BUNGA TAMAN HATIKU 30
(Tien Kumalasari)
Bibik berjalan ke sana kemari, diikuti Ristia. Mall itu begitu luas, tapi tak mungkin Nijah pergi ke counter lain tanpa memberi tahu bibik. Tadi dia hanya bilang mau memilih mangga yang bagus. Tapi kenyataannya dia tak diketemukan di tempat itu. Bibik mulai panik.
“Tadi dia pamit ke mana sih Bik?” tanya Ristia yang matanya melihat ke arah sekitar.
“Hanya mau membeli mangga. Masa kemudian pergi ke tempat lain tanpa bilang apa-apa pada bibik?”
“Nyatanya tidak ada. Kemana ya dia? Mungkinkah dia ketemu seseorang yang kemudian mengajaknya entah kemana?”
“Apapun itu, pastinya dia mengatakannya pada saya. Ini aneh. Pasti terjadi sesuatu. Tak mungkin Nijah pergi begitu saja.”
“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada Nijah?” Ristia mulai menangis, berlarian ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama Nijah. Bibik meninggalkan troli yang penuh belanjaan, ikut kalang kabut ke arah lain. Tapi bukankah semua itu tak mungkin? Nijah tak mungkin pergi begitu saja. Pasti ada yang mengajaknya.
Bibik menemui satpam toko, mengatakan bahwa dia kehilangan salah seorang majikannya.
Ia segera mengatakan ciri-ciri Nijah, dan satpam itu mengatakan bahwa ada seorang wanita pergi keluar dengan seorang laki-laki, yang kemudian menaiki sebuah mobil yang sudah menunggu. Wanita itu sangat cantik.
Bibik terkejut. Ciri-ciri yang dikatakannya, cocok dengan apa yang dilihat satpam itu. Gaun berkembang, kerudung berwarna hijau muda. Berwajah cantik, Itu adalah Nijah. Tapi pergi kemana dia, dan bersama siapa?
Ristia berlari-lari mendekati bibik dengan bercucuran air mata.
“Bagaimana Bik?”
“Kata bapak satpam ini, ada seorang wanita yang ciri-cirinya seperti Nijah, pergi bersama seorang laki-laki, kemudian membawanya pergi dengan mobil.”
“Ya Tuhan, siapakah laki-laki itu? Apakah Bapak mencatat nomor mobilnya?” tanya Ristia kemudian kepada satpam.
“Sayang sekali tidak, Nona. Laki-laki itu juga memakai masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya, jadi tidak jelas, apakah dia laki-laki muda, atau setengah tua, atau bahkan sudah tua. Tapi melihat langkahnya yang tegap, tampaknya dia memang masih muda,” kata satpam.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apakah Nijah punya seorang teman laki-laki?” tanya Ristia kepada bibik.
“Mana saya tahu, Non. Ada seorang teman Nijah, bernama Bowo. Tapi ,…”
“Nah, aku mencurigai dia yang membawa Nijah.”
“Tapi Non, Bowo itu seorang pemuda yang baik. Dia teman sekolah Nijah saat masih SD.”
“Ya, aku tahu itu. Nijah pernah mengatakannya. Tapi tampaknya Bowo itu menyukai Nijah. Kelihatan bagaimana cara dia menatap Nijah ketika aku melihatnya di dekat gerbang.”
“Mungkinkah karena suka atau cinta, lalu Bowo membawa lari Nijah?” gumam bibik pelan.
“Cinta bisa membuat orang melakukan apa saja. Aku akan menelpon mas Satria. Jangan sampai nanti dia menyalahkan kita karena kurang hati-hati menjaga Nijah.”
“Ya Non, sebaiknya Non segera menelpon tuan Satria.”
Keduanya duduk di bangku tunggu dengan wajah gelisah. Ristia menelpon Satria yang diterimanya dengan nada marah.
“Kenapa menelpon? Kamu kan tahu bahwa saat bekerja aku tidak mau diganggu?”
“Maaf, Mas. Ini situasi darurat.”
