah lelah, biar aku saja yang membawa,” kata Bowo.

“Bagus Mas Bowo, kasihan kalau Ratih harus menyetir mobil sendiri.”

Maka berangkatlah ke empat anak muda itu, untuk mencari tempat istirahat yang nyaman, sambil sekedar makan dan minum. Nijah bersama Satria, Ratih bersama Bowo. Diam-diam Satria berharap, agar Ratih bisa menjadi pasangan yang pas untuk Bowo.

Nijah tersenyum mendengar Satria mengatakannya.

“Mereka sepertinya cocok ya Mas, aku bersyukur kalau mereka benar-benar bisa jadian,”

“Aku juga berharap begitu. Jadi aku tidak merasa bersalah telah merebut cinta kamu dari dia.”

“Ah, jangan bicara soal itu lagi.”

“Baiklah, ceritakan bagaimana kamu bisa diculik orang.”

Nijah menghela napas panjang.

“Sesungguhnya aku memang bodoh, mau saja mengikuti orang yang belum pernah aku kenal.”

"Kamu ketemu orang, lalu mengajak kamu pergi, padahal kamu belum pernah mengenalnya?”

“Tidak sesederhana itu. Dia mengatakan bahwa dia adalah teman Mas, dan dia bilang bahwa Mas kecelakaan.”

“Begitu ya? Dia Andri?”

“Bukan, mungkin orang suruhan dia. Begitu aku mendengar Mas kecelakaan, aku panik, langsung tak bisa berpikir jernih. Aku mengikutinya naik mobil yang sudah menunggu. Jadi ada dua orang bersama aku. Tapi ternyata aku tidak dibawa ke rumah sakit. Ketika aku bertanya apa salahku, dia bilang, salahku adalah merebut Mas dari non Ristia. Aku berteriak-teriak sepanjang jalan, lalu mereka membius aku dengan membekap mulutku entah dengan apa, yang membuat aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, eh … belum sadar benar, baru setengah sadar, ternyata aku berada di sebuah gudang yang gelap. Aku berteriak minta tolong, walau suaraku lemah. Aku merangkak ke pintu, dan mengetuk-ketuk pintu itu, dan tiba-tiba mbak Ratih bisa membuka gudang itu dan membawaku pergi, dalam keadaan aku masih merasa lemas.”

“Mengapa tiba-tiba Ratih mau membawa kamu pergi?”

“Mbak Ratih memang sudah bersiap mau pergi dari vila itu, ketika mendengar aku merintih-rintih dalam gudang itu.”

Lalu Nijah menceritakan bagaimana dia dan Ratih tertangkap lagi, tapi entah kenapa mereka berdua ditinggalkan di tepi jalan dalam keadaan tak sadar, sehingga ada orang dusun yang menemukan mereka.

Satria merasa trenyuh mendengar kisah memilukan istrinya. Sebelah tangannya meraih tangan Nijah, lalu diciumnya berkali-kali.

“Maafkan aku tidak bisa menjagamu, Nijah.”

“Tidak, aku yang salah, karena ceroboh. Tapi Mas, setelah urusan ini selesai, biarkan aku pergi, ya.”

Satria sangat terkejut, sehingga tanpa sadar menginjak rem mobilnya begitu kuat, dan membuat Nijah sangat terlonjak kaget. Barangkali sama terkejutnya dengan Satria saat mendengar Nijah ingin pergi.

“Mas, hati-hati dong.”

“Kamu bicara apa? Bercanda kan?”

“Tidak Mas, aku bersungguh-sungguh.”

“Mengapa? Apa karena ada Bowo datang demi kamu?” Satria tiba-tiba merasa cemburu.

“Tidak, sama sekali tak ada hubungannya dengan Bowo.”

“Mengapa tiba-tiba kamu berkata begitu? Dengar Nijah, aku berencana menyekolahkan kamu dengan mendatangkan guru ke rumah. Pertama, setingkat SMP, kemudian setingkat SMA. Setelah kamu bisa menempuh ujian SMA,  kalau kamu mau, kamu bisa melanjutkan kuliah. Kamu dengar itu Nijah? Aku ingin kamu menjadi wanita yang bisa berbangga diri karena bisa menempuh jenjang-perkuliahan nantinya,” kata Satria emosi.

Sejenak Nijah terpana. Bersekolah adalah impiannya, tapi apa daya, orang tuanya terlalu miskin. Ayah sambung yang diharapkan bisa menghidupi dirinya dan ibunya dengan layak, justru menghancurkannya. Sekarang Satria memberikan iming-iming yang menggiurkan. Bukan harta berlimpah, tapi pendidikan yang sangat diimpikan. Ada binar dimatanya saat itu, tapi kemudian wajahnya berubah sendu.

“Maafkan aku Mas.”

“Apa maksudmu dengan kata-kata itu, Nijah.”

