BERSAMA HUJAN 03
(Tien Kumalasari)
Aisah berteriak senang melihat mobil Romi berhenti di dekat mereka. Ia segera menyentuh lengan Andin.
“Lihat, ada taksi gratis datang Ndin, sungguh beruntung kamu,” katanya riang, melihat Romi turun dari mobil.
Andin melepaskan pegangan Aisah, ia melihat angkot lewat, kemudian berlari mendekati.
“Ais, terima kasih banyak, aku pergi dulu,” katanya sambil naik ke atas angkot, membuat Aisah bengong.
“Andin! Apa sih maksudnya tuh.”
“Dia kabur?” kata Romi yang tiba-tiba sudah berada di dekat Aisah.
“Heran aku sama dia, tiba-tiba saja kabur. Apa ketakutan sama kamu ya?”
Romi tertawa.
“Kok bisa, memangnya orang ganteng itu menakutkan?”
“Hih, kepedean deh, tapi memang dia sepertinya ogah ketemu kamu. Tadi juga begitu. Dompet dia ketinggalan di kampus, aku bilang mau aku titipin ke kamu, eh, dia memilih mengambil sendiri kemari. Sekarang begitu melihat kamu, dia kabur. Untung ada angkot lewat, kalau tidak pasti dia sudah berlari sekencang-kencangnya.”
Romi tetap saja tertawa. Tak tampak ada beban yang menggayutinya. Dia seperti menganggap kaburnya Andin adalah bukan apa-apa.
“Kamu sih, tukang ganggu perempuan. Habis melakukan apa kamu sama dia?”
“Kamu nggak kuliah?” tanya Romi mengalihkan pembicaraan.
“Enggak, itu sebabnya tadi aku mau nitipin dompet Andin sama kamu, ternyata dia memilih mengambil sendiri kemari.”
“Dia pasti ke kampus.”
“Tidak, dia bilang tidak akan ke kampus hari ini. Memangnya apa yang sudah kamu lakukan sama dia? Jangan pernah kamu menyakiti sahabat aku.”
“Mana mungkin aku menyakiti? Aku tuh bisanya menyenangkan perempuan, bukan menyakiti.”
“Kalau tidak, pasti dia tak akan bersikap begitu sama kamu.”
“Percayalah, besok juga kalau ketemu di kampus, dia pasti sudah baikan. Aku akan minta maaf sama dia karena sering mengganggunya.”
“Tumben kamu mengenal kata maaf,” cibir Aisah.
“Kamu tuh, mikirnya sama aku jelek melulu. Ya sudah, aku ke kampus dulu,” katanya sambil kembali masuk ke dalam mobilnya, kemudian berlalu begitu saja.
Aisah masih berdiri menatap mobil itu, sampai menghilang ditikungan. Tapi ia masih merasa aneh dengan sikap Andin tadi. Kalau hanya diganggu seperti Romi mengganggu gadis-gadis cantik sekampusnya, tak mungkin Andin sampai semarah itu. Ya, menurut Aisah, Andin memang sedang sangat marah pada Romi. Ia bisa melihat sinar kemarahan itu pada matanya.
“Nanti sore aku pasti akan menanyakannya,” gumam Aisah sambil memasuki rumah. Ketika ia masuk ke ruang tengah, ia terkejut melihat irisan mangga dan mentimun yang sudah disiapkannya di meja. Ada pula nanas yang masih utuh.
“Ya ampun, kenapa tadi aku biarkan dia pulang? Kami kan janjian mau bikin rujak?” kata Aisah sambil geleng-geleng kepala.
***
Andin sudah sampai kembali di rumahnya. Ia membeli lauk di warung dekat rumah, dan menyiapkannya di meja makan. Dia juga menanak nasi untuk makan bersama ayahnya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian rumah.
Bayangan wajah Romi melintas, membuat wajahnya muram. Sakit lahir batin yang dirasakannya. Ia mengibaskan bayangan laki-laki bejat itu sekuat tenaga, kemudian menyibukkan diri dengan bersih-bersih seisi rumah.
Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Aisah.
“Assalamu’alaikum, Andin.”
“Wa’alaikumu salam, ada apa Ais, mau berangkat sekarang?”
“Tidak, aku menyesal tadi tidak menahan kamu saat kamu pamit pulang.”
“Kenapa?” wajah Andin agak gelap karena mengira Aisah akan mengingatkannya tentang Romi yang tiba-tiba datang.
“Kita kan janjian mau bikin rujak?”
“Oh iya, lupa. Ya udah, lain kali saja.”
“Nanti aku bawa ke rumah kamu saat nyamperin kamu ya.”
“Waah, repot amat.”
“Nggak apa-apa, di rumah nggak ada yang suka, cuma aku saja.”
“Ya sudah, terserah kamu saja.”
Tapi kemudian hatinya sedikit terhibur, ketika teringat bahwa sore nanti Aisah akan mengajaknya ke rumah kakak misannya, yang semoga saja mau menerima dirinya menjadi asisten penerima pasien setiap sore.
Ia kemudian menyiapkan pakaian yang rapi untuk dipakainya nanti sore.
“Apakah aku harus memberi tahu bapak bahwa aku akan bekerja? Atau kalau bapak sudah pulang saja aku mengatakannya? Aku ingin menelpon, tapi takut mengganggu. Bagaimana kalau aku sudah disamperin Aisah sementara bapak belum pulang?”
Aduh, mengapa Andin jadi kelihatan sangat repot? Pikiran yang kalut juga mengganggu konsentrasinya dalam bertindak. Bukankah dia bisa menelpon sebelum berangkat, atau menulis pesan singkat kalau tak ingin mengganggu?
Andin beranjak ke belakang setelah selesai bersih-bersih, kemudian dia menata lauk yang dibelinya di atas meja. Hanya oseng kacang panjang dan tahu bacem serta kerupuk. Sang ayah yang giginya tak lagi utuh, lebih suka lauk yang empuk-empuk. Tahu adalah lauk kesukaannya. Dimasak apapun boleh. Tapi sang ayah jarang sekali pulang ke rumah saat makan siang.
Andin melihat ke arah jam weker di atas almari, jam duabelas lebih sedikit. Andin tak ingin segera makan, karena sejak semalam selera makannya hilang.
Tapi tiba-tiba dia mendengar suara sepeda motor memasuki halaman. Rupanya pak Harsono pulang.
Andri bergegas menyambutnya ke depan.
“Bapak sudah pulang?”
“Tidak, hanya pulang makan siang saja, sambil melihat keadaan kamu.”
“Ya ampun, Bapak, Andin tidak apa-apa. Capek dong bolak balik ke rumah?”
“Tidak, aku beli ayam goreng kesukaan kamu, nih,” kata pak Harsono sambil mengulurkan sebuah bungkusan.
“Bapak, kenapa harus beli lagi? Bukankah saya sudah bilang bahwa akan beli lauk di warung depan?”
“Tidak apa-apa, biar lebih lengkap. Kamu belum makan kan? Ayo kita makan,” kata pak Harsono sambil beranjak ke arah cucian untuk mencuci tangan, kemudian duduk di meja makan.
“Wah, nasinya masih panas, pasti nikmat.”
Andin tersenyum, sambil menyendokkan nasi untuk sang ayah, lalu untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin mengecewakan ayahnya yang sudah bersusah payah membeli tambahan lauk yang memang kesukaannya.
“Kamu tampak lebih segar.”
“Iya, Andin sudah baikan. Oh ya Pak. Ada yang ingin Andin katakan pada Bapak.”
“Apa tuh? Uang semesteran sudah bapak siapkan.”
“Bukan itu. Andin mau bekerja, Pak. Boleh kan?”
Pak Harsono meletakkan sendoknya, menatap Andin tak percaya.
“Bekerja? Bukankah bapak ingin agar kamu bisa menyelesaikan kuliah kamu dan tidak memikirkan hal lain?”
“Bekerja sambil kuliah Pak, Andin bukan ingin meninggalkan bangku kuliah.”
“Bagaimana bisa bekerja sambil kuliah?”
“Andin kan kuliah pagi, sorenya Andin bekerja.”
“Bekerja apa sore hari itu? Bapak tidak setuju, apalagi kalau sampai pulang malam seperti kemarin itu. Biarpun kamu terlambat pulang karena hujan, bapak tetap saja khawatir.”
“Aisah punya kakak seorang dokter. Andin hanya membantu menerima pasien saat sore. Prakteknya juga tidak sampai malam.”
Pak Harsono diam, ia kembali menyendok makanannya. Belum ada jawaban yang didengar Andin.
“Andin ingin sekali bisa meringankan beban Bapak.”
“Siapa bilang bapak keberatan? Apapun akan bapak lakukan untuk kamu.”
“Paling tidak Andin tidak akan minta uang jajan lagi sama Bapak. Boleh kan Pak? Itu saudaranya Aisah. Dia butuh orang yang bisa membantu saat dia praktek.”
“Apa kamu tidak capek?”
“Kuliah kan tidak seharian penuh. Hanya kadang-kadang saja sampai sore. Nanti Andin akan mengaturnya.”
“Nanti sore Aisah akan nyamperin Andin kemari, agar bertemu dengan dokter yang saudaranya Aisah itu.
“Ya sudah, tapi pikirkan baik-baik sebelum kamu bertindak, jangan sampai kamu menyesalinya setelah terlambat.”
Dada Andin serasa dipukul palu. Ayahnya sangat hati-hati menjaganya, seperti menjaga kristal mahal yang jangan sedikitpun sampai retak. Tapi apakah yang terjadi pada dirinya?
“Bapak hanya ingin kamu selalu baik-baik saja,” katanya saat sebelum mengakhiri makan siangnya.
Andin tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya dengan sedih. Tapi semua yang sudah berlalu, mana bisa diulangnya kembali? Dia hanya ingin berusaha membuat hidupnya baik-baik saja, seperti harapan ayahnya. Dan retak pada kristal mahal itu jangan sampai terlihat oleh ayahnya sehingga membuat ayahnya terluka, yang barangkali melebihi luka hatinya.
***
Jam setengah empat sore, Andin sudah berdandan rapi. Ia gadis sederhana yang selalu menjaga kesopanan dalam berpakaian maupun bersikap. Ia berharap, dokter Faris mau menerima dirinya apa adanya.
Ia menutup pintu belakang, kemudian duduk di teras. Kalau Aisah datang, maka mereka tinggal berangkat dan tak perlu menunggu lama.
Oh ya, Andin lupa menyiapkan minuman sore untuk ayahnya, sehingga kalau sewaktu-waktu datang tak perlu membuatnya sendiri. Aisah kembali masuk ke dapur, menyiapkan minuman dan diletakkannya di ruang tengah seperti biasanya. Ada cemilan roti pisang yang tadi dibelinya saat membeli lauk, disiapkannya di dekat minuman itu.
Baru kemudian dia bergegas ke depan.
Begitu duduk, ponselnya berdering, ternyata dari ayahnya. Andin terharu, begitu besar perhatian ayahnya pada dirinya.
“Bapak?”
“Kamu sudah berangkat?”
“Belum Pak, tapi Andin sudah menyiapkan minum untuk Bapak dan sedikit cemilan.”
“Iya, aku tahu, kamu mau disamperin jam berapa?”
“Sebentar lagi, pastinya Pak.”
“Hati-hati, dan pikirkan sekali lagi.”
“Baik, Pak.”
Andin menghela napas haru.
Begitu dia menyimpan kembali ponselnya, ia mendengar mobil berhenti di jalan. Andin terbelalak, ketika melihat Aisah turun dari mobil, bersama Romi. Wajah Andin pucat pasi. Kalau bisa, ingin dia langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci diri di dalamnya. Ia tak sudi melihat wajah laki-laki bejat yang sudah merusak hidupnya. Wajahnya langsung muram melihat Aisah tersenyum lebar.
“Bagus, Andin, kamu sudah siap?”
“Mengapa kamu bersama dia?”
“Oh, Romi? Saat aku sedang mengeluarkan sepeda motor aku, Romi tiba-tiba melintas, kemudian berhenti begitu melihat aku. Dengan senang hati dia mau mengantar kita kok.”
“Tidak, aku tidak mau.”
“Apa maksudmu Andin?”
“Kita naik taksi saja,” kata Andin tandas, dengan wajah merah padam menahan marah. Sungguh Andin kesal, mengapa harus selalu ada Romi?
“Andin, jangan begitu, aku datang untuk meminta maaf. Aku khilaf. Sungguh aku menyesal.”
Andin menatapnya dengan mata menyala bak menyemburkan dahana. Khilaf? Apakah kata khilaf bisa menghapus noda yang menempel di tubuhnya? Bahkan kata maaf itu bisakah mengilangkan dosa di malam penuh kekejaman itu?
Andin memalingkan wajahnya.
“Aisah, kalau kamu ingin mengajak aku, aku pesan taksi sekarang.”
“Andin.”
“Kalau tidak, kamu tidak usah mengajak aku. Perjanjian kita tadi dibatalkan saja,” katanya tandas.
Rupanya Aisah mengerti, bahwa Andin sangat marah pada Romi. Ia tak tahu apa sebabnya, tapi Aisah lebih memilih menjaga perasaan sahabatnya.
“Romi, terima kasih sudah mengantar aku. Sekarang kamu pulanglah, aku sama Andin akan naik taksi,” kata Aisah kepada Romi.
“Baiklah, tapi yang penting aku sudah minta maaf. Dan aku harap kamu melupakan semuanya.”
“Enyahlah dari hadapanku.” hardik Andin tanpa sudi memandangi wajah yang tampak tersenyum tanpa dosa.
“Ais, aku pergi dulu ya, daaaag!”
Romi berlalu, meninggalkan kemarahan Andin yang masih melingkupi wajahnya.
Aisah memeluk sahabatnya dengan manis.
“Apa yang terjadi?”
“Aku sedang memanggil taksi.”
“Baiklah, tapi berjanjilah agar kamu mau mengatakan semuanya sama aku.”
Andin memencet ponselnya untuk memanggil taksi.
“Benar ya, nanti kamu ceritain semuanya sama aku? Kamu kan tidak lupa bahwa aku masih sahabat kamu?”
Andin hanya mengangguk. Ia tetap diam sampai kemudian taksi yang dipanggilnya tampak berhenti di luar pagar.
***
Disepanjang perjalanan, Aisah juga membiarkan Andin terdiam. Ia menunggu sampai sahabatnya merasa tenang, sambil sesekali menepuk punggung tangannya agar Andin merasa lebih tenang.
“Kita hampir sampai Ndin, siap-siap ya, jangan perlihatkan wajah yang tampak sedih dong,” kata Aisah.
Andin menatap sahabatnya, mencoba mengulaskan senyuman.
“Maaf Ais, aku terlalu kasar tadi, juga terhadap kamu.”
“Tidak apa-apa, aku mengerti, kamu pasti sedang marah sama Romi. Aku mengerti kok, Romi itu seperti apa. Barangkali dia sudah bersikap keterlaluan sama kamu, sehingga kamu marah.”
Andin tersenyum, Pahit. Sikap keterlaluan? Sikap yang seperti apa? Itu bukan hanya keterlaluan, tapi memuakkan, menjijikkan.
“Kalau kamu mau berbagi, barangkali beban kamu akan lebih ringan.”
Andin meremas tangan sahabatnya.
“Tapi aku tidak memaksa.”
Taksi berhenti didepan sebuah gerbang yang kokoh. Ada tulisan dr. Faris Wijaya, Ahli Penyakit Dalam, praktek jam 5 sore sampai jam 8 malam.
“Ayo masuk,” Aisah menggandeng tangan sahabatnya. Andin mengikutinya dengan berdebar. Rasa was-was menghantuinya. Bagaimana kalau dokter itu menolaknya?
Baru saja Aisah mengajaknya naik ke teras, dilihatnya seorang laki-laki dengan jas praktek putih keluar dari sebuah ruangan.
Andin terpana. Dokter itu masih muda, tampan, bermata teduh. Andin menundukkan wajahnya ketika dokter itu menatapnya..
***
Besok lagi ya.