“Darurat apa?” hardik Satria.
“Kami sedang belanja bersama bibik juga, tapi kemudian Nijah menghilang.”
Satria benar-benar terkejut. Nada suaranya berubah khawatir.
“Apa maksudmu dengan ‘menghilang’?”
“Aku tidak tahu, aku sedang melihat-lihat baju, bibik sedang memilih belanjaan bersama Nijah. Ketika aku kembali, bibik sedang bingung mencari Nijah yang tiba-tiba pergi tanpa pamit. Kami berdua jadi bingung.”
“Apa ? Di mall mana kalian belanja? Sudah lapor polisi?”
“Belum, kami sedang_”
“Kenapa tidak segera lapor?” hardik Satria marah.
“Maaf Mas, kami sedang bingung.”
“Segera lapor, aku mau ke sana. Di mal mana kalian belanja?”
“Di mal langganan mama.””
Satria menutup ponselnya tiba-tiba.
“Bagaimana Non? Tuan marah?”
“Sangat marah. Ayo kita lapor polisi.”
***
Seluruh keluarga Sardono panik, Nijah hilang tak tentu rimbanya. Dugaan sementara adalah Nijah diculik. Dan itu benar. Ristia menguatkan dugaan itu dengan menyebut nama Bowo.
Satria memelototi Ristia karena ia tahu, Bowo laki-laki yang baik. Tapi Ristia bisa mementahkan ketidak percayaan Satria. Ia mengatakan bahwa menurut Satpam di mal itu, bahwa Nijah pergi dengan seorang laki-laki dengan masker menutupi hampir seluruh wajahnya, dan tampaknya dia seorang laki-laki muda.
“Mas kan tahu, Nijah tidak mengenal laki-laki di luar rumah ini kecuali Bowo. Aku pernah melihat Bowo duduk di atas sepeda motor, seperti menunggu di luar gerbang rumah."
Satria diam. Ia tahu Bowo memang mencintai Nijah, tapi Bowokah pelakunya? Bukankah dirinya sudah pernah bicara dan Bowo bahkan menolak ketika ia ingin mengikhlaskan Nijah?
“Mungkinkah dia?” gumam Satria.
“Mas jangan percaya begitu saja. Bibik juga mengatakan bahwa Bowo laki-laki yang baik, tapi siapa tahu apa yang dipikirkan orang? Bisa saja dia bersikap baik, agar tidak diketahui bahwa dia punya niat jelek. Tanpa sengaja Ristia mengulaskan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Bahwa sebenarnya dia bercerita tentang dirinya.
“Bik, apakah Nijah pergi dengan membawa ponselnya?”
“Saya tidak tahu, Tuan. Biasanya kalau keluar dia tidak membawa ponselnya.”
Satria memasuki kamarnya. Ia memang belum pernah menghubungi ponsel Nijah, karena memang tidak ada perlunya menelpon Nijah. Lagipula dia tidak tahu nomor kontak Nijah. Bukankah setiap hari dia bertemu Nijah? Dari pagi, siang atau malamnya, ia bertemu Nijah. Ia mengaduk aduk barang milik Nijah, bahkan di bawah bantal. Tapi ponsel itu tidak ditemukannya. Apakah Nijah membawa ponselnya? Tiba-tiba bibik muncul dengan membawa sebuah ponsel.
“Tuan, barangkali ini milik Nijah. Terletak di kamar Nijah yang ada di belakang.”
Satria menerima ponsel itu, yang ternyata mati. Rupanya Nijah tidak mempergunakannya sejak berpindah kamar bersamanya. Kemudian dia mengecas ponsel itu. Sebenarnya dia hanya ingin tahu, berapa nomor kontak Bowo, yang sering dihubungi Nijah.
Beberapa saat kemudian, Satria bisa membuka ponsel Nijah, dan beruntung tidak ada kode rahasia di sana, dia langsung membukanya, dan hanya ditemukannya nomor Bowo. Rupanya Nijah memang tidak punya orang lain yang perlu dihubungi kecuali Bowo, dan sudah sejak menikah dengannya, dia tidak pernah membuka ponselnya. Itu sebabnya ponselnya sampai mati.