“Mas kan tahu. Kejadian ini, huru hara ini, terjadi karena aku. Aku yang memorak porandakan hubungan Mas dengan non Ristia, sehingga dia melakukan kejahatan yang bukan main kejamnya, bahkan ada niat untuk membunuh aku juga,. Oleh karena itu aku memilih memiliki hidup tenang, tidak ingin merusak rumah tangga orang,” kata Nijah sendu. Sesungguhnya dia amat mencintai tuan mudanya, apalagi setelah mereka bisa menikmati kebersamaan yang manis selama berhari-hari. Tapi bencana itu tiba-tiba datang dan dia tidak menduganya. Itulah sebabnya Nijah memilih pergi.

“Tidak Nijah, jangan lakukan itu. Kamu bukan perusak rumah tangga. Aku yang memilih kamu, dan Ristia sudah aku ajak bicara, dan dia setuju.”

“Tapi nyatanya non Ristia sesungguhnya sangat membenci aku.”

“Ristia terjerumus dengan pikiran kotornya. Kalau saja dia bisa menjalani hidup bersama kita dalam penuh kedamaian, maka kita akan bahagia bersama-sama. Jadi dia sendiri yang menciptakan bencana ini. Dia juga menghianati rumah tangga ini dengan berselingkuh. Kamu sudah tahu kan? Bahkan Ratih mengetahuinya. Jadi aku sudah memutuskan akan menceraikan dia.”

“Ya Tuhan, aku merasa berdosa."

“Nijah, kamu tidak boleh berkata begitu. Kamu tega meninggalkan aku,Jah? Aku sangat mencintai kamu, aku sudah menciptakan banyak rencana untuk hidup kita. Aku mohon, jangan pernah punya keinginan untuk pergi,”  kata Satria lirih, menahan rasa pilu mendengar apa yang dikatakan Nijah.

Nijah diam. Barangkali sedang menimbang-nimbang. Ada rasa mengiris jiwanya ketika melihat wajah Satria yang tiba-tiba murung. Tapi Nijah benar-benar merasa berdosa, dan merasa bahwa dialah pembawa bencana di keluarga Sardono.

"Kalau saya sudah pergi, mas bisa kembali bersama non Ristia," bisiknya lirih.

"Apa? Kamu sadar apa yang kamu katakan? Aku sudah menceraikan dia."

Nijah masih diam, sampai kemudian Satria menghentikan mobilnya di sebuah warung yang bersih dan nyaman.

Satria membukakan pintu untuk Nijah, menggandengnya masuk ke dalam warung. Bowo yang mengikuti di belakangnya juga sudah sampai di warung itu, lalu membantu Ratih turun dari mobil.

Mereka memilih tempat yang agak kepinggir supaya tidak terganggu. Satria dan Bowo duduk, sementara Ratih mengajak Nijah ke kamar mandi.

 Bowo agak heran melihat wajah Satria, yang seharusnya senang karena istrinya sudah ditemukan. Bahkan dia diam saja saat keduanya sudah duduk berhadapan. Sesekali dilihatnya Satria menghela napas, tampak kesal. Bowo segera memesan minuman hangat untuk mereka berempat, dan beberapa cemilan. Harus menanyakan kepada yang bersangkutan kalau dia mau memesan makanan. Kalau minuman, yang penting hangat, agar bisa melepaskan sedikit kelelahan pada mereka, terutama bagi kedua wanita yang baru saja terlepas dari  cengkeraman penjahat.

“Mas Satria,” tak tahan dengan suasana kaku, Bowo menyapa Satria.

Satria mengangkat wajahnya.

“Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya Mas senang karena Nijah sudah bisa ditemukan?”

“Nijah ingin pergi dari saya,” Satria langsung menjawabnya. Ada air mata menggenang di sana. Dan Bowo pun sangat terkejut mendengarnya.

“Apa?”

“Dia mengatakannya dalam perjalanan ini tadi.”

“Maksudnya ingin pergi itu apa?”

Satria agak kesal mendengar pertanyaan Bowo. Sudah jelas kalau ingin pergi itu berarti ingin meninggalkannya. Mengapa masih bertanya lagi? Pertanyaan itu membuat Satria bertambah muram. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu.

“Mas, apa maksud Nijah dengan ingin pergi? Ingin minta cerai. Begitu?” kata Bowo mempertegas arti dari ucapan Satria.

“Dia merasa menjadi penyebab semua ini. Dia merasa bersalah, lalu dia ingin agar aku kembali bersama Ristia. Mana aku sudi? Perempuan itu sangat jahat, punya perangai buruk yang tidak terkira,  bahkan dia sudah berselingkuh dengan Andri, laki-laki yang baru saja menikah beberapa hari.”

“Iya, saya juga sudah mendengar dari Ratih. Andri tak pernah menyentuhnya, bahkan bersikap manis sekalipun tidak pernah. Kasihan Ratih. Dia cantik dan baik.”

