BUNGA TAMAN HATIKU 13

 BUNGA TAMAN HATIKU  13

(Tien Kumalasari)

 

Nijah ingin mengucapkan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia tetap berdiri dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi kemudian ia memberanikan diri menyapanya.

“Non … kenapa?” katanya lirih.

Ristia masih terisak, tapi kemudian mengangkat kepalanya. Ditatapnya gadis lugu bermata teduh itu, kemudian ia meraih tissue yang ada di depannya. Nijah membantu meraihnya karena letaknya agak jauh dari jangkauan.

“Pergilah.”

“Minumlah dulu, agar Non merasa tenang,” kata Nijah lagi.

Suara sejuk itu sedikit menenangkannya. Ia meraih gelas dan meneguknya perlahan. Nijah masih berdiri di tempatnya.

“Pergilah,” kata Ristia lagi, dengan pelan.

Nijah tak mau mengganggunya, atau tak ingin mendengar suara pelannya menjadi lebih keras, sehingga dia memilih pergi.

Di dapur, bibik bertanya.

“Ada apa?” bibik berbisik.

Nijah hanya mengangkat bahu.

“Pagi ini dia tidak berteriak minta minum.”

“Menangis di sana, tapi saya tidak mengerti mengapa. Mungkin bertengkar dengan suaminya,” jawab Nijah berbisik.

Mereka mengerjakan pekerjaan dapur dan berbicara dengan berbisik-bisik. Keadaan tak biasa itu membuat mereka heran.

Tak lama setelah itu, bibik melongok ke arah ruang makan, tapi Ristia sudah tak ada lagi di sana. Minuman yang tadi disajikan masih tersisa separo, dan roti bakar itu tak disentuhnya.

Bibik mengambil gelas dan roti itu, dibawanya ke belakang.

“Masak apa hari ini Bik?” tanya bu Sardono yang tiba-tiba sudah ada di dapur.

“Mau masak kare ayam, Nyonya.”

“Wah, enak. Buat juga perkedel kentang.”

“Baik Nyonya.”

“Ini, aku mau menyerahkan ini. Ini untuk bibik, dan ini untuk Nijah,” kata bu Sardono sambil menyerahkan amplop kepada kedua pembantunya.

“Terima kasih, Nyonya,” kata bibik.

“Nyonya, saya tidak usah diberi uang,” kata Nijah sambil mengacungkan kembali amplopnya ke arah nyonya majikannya, setelah membuka amplopnya dan melihat ada uang ratusan berlembar-lembar di dalamnya.

“Apa maksudmu Nijah? Kamu sudah bekerja, dan kamu berhak mendapatkan gaji setiap bulannya. Aku baru sempat mengambil uangnya kemarin, jadi agak terlambat beberapa hari.”

“Tapi Nyonya sudah memberi saya tempat yang nyaman, dan makan serta minum yang cukup. Bahkan juga pakaian.”

“Nijah. Itu memang sudah seharusnya. Kamu boleh makan dan minum sepuas kamu, tapi kamu juga berhak atas uang ini,” bu Sardono mengangsurkan kembali amplop itu.

“Terima saja Jah, memang setiap bulan nyonya selalu memberi untuk kita,” kata bibik kepada Nijah.

Nijah memegang amplop itu. Gemetar tangannya karena belum pernah menerima uang sebanyak itu.

“Bik, ajak Nijah ke bank seperti kamu melakukannya. Dia bisa menyimpan uangnya di sana, dan mempergunakannya ketika dia membutuhkannya. Ajarkan semuanya, kalau Nijah belum mengerti.”

“Baik, Nyonya.”

“Nanti setelah memasak, kalian boleh pergi ke bank.”

“Baik. Terima kasih, Nyonya.”

Nijah termangu dengan masih memegang amplop itu. Bibik menggamit lengannya, dan menariknya agar duduk.

“Nijah, nanti kita ke bank, simpan saja uang kamu di bank, jadi lebih aman. Kalau kamu butuh sewaktu-waktu, kamu bisa mengambilnya, dengan kartu. Dulu aku tidak mengerti, tapi tuan Satria mengajari aku, ketika pertama kali aku diminta oleh nyonya agar menyimpan uang gaji aku di bank,” terang bibik.

Nijah mengangguk. Ia pernah ikut belanja salah seorang tetangganya, yang sebelumnya mengambil dulu uang di bank dengan sebuah kartu. Tetangganya bilang, itu namanya kartu ATM. Tapi Nijah belum pernah tahu bagaimana cara mendapatkan kartu itu, apa lagi cara mengambilnya. Bahkan ia tak pernah punya uang untuk bisa disimpan di sana seperti tetangganya tersebut.

***

Ristia melangkah keluar, melewati bu Sardono yang sedang menikmati siaran televisi di ruang tengah. Tapi tak sedikitpun dia menoleh ke arah ibu mertuanya. Ia merasa, bahwa perubahan sikap suaminya adalah karena hasutan sang ibu mertua.

Ia terus melangkah dan menghampiri mobil, yang setiap hari telah disiapkan sopir keluarga, di halaman.

Bu Sardono melongok sekilas, tapi membiarkannya. Ristia sudah biasa berlaku tidak hormat kepada kedua mertuanya.

Ristia memacu mobilnya kencang, kemudian berhenti di sebuah cafe. Ia mengenakan kaca mata hitam untuk menutupi sembab di wajahnya.

Ia duduk dan memesan minuman, serta dua potong roti bakar. Saat di rumah dia belum sempat memakannya. Hatinya begitu resah, memikirkan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah.

Seseorang menghidangkan pesanan Ristia, lalu duduk di depannya. Ristia terkejut, Andri, teman kuliahnya, pemilik cafe itu, menghidangkan sendiri pesanan Ristia.

“Apa yang terjadi?” tanya Andri.

Ristia mengangkat wajahnya.

Walau tersembunyi di balik kaca mata hitamnya, wajah pucat itu tetap saja kelihatan.

“Ada masalah dengan suami kamu?” tanya Andri lagi.

Ristia menghela napas panjang. Ia meneguk coklat hangat yang dipesannya.

“Suamiku mau menikah lagi,” ucapan yang meluncur itu mengejutkan Andri.

“Kamu bercanda?”

“Itu benar. Semalam dia mengatakannya.”

“Satria itu lelaki setia. Tak mungkin dia berpaling. Dia susah ditundukkan, bahkan gadis tercantik di kampus tak berhasil merebut hatinya. Hanya kamu yang dipilihnya. Bagaimana mungkin sekarang dia ingin menikah lagi? Perempuan mana yang bisa merebut Satria dari tanganmu?”

“Entahlah. Dia tidak mengatakan akan menikah dengan siapa. Dia hanya bilang bahwa dia menginginkan anak. Dan aku tidak bisa memberikannya."

“Ooh ….” Andri mengangguk mengerti.

"Jadi bukan karena dia selingkuh?”

“Aku juga tidak tahu. Mungkin dia sudah tertarik kepada seseorang, tapi mungkin juga dia ingin melakukannya karena desakan ibu dan ayahnya.”

Andri menatap Ristia dengan iba. Dulu dia mencintai gadis di depannya itu, tapi Ristia memilih Satria yang lebih ganteng dari padanya. Atau mungkin juga lebih kaya, entahlah. Yang jelas Andri kalah bersaing. Sekarang gadis pujaannya itu terlihat murung di depannya.

“Kalau saja kamu dulu memilih aku,” gumam Andri.

“Setiap lelaki ingin wanita yang sempurna. Demikian juga para mertua. Aku tidak akan bisa melahirkan seorang anakpun. Barangkali kalau Satria tahu sebelumnya, maka dia tak akan mau menikahi aku.”

“Apa yang akan kamu lakukan? Meminta cerai? Kalau kamu bercerai maka aku akan menerima kamu, dengan segala kekurangan yang kamu miliki,” kata Andri bersungguh-sungguh.

Ristia tersenyum getir. Mana mungkin dia akan meninggalkan Satria yang memiliki harta berlimpah ruah? Kemewahan yang melingkupi hidupnya sungguh tak mampu dilepaskannya.

“Berat ya meninggalkan suami kamu, walau nantinya kamu akan dimadu?”

“Aku sangat mencintainya.”

“Tapi sakit lhoh, hidup dimadu.”

“Yang ingin aku lakukan adalah menyingkirkan wanita yang entah siapa itu. Maukah kamu membantu aku?”

Andri mengangguk. Rasa cintanya pada Ristia belum pernah berakhir. Ia bahkan tak mau menikah hanya karena selalu memikirkan Ristia.

“Temukan dulu siapa perempuan itu, nanti kita bicara lagi.”

***

Bu Sardono sedang duduk di kursi dapur, menunggui bibik dan Nijah yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia mencomot perkedel kentang yang sudah ditata di piring.

“Enak,” gumamnya.

“Kamu tahu Nijah, aku suka sekali perkedel kentang. Terkadang bukan untuk lauk makan, tapi untuk cemilan.”

Nijah tersenyum melihat nyonya majikannya mencomot perkedel itu satu demi satu.

“Tidak apa-apa, Nyonya, saya sudah tahu, makanya menggoreng banyak,” kata bibik.

“Oh ya? Terima kasih Bik. Rupanya kamu sudah selesai masaknya, Bik?”

“Sudah Nyonya.”

“Bukannya kamu mau mengajak Nijah ke bank?”

“Benar, Nyonya, saya bereskan dulu semuanya. Biar Nijah menatanya di meja makan. Tuan Satria sekarang sering pulang untuk makan siang di rumah.”

“Iya, anak itu, nggak tahu kenapa, sekarang sering pulang saat makan siang. Barangkali cocok dengan masakan Nijah,” kata bu Sardono.

Nijah tersipu malu.

“Ya bukan Nyonya, sebagian besar masakan kan Bibik yang memasak, saya hanya membantu,” Nijah merendah.

“Ya enggak, kamu juga selalu memberi bumbunya.”

“Kalian ini pasangan serasi dalam memasak, aku suka, dan seisi rumah ini juga suka. Terbukti Satria sering makan siang di rumah pula.”

“Syukurlah Nyonya.”

“Kamu tahu Bik? Aku dan ayah Saria, minta agar Satria menikah lagi.”

Bibik dan Nijah menghentikan pekerjaannya, menatap sang nyonya majikan tak percaya.

“Itu benar. Bukan hanya karena Ristia itu mengecewakan, tapi karena kami juga ingin memiliki cucu.”

“Tapi tuan Satria sangat mencintai non Ristia, pasti susah.”

“Tidak Bik, Satria sudah mau. Rupanya dia sudah punya pilihan.”

“Itukah sebabnya, mengapa non Ristia menangis di ruang makan tadi pagi.”

“Masa sih Bik, aku kok tidak tahu.”

“Kelihatannya, waktu itu Nyonya sedang berjalan-jalan di kebun bunga.”

“Ya pastilah dia terluka, tapi dia harus belajar untuk menerima, dan menyadari kekurangannya. Toh Satria tidak ingin menceraikannya. Biarkan saja, semoga semuanya akan baik-baik saja.”

“Oh ya, Nyonya? Pasti dia cantik dan pintar,” kata bibik, sementara Nijah mengambil piring untuk ditata di meja makan.

“Katanya, dia cantik, rajin, pintar, santun, walaupun tidak berpendidikan tinggi. Tapi aku juga belum tahu bagaimana gadis itu, Satria belum mengatakannya.”

“Yang penting dia baik. Bibik ikut senang, kalau keluarga ini bahagia.”

“Iya Bik. Ya sudah, kalau kalian sudah selesai, segera berangkat saja, nanti kesiangan, bank nya malah tutup.”

“Iya Nyonya. Nanti semua akan saya tata di meja makan sekalian, jadi kalau sewaktu-waktu Nyonya atau tuan Satria ingin makan, semuanya sudah siap.”

“Mungkin masih satu jam an lagi Satria pulang, kalau memang dia ingin makan di rumah."

***

Nijah dan Bibik sedang duduk menunggu antrean di bank, dimana mereka akan menyimpan uangnya. Bibik tak henti-hentinya membicarakan Satria yang akan menikah lagi.

“Aku tidak mengira tuan Satria mau menikah lagi. Aku pikir dia sangat mencintai istrinya, mana mungkin tega memberinya seorang madu.”

“Iya, ya Bik. Dan itu sebabnya tadi non Ristia menangis di ruang makan.”

“Apa dia mengatakan sesuatu?”

“Tidak, saya hanya bertanya, kenapa. Tapi dia menyuruh saya pergi. Herannya saya, dia tidak mengatakannya dengan kasar.”

“Mungkin karena dia sedih.”

“Ya sedih dong Bik, suaminya mau menikah lagi. Tapi semoga semuanya baik-baik saja.”

“Yang jelas, non Ristia tidak bisa melahirkan seorang anak, sementara majikan kita hanya punya seorang putra. Wajar kalau punya keinginan seperti itu.”

“Semoga istri barunyaa nanti baik, dan selalu bersikap manis sama kita ya Bik.”

“Semoga saja Jah. Dan dengan begitu, non Ristia juga bisa merubah sikap kasarnya."

“Nijah!! Ternyata betul, itu kamu.”

Suara itu mengejutkan Nijah dan bibik. Biran tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan mereka. Wajah Nijah langsung pucat. Pasti ayah tirinya akan meminta uang. Tanpa diminta Biran sudah duduk di samping Nijah.

“Kamu ngapain di sini?”

“Mengantar bibik.”

“Kamu sudah bekerja lebih sebulan, pasti kamu sudah punya uang.”

“Biran, anakmu sudah bekerja sendiri, sebaiknya kamu jangan mengganggunya lagi,” kata bibik yang kesal melihat Biran, yang sudah dapat diduga apa maksudnya.

“Bibik jangan ikut campur ya, ini antara anak dan bapak,” jawab Biran dengan marah.

“Aku tahu kamu akan mengganggu Nijah.”

“Bukan mengganggu, Nijah adalah anakku, sudah sepantasnya kalau dia memikirkan bapaknya yang miskin ini. Ya kan Jah?”

“Bapak mau apa?” tanya Nijah pada akhirnya.

“Kok tanya sih Jah? Kamu bisa bekerja itu karena bapakmu ini. Jadi sudah sepantasnya kalau kamu memberikan sebagian uang kamu.”

“Kamu memang keterlaluan. Bukankah kamu juga bekerja sendiri?”

“Bik, aku kan sudah bilang, bibik tidak usah ikut campur. Ini antara bapak dan anak. Kok bibik sewot sih.”

“Nijah anak baik dan penurut, dia harus dilindungi.”

“Dilindungi dari apa? Apakah saya ini penjahat?”

Karena tak ingin ramai dan menjadi perhatian banyak orang, Nijah memberikan uang seratus ribu kepada bapaknya, kemudian berdiri. Bibik menarik tangan NIjah, lalu mengajaknya keluar dari ruangan.

Tapi Biran mengikutinya.

“Jah, kenapa hanya seratus? Lagi dong.”

Nijah tak menjawab, ia terus melangkah, menuruni tangga menuju keluar dengan cepat, karena bibik menariknya. Tapi tak mau kalah, Biran terus mengikutinya.

“Nijah, kamu tidak bisa lari, aku tidak akan berhenti sampai kamu memberi uang lagi sama aku,” ancam Biran.

Nijah ingin membuka lagi dompetnya, tapi bibik mencegahnya

“Hei, dengar apa tidak? Kamu itu anakku!” kata Biran berteriak marah.

Dengan nekat dia mencoba merebut dompet yang Nijah bawa, tapi sebuah tangan kekar menahannya.

***

Besok lagi ya.




 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post