Satria terkesan dengan kesetiaan Nijah. Tapi mengapa sekarang dia menghilang?
Dengan perasaan ragu, Satria memutar nomor Bowo, masih dengan menggunakan nomor Nijah. Panggilan itu segera tersambung.
“Nijah, mengapa menelpon? Bukankah kamu sudah menikah?”
Satria tertegun. Jawaban Bowo tampak tidak mencurigakan. Ia justru menanyakan pernikahan Nijah.
“Nijah!” panggil Bowo, karena Satria terdiam, melamun. Ia baru terkejut katika Bowo kembali memanggil nama Nijah.
“Mas Bowo, ini aku.”
“Mas Satria? Ada apa Mas? Apakah ada berita yang harus disampaikan kepada saya? Nijah sakit?”
“Tidak. Nijah hilang.” jawab Satria pilu.
Bowo sangat terkejut. Ia berteriak ketika menjawabnya.
“Apa? Nijah hilang? Apa maksudnya hilang?”
“Mas Bowo tidak mengetahuinya?”
“Pertanyaan apa ini Mas, bagaimana saya bisa mengetahuinya kalau tidak ada yang mengatakannya?” Bowo kelihatan gusar.
“Maaf Mas, saya mengira Nijah bersama mas Bowo.”
“Apa? Maksudnya saya membawa pergi Nijah?” Bowo berteriak marah.
“Maaf Mas, saya_”
“Mas kira laki-laki macam apa saya ini? Kalau saya mau, bukankah Mas ingin agar saya membawa Nijah? Bukankah itu lebih gampang daripada melarikannya? Jadi mas Satria menuduh saya melarikan Nijah?” kata Bowo berapi-api.
“Maaf … maaf,. saya memang tidak percaya kalau Mas Bowo melakukannya. Saya sangat kalut dan bingung.”
“Kapan kejadiannya?”
“Baru siang ini, saat dia belanja bersama bibik dan Ristia. Tiba-tiba saja Nijah menghilang. Menurut satpam mal dimana mereka belanja, Nijah pergi bersama dengan seorang laki-laki, yang membawanya naik mobil.”
“Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Saya mau pulang sekarang,” kata Bowo yang kemudian menutup ponselnya.
Satria menghela napas. Ia keluar dari kamar dengan langkah lunglai.
“Bagaimana Mas? Mas menelpon Bowo?” Ristia menyambutnya dengan pertanyaan, sambil mendekat. Satria menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan ayah ibunya, sementara bibik tampak bersimpuh di lantai, wajahnya kusut, berurai air mata.
“Bowo tidak melakukannya,” gumamnya pilu.
“Bagaimana Mas bisa mempercayainya? Tentu saja maling tidak akan mau mengakui perbuatan jahatnya.”
“Ada orang yang bisa dipercaya, dan ada yang tidak.”
“Mas tertipu oleh keluguannya,” kata Ristia sambil pergi menjauh, naik ke atas menuju kamarnya. Tak ada yang mempedulikannya. Semuanya tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Kamu percaya kepada laki-laki bernama Bowo itu?” tanya pak Sardono.
“Dia laki-laki yang baik, saya percaya Pak. Dia sangat terkejut ketika saya menelpon dia.”
“Mungkin benar apa yang dikatakan Ristia, bahwa maling tidak pernah mengakui perbuatannya.”
“Tidak mungkin dia. Memang sih, dia mencintai Nijah, tapi ketika saya ingin merelakan Nijah kepada dia, dia menolaknya. Kalau dia mau, pasti Nijah sudah saya serahkan sama dia secara baik-baik.”
“Aku tidak tahu bahwa Nijah berhubungan dengan laki-laki di luar rumah ini,” sambung bu Sardono..
“Dia teman sekolah waktu masih SD. Dia suka sama Nijah, tapi Nijah menanggapinya sebagai sahabat. Saya pernah bertemu dia. Dari pertemuan itu , saya tahu dia bukan laki-laki jahat. Tadi dia marah sekali ketika saya hampir menuduhnya.”
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Saya sudah lapor polisi, bersama Ristia dan bibik, tadi. Jadi kita hanya harus menunggu. Tapi Satria akan terus mencari dengan cara Satria sendiri.”
Bibik berdiri sambil mengusap air matanya, dia melangkah menuju dapur, tapi sebelumnya dia meminta maaf kepada majikannya.
“Nyonya, saya akan memasak dari bahan yang sudah ada. Tadi semua belanjaan saya tinggalkan karena panik.”
“Tidak apa-apa Bik, masak sekedarnya saja, yang gampang. Kita semua juga pasti tidak begitu selera makan dengan adanya kejadian ini.”
***
Ratih masih pura=pura tidur ketika mendengar seseorang membuka pintunya. Andri tak mengucapkan apa-apa, kemudian menutupkan lagi pintu itu. Ratih bergeming, memeluk guling dengan erat.
Tiba-tiba dia mendengar suara mobil dari arah samping rumah, lalu langkah-langkah kaki menginjak kerikil. Tak ada suara orang bicara. Apakah ada tamu yang memarkir mobilnya di belakang rumah? Ratih tak ingin tahu. Kalau benar ada tamu, entah teman atau saudara Andri, paling-paling dia harus membuatkan minuman atau menyuguhkan makanan. Ratih enggan melakukannya. Ia terus saja berbaring dan menyesali kegagalannya untuk pergi karena kedatangan suami yang sangat kejam dengan kata-kata yang tajam bak sembilu.
Kalau saja dia tahu apa yang terjadi, dia pasti akan merasa ngeri.
Dari dalam mobil itu, seseorang membopong tubuh seorang wanita yang tak berdaya, lalu membawanya ke gudang belakang vila. Gudang itu terletak jauh dari rumah, terhalang taman yang membentang luas. Gudang itu dibuka, kemudian tubuh wanita itu dilemparkannya ke dalam gudang begitu saja. Tubuh lemah yang pingsan itu sama sekali tak meronta.
Kemudian terdengar gudang itu ditutup, dan dikunci dari luar.
Dua orang tampak masuk ke dalam rumah. Yang satu adalah pengemudi mobil itu, dan satunya adalah yang tadi membawa tubuh wanita dan memasukkannya ke dalam gudang.
Andri keluar dari kamar, dan menerima kunci yang diulurkan oleh salah satu dari mereka.
“Kalian yakin tak akan ada jejak yang bisa menemukan rumah ini?”
“Sangat yakin Pak, nomor mobil yang saya pakai pun adalah nomor palsu, tak mungkin bisa terlacak oleh siapapun.”
“Kalian bekerja sangat bagus. Ini upah yang saya janjikan.”
Andri mengulurkan sebuah amplop yang diterima salah satu diantara keduanya dengan tersenyum puas.
“Tapi nanti aku akan menghubungi kalian lagi. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan atas dia.”
“Bukanlah perintahnya adalah menghabisinya?”
“Menghabisinya, bukan berarti membunuh. Aku tak tega membunuhnya. Entah bagaimana nanti Ristia merencanakan langkah selanjutnya. Sekarang kalian boleh pergi,” kata Andri yang mendahului berdiri.
Keduanya mengikutinya, lalu menuju ke arah samping rumah, dimana mereka memarkir mobilnya.
Tiba-tiba ponsel Andri berdering, dari Ristia.
“Hei, kenapa menelpon? Bukankah seisi rumah kamu sedang heboh karena kehilangan?”
“Benar, aku lelah, lalu masuk ke kamar.”
“Apa yang harus aku lakukan? Tidak bisa dong perempuan itu terlalu lama berada di rumah aku.”
“Tidakkah kamu menyuruh orang untuk membunuhnya?”
“Jangan, aku tidak mau membunuh,” jawab Andri. Dan saat ia menjawab itu, Ratih kebetulan membuka pintu dan mendengarnya.
***
Besok lagi ya.