Satria menangkap ketertarikan Bowo kepada Ratih, tapi dia sendiri sedang gelisah memikirkan perkataan Nijah. Ia tahu, Nijah itu walaupun sangat lembut, tapi juga memiliki hati yang keras. Barangkali akan susah mengendalikan dia saat dia menginginkan sesuatu.

"Sebenarnya, bukankah Mas sudah bicara sama Ristia sebelum memutuskan untuk menikah lagi?”

“Sudah bicara panjang lebar dan dia menerimanya. Dia bahkan berubah menjadi baik, dengan bersedia membantu pekerjaan rumah seperti yang selalu Nijah lakukan. Mereka juga tampak seperti bersahabat, dan aku sudah membayangkan adanya sebuah keluarga yang bahagia dengan kedamaian yang ada di dalamnya. Tak tahunya Ristia hanya berpura-pura.”

“Sebenarnya Nijah tak perlu merasa sebersalah itu.”

“Aku sudah punya rencana untuk menyekolahkan Nijah dengan memanggil guru ke rumah. Bahkan ingin melihat Nijah bisa menyelesaikan jenjang kuliah.”

“Bolehkah aku bicara dengan Nijah? Barangkali harus ada yang bisa memberinya pengertian. Bahwa untuk mencapai sesuatu, harus ada jalan yang harus dilalui. Misalnya, Mas bisa mengetahui kekurangan Ristia, setelah melihat perilaku Nijah, atau Mas harus bercerai dengan Ristia, setelah mengetahui kelakuannya. Dan itu semua adalah perjalanan hidup yang harus dilalui bukan?”

“Ya, aku tahu. Kalau Mas Bowo ingin bicara dengan Nijah, bicaralah. Barangkali Ratih juga akan bisa membantu mengendapkan keinginannya.”

“Baiklah. Memang semestinya harus ada yang menjembatani dalam memutuskan sesuatu."

Nijah dan Ratih sudah keluar dari kamar mandi, dan tampak lebih segar dan cantik, walaupun tanpa polesan make up. Bowo menahan debar jantungnya ketika menatap janda cantik yang beberapa saat lalu duduk di sampingnya saat dia mengendarai mobil.

Ratih bukannya tak tahu saat Bowo menatapnya kagum. Ada perasaan senang, karena bagaimanapun Bowo pernah menolongnya dari kekasaran Andri. Tapi Ratih hanya membalas tatapan itu sekilas, sambil mengulaskan senyum.

Ketika keduanya duduk, dimeja sudah ada minuman coklat susu panas yang sudah tersedia, dan sepiring sosis yang masih hangat.

“Minumlah,” kata Bowo sambil meraih gelasnya, diikuti Ratih dan Nijah.”

“Mas Satria, minumlah, tadi kita juga belum sempat minum dan sarapan, bukan?”

Satria meraih gelasnya, menghirupnya pelan. Wajahnya masih tampak kusut. Nijah mengerti, pasti Satria agak marah karena ucapannya tadi.

“Ayo pesan makanan, kita tidak bisa berlama-lama di sini, bukan? Harus ke kantor polisi, lalu mengantarkan Ratih ke rumah sakit,” kata Bowo lagi.

“Aku yang menulis pesanannya ya,” kata Ratih sambil meraih buku notes pesanan yang sudah tersedia di meja. Dia tentu saja sangat lapar, demikian juga Nijah, karena sejak kemarin belum makan apapun.

“Aku nasi soto saja,” kata Bowo.

“Haa, itu benar, makanan hangat juga akan menyegarkan tubuh kita,” kata Ratih.

“Aku juga mau soto,” kata Nijah.

“Mas Satria mau makan apa?” tanya Nijah kepada suaminya.

“Terserah kamu saja.”

Ratih segera menuliskan pesanan mereka, empat mangkuk nasi soto untuk mereka berempat. Ratih menatap Satria dengan heran juga, karena tampak sekali bahwa Satria sangat muram.

 “Mas Satria kenapa?” tanya Ratih.

“Tidak apa-apa, barangkali aku memang lelah.”

Sambil makan dan minum, mereka saling bercerita terjadinya peristiwa itu, mulai dari Nijah yang dibawa penculik, sampai  Satria dan Bowo menemukannya. Kesemuanya itu nanti akan menjadi bahan untuk tambahan pelaporan mereka sebelumnya.

***

Mereka sudah ada di kantor polisi, sudah menceritakan semuanya, dan mencatat Ratih dan Nijah sebagai korban.

Mereka ingin kembali, dan Ratih berpamit akan pergi ke rumah sakit untuk menemui bu Widodo  yang dirawat sejak semalam. Ratih sedang mereka-reka apa yang nanti akan dikatakannya kepada sang mertua, agar tidak menjadikan bertambah sakitnya karena kelakuan Andri pastilah merupakan sebuah pukulan baginya.

“Bolehkah saya menemui Ristia?” kata Nijah tiba-tiba, membuat Satria tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post