BUNGA TAMAN HATIKU 02

 BUNGA TAMAN HATiKU  02

(Tien Kumalasari)

 

Laki-laki setengah tua itu tampak tak sabar menunggu. Nijah sudah keluar dari kamarnya ketika ia kembali berteriak.

“Nijaaaah!”

“Ya, Pak, ini aku,” katanya pelan.

“Ngapain sih, dipanggil lama sekali?” hardiknya.

“Aku sudah tidur.”

“Malas. Jam berapa ini. Masih sore sudah tidur.”

“Bapak mau menyuruh apa?”

“Duduk!” perintahnya kasar.

Nijah menahan kekesalan hatinya, duduk di hadapan ayah tirinya dengan mata mengantuk. Ia sedang menguap ketika Biran menyentaknya sambil menepuk meja di depannya, keras. Nijah terlonjak kaget.

“Kalau lagi diajak bicara orang tua itu jangan menguap.”

Nijah menahan kemarahannya. Bagaimana sih, menguap bisa ditahan ya? Tapi Nijah diam saja. Matanya meredup, ingin menunjukkan bahwa dia mengantuk.

“Aku ingin bicara.”

Nijah mengangkat wajahnya. Tak biasanya ayah tirinya mengajak bicara secara serius seperti malam ini. Biasanya dia hanya memerintah ini dan itu.

“Kamu punya uang?”

Tuh kan, bagaimana laki-laki tak tahu diri itu bisa mengira Nijah punya uang? Uang dari mana ? Yang menjadi ayahnya saja tak pernah memberinya uang?

“Hei!! Aku bertanya sama kamu!!”

“Uang? Dari mana Nijah punya uang?”

“Kamu pikir aku tidak tahu, bahwa kamu bekerja hampir setiap hari?”

“Hanya cukup untuk makan Pak, kan tidak setiap hari ada yang nyuruh-nyuruh Nijah melakukan sesuatu.”

“Sekarang kamu punya uang tidak?”

“Mau buat beli makan besok.,” jawabnya dengan wajah paling buruk yang bisa ditampakkannya.

“Mana?”

“Apanya?”

“Uangnya! Bodoh sekali kamu itu.”

“Mau Bapak minta?”

“Iya lah, kalau tidak, kenapa aku harus bertanya?” katanya tanpa malu.

“Kalau Bapak minta, aku besok makan apa?”

“Sudah, jangan banyak cerewet. Mana uangnya?” hardiknya tak sabar.

“Hanya sedikit,  Bapak minta juga? Bukankah harusnya Bapak memberi aku uang untuk makan, bukannya malah minta uang aku,” kata Nijah dengan berani.

Nijah memang tak pernah takut. Ia menurut kalau disuruh-suruh, tapi kalau si Bapak minta uang, dia akan menentangnya.

Mendengar jawaban Nijah, Biran sangat marah. Matanya yang sudah merah karena mabuk, bertambah merah seperti darah. Nijah berdiri, ingin meninggalkan Biran yang menatapnya dengan mata menyala.

“Heeiii!”

Nijah tak berhenti. Biran memburunya, dan menarik tangannya. Nijah meronta, mempergunakan sikutnya untuk menyodok perut Biran. Biran meringis kesakitan.

“Heiii!”

Nijah masuk ke dalam kamar, Biran memburunya sambil memegangi perutnya.

“Dimana kamu menyimpan uang?”

Nijah tak menjawab.

Biran mendekati almari kayu yang sudah usang dan tak lagi ada kuncinya. Wadah kunci di pintunya juga sudah bolong.

“Jangan Pak!”

Biran tak peduli. Ia membuka almari dan mengaduk aduk pakaian yang hanya beberapa lembar, yang ada di dalam almari itu.

“Jangan Pak, itu untuk makan saya.”

Nijah memburunya, memegangi tangan Biran yang sudah menemukan sebuah dompet lusuh tempat menyimpan uang.

“Jangan Paaak,” Nijah memekik sambil berusaha merebut dompet itu. Tapi NIjah hanyalah gadis kecil kurus yang tak sepadan dengan tubuh Biran yang tinggi besar. Dengan sekali mengibaskan tangan, Nijah terjengkang. Lalu Biran keluar sambil membawa dompetnya. Diluar pintu dia membuka dompet itu dan berteriak.

“Pembohong. Ada seratus ribu di sini, kamu bilang kalau tak punya uang.”

Biran membuang dompetnya sembarangan, setelah memasukkan uangnya ke dalam saku. Tanpa peduli Nijah yang meraung-raung, Biran melangkah keluar, tapi tiba-tiba matanya menatap sesuatu yang tersampir di sandaran kursi. Ia belum pernah melihat benda itu. Sebuah jacket yang bagus, dengan enteng dia meraihnya dan mengenakannya. Bibirnya tersenyum bagai senyuman iblis. Ia melangkah keluar, lalu menutup pintunya dengan keras. Derak pintu itu terdengar seperti mengiris perasaannya. Sambil  merangkak, Nijah membuka pintu, dan melihat dompetnya tergeletak dilantai. Nijah meraihnya, kosong. Seperti hatinya yang tiba-tiba merasa kosong. Air matanya bercucuran, sambil masih bersimpuh di lantai.

Nijah masih terduduk di lantai yang sudah retak di sana-sini, ketika suara guntur tiba-tiba terdengar,  menghentakkan isi dadanya, membuat hatinya semakin ciut.

“Ibuu, hidup seperti apakah yang menimpaku ini? Mengapa Ibu tidak membawaku saja bersama Ibu?”

***

Matahari mengintip diantara awan yang masih menggantung tipis. Udara terasa dingin dan lembab. Sinarnya terasa lemah dan tak mampu menghangatkan tubuh yang nyaris beku.

Rumah Nijah masih tertutup rapat. Teras di depan rumah masih tampak basah, dan ada genangan air di sana-sini. Hujan lebat selalu membuat teras itu basah terkena air, dan selalu menggenang di lantai yang berlubang-lubang. Biasanya Nijah sudah bangun dan mengeringkannya, juga mengeringkan lantai di rumah itu yang terkena tetesan hujan.

Sebuah sepeda motor memasuki halaman. Seorang laki-laki berwajah bersih dan tampan melepaskan helmnya, lalu melangkah mendekati rumah. Ia menatap ke sekeliling. Ada pohon jambu yang dulu selalu menjadi rebutan dirinya dan teman-temannya saat sedang berbuah. Pohon itu masih ada. Tapi ia melihat genangan-genangan air yang bukan hanya di pelataran rumah, tapi juga di teras. Ada perasaan aneh dihati Bowo, yang pagi itu datang untuk memenuhi janji.

Ia ingin mengajak Nijah berjalan-jalan. Entah mengapa, melihat Nijah, ingatannya melayang ke saat-saat manis dimasa kecil mereka. Bercanda, bermain, bahkan bertengkar. Nijah yang pintar itu sedikit galak, tapi hal itu selalu menarik hati Bowo untuk lebih sering menggodanya. Ketika bertemu di teras mini market itu, Bowo agak terkejut melihat penampilannya yang lusuh. Walau begitu Bowo masih bisa menangkap kecantikannya yang tersembunyi. Ada debar aneh yang dirasakan Bowo, ketika mengajaknya duduk di kedai yang ada di dalam mini market itu. Bowo menyukai mata bintang yang dulu begitu galak menyerangnya setiap dia mengganggunya. Sekarang mata bintang itu redup, tapi masih membuatnya terpesona.

Ia berdiri di depan teras.Tak ada bel tamu di rumah itu, Bowo berteriak memanggilnya.

“Nijah!!” ia mengulanginya beberapa kali, tak ada jawaban.

Bowo memberanikan diri mendekati pintu, tampak tak terkunci.

“Nijah,” dia memanggilnya lagi sambil kepalanya melongok ke dalam.

Tak ada jawaban, tapi tiba-tiba Bowo mendengar suara, seperti sebuah keluhan.

Bowo membuka pintunya lebih lebar, kakinya melangkah masuk. Betapa terkejutnya ketika ia melihat seseorang tergeletak di lantai. Dia Nijah. Bowo memburunya dengan perasaan cemas.

“Nijah!”

Tubuh itu bergerak pelan, Bowo menjamah lengannya yang terasa dingin.

“Kenapa kamu tiduran di lantai?”

Bowo berusaha menarik tangannya. Nijah terduduk, tapi kemudian tubuhnya kembali terguling. Bowo menangkapnya, dan meletakkan kepala Nijah pada lengannya.

“Nijah, kamu kenapa?”

Bowo mengangkatnya karena lantai terasa sangat dingin. Ia ingin membawanya ke sebuah kamar yang pintunya terbuka, tapi diurungkannya. Ia melihat sebuah kursi panjang, lalu meletakkan tubuh Nijah di kursi itu. Tak ada bantalan kursi yang terasa keras, lalu Bowo memaksakan diri memasuki kamar, mengambil sebuah bantal, lalu diletakkannya di bawah kepala Nijah.

Nijah terkulai. Ia tampak lemah.

“Apa yang terjadi?”

“Pergilah, ambil jacketmu, maaf aku tidak sempat mencucinya,” bisiknya lemah.

“Mengapa memikirkan jacket? Adakah air hangat di rumah?” Bowo melangkah ke arah belakang, ia melihat sebuah termos usang, mengangkatnya, dan merasa lega karena termos itu berisi. Ia mencari sebuah gelas, lalu menuangkan airnya ke gelas itu, kemudian membawanya ke depan.

“Minumlah, tidak terlalu panas, tapi lumayan, bisa menghangatkan tubuhmu.”

Bowo mengangkat kepala Nijah, lalu meminumkan air hangat itu.

“Jacket kamu. Oh, mana dia, kemarin aku letakkan di sandaran kursi itu,” mata Nijah mencari-cari.

“Bedebah itu telah mengambilnya. Ya Tuhan …” keluhnya sambil kembali menitikkan air matanya.

Bowo tertegun. Siapakah yang dimaksud dengan ‘bedebah’?”

“Bagaimana aku harus menggantinya, uangku saja diambilnya semua.”

Air mata Nijah mengalir lagi.

Bowo sedang mencari jawab atas semua yang dilihat dan didengarnya.

“Ayah tiri kamu?”

Nijah mengangguk. Diam-diam Bowo mengamati Nijah dari ujung kepala sampai ke kaki. Bayangan mengerikan melintas. Cerita yang didengarnya tentang seorang gadis diperkosa ayah tirinya,  membuatnya merinding. Matanya menyala penuh amarah.

“Apakah dia … dia … memperkosa kamu?” suara Bowo bergetar. Satu hal yang akan dilakukannya adalah mencari lelaki itu dan menghajarnya.

Bowo merasa lega ketika melihat Nijah menggeleng.

“Oh ….”

Bowo menarik napas panjang. Ia tak ingin bertanya banyak. Keadaan Nijah membuatnya tak ingin mengajukan banyak pertanyaan. Yang ingin dilakukannya adalah mencari makanan.

“Jah, tunggu sebentar di sini,” katanya sambil beranjak pergi.

Nijah ingin mengatakan sesuatu, tapi Bowo sudah menghilang di balik pintu.

Nijah mencoba bangkit perlahan. Air putih hangat tadi sedikit banyak membantunya menghimpun kekuatannya kembali. Ia menangis semalaman, meringkuk di lantai sambil memanggil-manggil nama ibunya. Tubuhnya sampai lemas, kehilangan tenaga. Kecuali itu hujan semalam membuatnya kedinginan, dan guntur yang bersahutan, membuatnya miris. Ia setengah tidur dan merasa tak bertenaga, ketika tiba-tiba mendengar suara Bowo.

Sekarang Nijah mencoba duduk. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari Jacket Bowo yang sejak di kedai kopi itu dikenakannya. Seingatnya dia menyampirkannya di sandaran kursi. Pikiran buruk sudah menerjangnya sejak tadi. Perlahan dia berdiri, dan merasa lebih kuat. Dia mengitari seluruh rumah, bahkan di dalam kamarnya atau kamar ayah tirinya, jacket itu benar-benar tak ada.

“Benar. Pasti dibawa oleh bedebah itu.” Nijah mengeluarkan kata kasar berkali-kali, karena tak kuat menahan kemarahannya.

“Ya Tuhan, bagaimana aku harus menggantinya,” gumamnya sedih sambil berlinang air mata. Sepeserpun ia tak punya uang. Nijah kembali duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terus meratapi kemalangannya, sampai kemudian Bowo sudah ada di depannya, dengan membawa bungkusan.

“Nijah, aku beli nasi untuk sarapan, dan wedang jahe yang hangat.”

Nijah mengangkat wajahnya.

“Syukurlah kamu sudah bisa bangun. Ini, minumlah dulu,” kata Bowo sambil mengulurkan segelas plastik minuman hangat.

“Ini wedang jahe, agar tubuhmu menghangat.”

Nijah terharu. Saat ia merasa benar-benar tak berdaya, Bowo datang menguatkannya. Tapi … jacket itu bagaimana? Begitu ingat akan jacket Bowo yang lenyap tak berbekas, hati Nijah terasa sedih.

“Ayolah, minum dulu.”

“Bagaimana … aku bisa mengganti jacket itu? