Justitia Avila Veda: Keadilan Bukan Sekadar Nama Baginya

Justitia Avila Veda:
Keadilan Bukan Sekadar Nama Baginya 
– Entah berapa video yang membahas kasus kekerasan seksual
yang pernah dialami oleh Michelle Ashley, putri dari penyanyi Pinkan Mambo yang
sudah saya tonton. Michelle mendapatkan kekerasan seksual dari ayah tirinya
selama bertahun-tahun. Kini pelaku sudah menjalani hukuman setelah Michelle
berjuang bersama ayah kandungnya. Kasus kekerasan seksual tidak ada habisnya
terdengar, terlebih di masa sekarang di masa media sosial mengamplifikasinya.



Justitia
 



Kekerasan
Seksual Harus Dilawan



 



Mengikuti kasus Michelle,
tak terbayangkan betapa besar beban hidup gadis yang baru berusia 17 tahun ini.
Tak banyak perempuan yang memiliki kemampuan seperti dirinya, berhasil keluar
dari jerat pelaku meskipun harus keluar sembunyi-bunyi saat tengah malam dari
rumah ibunya.



Tindak kekerasan seksual
yang terjadi pada seseorang menimbulkan
dampak fisik, psikis, atau psikososial yang signifikan. Secara
fisik, korban bisa mendapatkan luka, penyakit menular seksual, bahkan hilangnya
nyawa. Sementara dari segi psikis, kekerasan seksual menjadi hal yang traumatis
karena telah terjadi berulang kali sehingga dapat mengakibatkan depresi,
ketakutan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), menyakiti diri sendiri (self-harm),
atau keinginan untuk bunuh diri.



Yang terbaru, para finalis Miss Universe Indonesia diwakili oleh pengacara melaporkan kepada penegak hukum mengenai pelecehan seksual
berkedok body checking dalam prosesi ajang beauty pageant bergengsi
ini. Pada tanggal 1 Agustus lalu para finalis tiba-tiba diminta telanjang untuk
melakukan body checking oleh tim yang terdiri atas sejumlah laki-laki
dan perempuan tanpa pernah diberi tahu sebelumnya dan di tempat yang
tidak terjaga privasinya. Mereka yang mau speak up patut diapresiasi karena
untuk bersuara bukan hal yang mudah dilakukan mengingat dampak psikisnya yang
besar.



Hampir 80% korban
kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya kepada kepolisian. Sebanyak 20%
dari mereka khawatir akan menerima cap negatif dari masyarakat, 13% merasa
polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% menganggap perkosaan yang mereka
alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sementara itu, dari laporan yang
masuk ke polisi, hanya 2% pelaku yang berakhir dipenjara[1].



Kasus yang dialami
Michelle termasuk dalam 2% itu walaupun tidak didukung oleh ibu kandungnya, dia
berjuang dengan bantuan ayah kandung yang sudah lama pisah dengan ibunya. Jauh
lebih banyak lagi korban yang memendamnya sendiri, tanpa ada penyelesaian dan
berpotensi menimbulkan dampak negatif yang banyak dan besar karena tidak tahu
harus ke mana, mengadu kepada siapa, dan melakukan apa. Nah, di sinilah
dibutuhkan peran masyarakat  untuk peka
dalam bereaksi terhadap korban yang mungkin saja ada di sekitar kita.



Peran inilah yang dijalankan
oleh
Justitia
Avila Veda, penerima Satu Indonesia Awards tahun 2022 kategori kesehatan
 dalam Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
Berbasis Teknologi
. Kepekaan yang dimilikinya mengantarnya membuat cuitan di
Twitter pada suatu hari.



Justitia Avila Veda

Dalam cuitannya pada tahun
2019-2020, perempuan yang akrab disapa Veda ini menawarkan jika ada yang perlu konsultasi atau perlu
diskusi gratis tentang apa yang mereka alami berkaitan dengan kekerasan seksual
maka boleh mengirimkan direct message (DM) atau email kepadanya.



 



Kelompok
Advokat untuk Keadilan Gender



 



Kekerasan seksual bisa
terjadi kepada siapapun, termasuk laki-laki meskipun saat ini kekerasan
terhadap perempuan lebih banyak terjadi. Fenomena ini menjadi salah satu alasan Veda membantu korban kekerasan seksual. Veda sendiri pernah mengalami
kekerasan seksual. Berpijak pada keresahan dan latar belakangnya sebagai
advokat, dirinya memiliki ide untuk membentuk program yang mempermudah para
korban lain dalam menerima bantuan hukum[2].



“Aku merasa kasus KS[3]
itu ada di antara kita, sama orang-orang terdekat kita dan aku juga lihat
banyak sekali orang yang mungkin mereka nggak ngerti apa sih
yang terjadi, aku harus ngapain,” Veda menjawab pertanyaan penyiar yang
mewawancarainya di Radio Idola Semarang ketika ditanya mengenai latar belakang aktivitasnya[4].



Tweet yang dibuatnya viral. Bukan
hanya mengundang banyak orang untuk konsultasi, tweet Veda juga
menggerakkan hati banyak orang, seperti pengacara dan jaksa untuk membantu. Maka
Veda menginisiasi pembentukan
KAKG (Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender). Program sosial KAKG ini
adalah kelompok yang memiliki program “Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
Berbasis Teknologi”[5].



Pada hari pertama
didirikan, KAKG sudah menerima 40 aduan dari netizen. Pada 2-3 bulan
pertama direkrutlah 10 pengacara[6].
Awalnya banjir pesan DM, lalu banyak relawan profesional yang bergabung,
lama-kelamaan muncul kebutuhan untuk melembagakan KAKG supaya ada organisasi sehingga
penanganan kepada para korban menjadi lebih akuntabel, lebih sistematis, dan
profesional. Jika tidak demikian, orang-orang yang kirim ke DM tidak bisa dilacak
bagaimana perkembangannya. Hingga saat ini sudah ada sekitar
50 relawan bergabung di KAKG[7].



Dalam sebuah berita online
yang rilis Maret 2023[8]
disebutkan bahwa hingga saat itu, Veda dan teman-temannya telah menerima
> 150 aduan. Dari aduan-aduan
tersebut, sebanyak 80% di antaranya merupakan kasus kekerasan yang berkaitan
dengan teknologi. Layanan konsultasi KAKG ini bisa diakses melalui media sosial
KAKG melalui akun
Instagram dan Tiktok @advokatgender atau email konsultasi@advokatgender.org. Atas kepeduliannya itu,
Veda meraih penghargaan
SATU Indonesia Awards 2022 bidang kesehatan.



Konsultasi Media Sosial dan Email

Rentang usia klien KAKG
beragam, mulai dari
usia 12 tahun hingga 60 tahun yang berasal dari semua kelompok ekonomi. Dalam mendampingi korban
pelecehan seksual, KAKG tidak berada dalam posisi mengarahkan korban. Langkah
apa yang akan diambil, semuanya diserahkan kepada keputusan si korban itu
sendiri.

Untuk kasus-kasus yang sampai ke ranah hukum, hingga Juni 2023 sudah ada lima putusan pengadilan mempidana pelaku untuk kasus yang KAKG damping. Selain itu, KAKG sudah pula mendampingi sekitar 80 dari 150 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini serta sudah menjadi mitra pengada layanan Komnas Perempuan dalam penanganan perkara[9]



Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender

Setiap korban berbeda-beda
dalam mengambil keputusan, sampai di mana inginnya didampingi oleh KAKG. Tergantung
dari keputusan korban, apakah mantap sampai keputusan pengadilan maka KAKG akan
mendukung sampai keputusan pengadilan. Jika lebih memilih pemulihan psikis saja
karena merasa proses hukum terlalu berat dan bisa menghambat pemulihan psikis
ya di-support sampai di pemulihan psikologinya saja.



Jika ingin memulihkan
psikis maka KAKG memberikan rujukan kepada mitra psikolog yang bisa memberikan support
membantu korban mengurai situasinya sehingga akhirnya bisa lebih mantap dalam
mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi pelecehan seksual yang
dialaminya.



Salah satu tantangan dari
gerakan ini adalah dari aspek SDM karena KAKG belum bisa cover semua
wilayah Indonesia. Ketika ada kasus di luar pulau Jawa biasanya harus mencari
mitra di kota tersebut supaya menjadi pengacara bersama di dalam satu tim.
Tidak di semua kota ada mitra yang bisa menjadi partner[10].




Rekaman wawancara Radio Idola Semarang dengan Veda.

Meskipun tantangan SDM
tersebut cukup signifikan, Veda berharap agar lebih banyak lagi orang yang tahu
tentang apa yang dilakukan oleh Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender. Dirinya
berharap KAKG bisa menjadi alternatif untuk diajak bicara ketika korban tidak
tahu hendak berbicara pada siapa terkait tindak kekerasan seksual yang
dialaminya[11].



Mengingat dampak buruk
dari kekerasan seksual signifikan, saya ingin menitip asa juga melalui tulisan
ini. Semoga kabar baik mengenai Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender lebih diketahui
banyak orang sehingga lebih banyak korban KS terbantu dan makin
banyak advokat yang mau terlibat menjadi relawan agar kekerasan seksual bisa
dienyahkan dari Indonesia.



Makassar,
9 Agustus 2023




Catatan kaki:









[1] https://www.asumsi.co/post/58809/kenapa-korban-kekerasan-seksual-enggan-melaporkan-kasusnya/,
diakses 7 Agustus 2023, pukul 22:30.







[2] https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2023/assets/download/E-Book-SIA-2023-final.pdf,
diakses 8 Agustus 2023, pukul 18:19.







[3] KS: kekerasan seksual.







[4] https://hearthis.at/radioidolasmg/2023-03-20-ngobrol-bareng-justitia-avila-veda/, diakses 8 Agustus 2023, pukul 17:16.









[6] https://www.indonesiana.id/read/165505/justitia-avila-veda-kakg-dan-bantuan-hukum-bagi-korban-kekerasan-seksual,
diakses 8 Agustus 2023, pukul 18:38.







[7] https://hearthis.at/radioidolasmg/2023-03-20-ngobrol-bareng-justitia-avila-veda/,
diakses 8 Agustus 2023, pukul 18:41.







[8] https://www.radioidola.com/2023/mengenal-justitia-avila-veda-inisiator-program-sahabat-korban-kekerasan-seksual/,
diakses 8 Agustus 2023, pukul 17:13.

[9] https://www.indonesiana.id/read/165505/justitia-avila-veda-kakg-dan-bantuan-hukum-bagi-korban-kekerasan-seksual, diakses 8 Agustus 2023, pukul 19:38.







[10] https://hearthis.at/radioidolasmg/2023-03-20-ngobrol-bareng-justitia-avila-veda/,
diakses 8 Agustus 2023, pukul 18:47.







[11] Idem.





Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post