BUNGA TAMAN HATIKU 20
(Tien Kumalasari)
Bibik tersenyum ramah, karena pernah mengenal Bowo yang baik hati, dan telah menolong Nijah saat mau diperas oleh ayah tirinya.
“Bibik mau ke mana, kok sendirian?” tanya Bowo, yang pastinya berharap, bibik keluar bersama Nijah.
“Bibik cuma mau ke pasar, ada kebutuhan dapur yang harus saya beli.”
“Mana Nijah?”
“Dia sedang memasak, bersama non Ristia.”
“Siapa non Ristia?”
“Istri tuan Satria, yang pastinya mas Bowo pernah melihatnya saat keluar dari bank, lalu tuan Satria kebetulan lewat, lalu mengajak kami pulang.”
“Oh, dia.”
Sebenarnya Bowo pernah mendengar tentang Ristia, yang Nijah dulu pernah mengatakan bahwa dia tidak ramah kepada Nijah.
“Mas, saya sedang mencari becak, supaya segera sampai ke pasar.”
“Bibik berani mbonceng sepeda motor?”
“Mbonceng di situ?” tanya bibik sambil menunjuk ke arah sepeda motor itu.
“Iya, kalau berani, saya bonceng sampai ke pasar.”
“Baiklah, saya mau Mas.”
Bibik segera naik ke boncengan, tapi dia memegang pinggang Bowo erat sekali. Ia belum pernah membonceng sepeda motor, tapi ia bersedia melakukannya karena terdesak oleh waktu. Bahan dapur yang akan dibeli sangat ditunggu.
“Pelan-pelan saja ya Mas.”
“Iya, tenang saja Bik, yang penting bibik pegangan dengan erat. Ya kan?”
Bowo menghidupkan mesin motornya, lalu menjalankannya pelan. Ia sangat berhati-hati dalam berkendara karena tahu bahwa sebenarnya bibik agak takut.
Sesampai di pasar, bibik turun, dan mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum masuk ke dalam, Bowo menghentikannya.
“Bik, jam berapa biasanya Nijah beristirahat?”
“Biasanya setelah para majikan selesai makan siang. Itu saatnya kami beristirahat.”
“Bisakah nanti saya menemuinya?”
“Baiklah, nanti akan saya sampaikan. Setelah istirahat biar Nijah keluar sebentar.”
“Baiklah Bik, terima kasih.”
Bibik masuk ke dalam pasar, tapi Bowo masih menungguinya di luar. Bibik terkejut ketika Bowo masih menunggu, bahkan mengantarkannya sampai ke rumah.
Karena tergesa-gesa, bibik hanya sempat mengucapkan terima kasih dan tidak sempat berbasa basi, langsung bergegas masuk ke halaman dan menghilang di dalam sana. Bowo terpaksa pergi, tapi dia berharap bisa bertemu Nijah seperti bibik menjanjikannya.
***
Nijah dan Ristia sedang ada di dapur. Ristia tampak memetik sayuran yang akan direbusnya nanti, seperti bayam, dan kacang panjang yang kemudian diletakkannya di sebuah wadah.
“Sudah ini Jah, cukup begini saja?”
“Iya Non, biar saya cuci dahulu sebelum direbus,” kata Nijah sambil meraih sayuran tersebut, untuk dicucinya.
Kemudian dia mengambil panci yang sudah diisi air, diletakkannya di atas kompor.
“Itu untuk apa?”
“Untuk merebus sayur.”
“Kenapa tidak dimasukkan saja sekalian?” tanya Ristia yang tetap saja duduk di kursi dapur sambil bertanya-tanya.
“Airnya harus mendidih dulu, Non, baru sayurnya dimasukkan.”
“O, begitu, sebenarnya kita akan masak apa?”
“Nyonya ingin masak tumpang.”
“Apa itu, tumpang?”
“Seperti pecel, tapi sambalnya beda. Ini bibik sedang membeli bahan-bahan untuk membuat sambalnya.”
“Kacang tanah? Bukankah sudah ada yang jual sambal kacang yang sudah jadi?”
“Bukan Non, sambalnya dari tempe yang sudah setengah busuk.”
“Apa? Tempe setengah busuk, kenapa dimasak? Menjijikkan,” kata Ristia sambil mengernyitkan hidungnya.
Nijah tertawa sambil menyiapkan bumbu yang sudah tersedia.
“Memang iya. Tapi nanti kalau sudah jadi, Non pasti ketagihan.”
“Iih amit-amit deh, aku nggak mau makan sambal tempe busuk.”
“Nanti Non boleh merasakan kalau sudah matang. Sambal tumpang itu bukan hanya dibuat dari tempe busuk. Bumbunya macam-macam. Ada kencur, daun jeruk, bawang putih bawang merah pastinya, daun salam dan lengkuas. Lihat, sudah saya siapkan semuanya, nanti direbus dulu bersama tempenya. Sekarang menunggu bibik yang sedang belanja.”
Nijah memasukkan potongan kacang panjang yang sudah dicuci, kedalam air yang sudah mendidih.
“Jah, nanti setelah makan, jalan-jalan sama aku ya.”
“Siang-siang mau jalan-jalan ke mana Non? Panasnya bukan main.”
“Kan naik mobil?”
“Memangnya Non mau ke mana?”
“Pokoknya jalan-jalan. Beli makanan yang seger-seger. Rujak, es buah.”
“Kita kan bisa buat sendiri, Non.”
“Beda dong, buat sendiri sama beli di jalanan. Dulu setiap hari aku keluar rumah, sekarang kan jarang, jadi pengin keluar deh, tapi penginnya ngajak kamu.”
“Terserah Non saja, kalau begitu. Tapi kalau pekerjaan dapur sudah selesai ya. Kasihan bibik kalau kita pergi, sementara dapurnya masih berantakan.”
“Iya. Nggak apa-apa.
“Aduh, apa aku kelamaan? Cuma cari tempe busuk saja harus lari-lari ke pasar. Nyonya mendadak sih nyuruhnya, kalau nggak bisa bikin sendiri tempe busuknya,” kata bibik yang tiba-tiba saja sudah muncul diantara mereka.
Bibik segera meletakkan bahan masakan yang tadi dibelinya, begitu dia masuk ke dapur kembali.
“Bibik, kok cepat sekali kembalinya? Tadi naik apa?” tanya Nijah yang segera mengerjakan apa yang harus dimasaknya siang itu.
“Cepat ya? Kirain kelamaan.”
“Cepat dong Bik, kan belum ada satu jam Bibik perginya,” sambung Ristia.
“Iya benar, Bik. Belum satu jam.”
“Iya Jah, tadi aku ketemu mas Bowo, jadi aku diboncengin ke pasar, lalu menunggu sampai selesai, terus mengantarkan pulang.”
Nijah melongo mendengar cerita bibik.
“Siapa mas Bowo?” tanya Ristia.
“Itu, teman Nijah.”
“Kok Bibik bisa kenal sama teman Nijah?”
“Ketemu waktu kami pergi ke bank, Non,” kata bibik sambil berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci kaki tangannya.
“Ini tempe busuknya? Aku nggak mau ngupas ah, nanti tanganku bau,” kata Ristia.
“Ya sudah, biar saya saja Non, saya mengentas kacang panjangnya dulu, nanti kalau terlalu empuk juga nggak enak,” kata Nijah sambil mendekati kompor dan mengentas sayurnya.
“Aku ke kamar dulu ya, tolong aku nanti digorengin ayam saja, nggak mau sayur tumpangnya,” kata Ristia sambil menjauh.
“Ya, nanti Nijah gorengin,” kata Nijah.
“Jah, mas Bowo kepengin ketemu kamu,” bisik bibik setelah Ristia pergi.
“Apa? Kenapa mas Bowo ada di sini?”
“Aku juga nggak bicara banyak, soalnya kan aku beli tempenya sama bumbu lain, harus buru-buru. Mungkin dia sedang libur.”
“Jadi nggak ngomong apa-apa?”
“Cuma bilang kalau kepengin ketemu kamu siang nanti, setelah selesai makan siang.”
“Tapi pekerjaan kan masih banyak, nggak mungkin saya pergi menemui dia.”
“Nanti setelah majikan makan, biar aku yang membereskan dapur, kamu temui dia dulu, siapa tahu ada yang penting.”
“Apa bibik cerita tentang … aku … dan … tuan muda?”
“Tidak, mana sempat cerita, kan aku sedang terburu-buru.”
Nijah diam. Tangannya sibuk mengupas tempe, yang setelah dipotong-potong dimasukkannya ke dalam panci.
“Tapi rasanya aku tidak bisa menemuinya Bik, lupa bilang. Non Ristia mengajak aku pergi setelah makan.”
“Pergi ke mana?”
“Nggak tahu aku Bik, katanya pengin ngajak aku jalan-jalan.”
“Siang-siang, mau jalan-jalan ke mana?”
“Nggak tahu. Mana berani aku membantah Bik.”
“Waduh, kasihan sekali mas Bowo, pasti dia nanti menunggu kamu.”
“Setelah memasak aku akan mengabari dia, bahwa aku tidak bisa keluar siang ini.”
“Iya, terserah kamu saja, kalau bisa ya besok atau bagaimana, kasihan dia.”
Nijah berdebar. Seminggu lagi dia akan menikah dengan tuan muda, apa yang harus dikatakannya pada Bowo? Berterus terang? Atau merahasiakannya?
“Hei, jangan melamun, itu air di panci untuk apa?”
“Oh iya, untuk merebus bayamnya Bik,” kata Nijah terkejut. Pikirannya sedang galau memikirkan Bowo. Karena itu ia membiarkan bibik melanjutkan membumbui sambal tumpangnya.
***
Bowo belum pulang ke rumahnya. Ia menunggu siang untuk bertemu dengan Nijah. Ia masuk ke sebuah warung makan, karena haus dan sedikit lapar.
Akhir-akhir ini Bowo merasa bahwa sikap Nijah agak aneh. Ia selalu ingin buru-buru menutup pembicaraan saat dia menelpon, dengan berbagai alasan. Entah kenapa, Bowo merasa ada sesuatu yang terjadi pada Nijah. Ia mengkhawatirkannya. Ia sudah ngebut untuk segera bisa menyelesaikan kuliahnya. Soal pekerjaan itu gampang, karena ayahnya memiliki saham yang lumayan di sebuah perusahaan besar. Setelah itu ia akan menjemput Nijah dan menikahinya.
Semoga orang tuanya tidak akan menentangnya, walaupun Nijah gadis sederhana yang tak punya pendidikan tinggi. Bowo yakin, sebagai istri, Nijah tidak mengecewakan. Ia akan bicara baik-baik kepada mereka, nanti pada saatnya.
Bowo sedang menghirup segelas es jeruk yang dipesannya, ketika ponselnya berdering. Bowo berdebar, dari Nijah.
“Ya Jah? Kamu sudah selesai?”
“Belum Bowo, baru selesai masak.”
“Bukankah nanti kita bisa bertemu?”
“Bowo, aku minta maaf, siang ini non Ristia mengajak aku keluar, jadi tidak bisa menemui kamu. Kok kamu ada di sini?”
“Aku libur dua hari, memerlukan pulang karena ingin bertemu kamu.”
“Bowo, aku kan bekerja, dan pekerjaan pembantu itu tidak ada jam kerjanya seperti kalau bekerja kantoran.”
“Iya, aku tahu. Tapi tadi bibik menjanjikan akan meminta kamu keluar setelah pekerjaan kamu selesai.”
“Bibik juga berkata begitu, tapi sayangnya non Ristia sudah terlanjur mengajak aku terlebih dulu, aku mana berani menolaknya?”
“Kalau malam?”
"Kalau malam, tidak enak dong Bowo, ini bukan rumah aku.”
“Oh ya, aku tadi lewat rumah kamu, tapi rumah itu sedang direnovasi. Kata tetangga di situ, ayahmu telah menjualnya.”
“Apa?”
“Iya, itu benar. Sudah beberapa bulan yang lalu dijualnya.”
“Ya Tuhan, kebangetan dia itu.”
“Apa kamu ingin mengusutnya? Bukankah itu rumah almarhumah ibu kamu?”
“Benar, tapi biarkan saja. Aku lelah berurusan sama dia. Biar saja dia mengambilnya dan menghabiskan uangnya. Aku ikhlas,” kata Nijah sendu. Sedih karena tak bisa mempertahankan rumah peninggalan ibunya.
“Jadi kapan kita bisa bertemu?”
“Besok siang saja, nanti aku kabari, ini aku harus menata meja untuk makan siang.”
“Baiklah, soalnya besok sore aku sudah kembali.”
Nijah menutup ponselnya dengan sedih. Bukan hanya sedih karena rumah ibunya sudah menjadi milik orang lain, entah bagaimana cara ayahnya melakukannya, tapi juga sedih karena harus berterus terang kepada Bowo tentang dirinya yang hampir menikah dengan tuan mudanya.
***
Di ruang makan siang hari itu, Ristia heran melihat ayah, ibu mertua dan suaminya menikmati sayur tumpang yang dimasak bibik, dengan sangat lahap. Karena penasaran, Ristia menyendoknya sedikit dan mencicipinya.
“Kenapa kamu itu? Belum pernah makan nasi tumpang?” tanya bu Sardono.
Ristia menggeleng, sambil mengecap sesendok sambal tumpang yang diambilnya.
“Hm, kok enak. Rasanya unik, tapi enak.”
“Tuh kan, aku bilang apa? Tapi enaknya, kalau makan harus pakai sayurnya ini. Baru diatasnya di siram sambalnya.”
Ristia menuruti saran ibu mertuanya, dan harus mengakui bahwa makan di siang hari itu terasa nikmat. Sayur tumpang, dia mengingat-ingat, dan akan membeli di luaran nanti pada saatnya. Sedikitpun ia tak ingin memasaknya sendiri. Di dapur, yang katanya dia belajar memasak, hanya mau memetik sayur sambil duduk, dan bertanya ini itu tanpa mengerjakannya. Itu bukan keinginannya. Walau begitu dia berusaha terus bersikap manis pada Nijah.
“Oh ya, Mas, setelah makan aku mau mengajak Nijah jalan-jalan,” kata Ristia kepada suaminya.
“Ke mana?”
“Jalan-jalan saja. Aku yakin Nijah akan senang kalau aku mengajaknya keliling kota. Ya kan Jah?” katanya kemudian kepada Nijah yang duduk di sebelah kiri suaminya.
“Iya.”
“Mengapa wajahmu murung Jah? Kamu tidak lagi sakit kan?” tanya Satria tiba-tiba.
Nijah menoleh ke arah Satria, dan menggeleng pelan.
“Kamu capek, barangkali? Kalau capek ya istirahat saja, tidak usah pergi ke mana-mana,” sambung bu Sardono.
“Tidak apa-apa Nyonya, saya baik-baik saja.”
“Bertemu bapak tirinya, barangkali, lalu dia minta uang?” tanya pak Sardono.
“Tidak, Tuan.”
“Tadi Supri bilang bahwa sudah dua hari Biran tidak masuk kerja,” kata bu Sardono.
“Oh ya?”
“Supri menggantikannya, jadi dua hari dia tidak pulang.”
“Nanti aku suruh sopir ke rumahnya. Barangkali dia sakit.”
“Rumahnya sudah dijual Tuan,” kata Nijah tiba-tiba.
“Apa? Rumah sudah dijual?”
“Ada yang bilang, rumah itu sudah dibangun, dan sudah menjadi milik orang.”
“Berarti dia tidak masuk kerja karena menghabiskan uang penjualan rumah itu.”
“Sepertinya sudah lama dijualnya, barangkali juga uangnya sudah habis.”
“Itu rumah ayahmu?”
“Sebenarnya itu rumah peninggalan ibu saya.”
“Kalau begitu urus dong, kamu berhak atas rumah itu.”
“Biarkan saja Tuan, saya sudah lelah memikirkan bapak.”
Tiba-tiba bibik bilang, ada Supri ingin menghadap.
“Suruh dia ke sini saja. Tawari dia makan, nanti."
Supri sang penjaga datang, lalu duduk di kursi yang biasanya diduduki Nijah.
“Ada apa Pri?”
“Mohon maaf Tuan, tadi ada polisi menemui saya, mengatakan bahwa Biran ditangkap polisi karena membunuh orang.”
Nijah terkejut, semuanya juga terkejut.
***
Besok lagi ya.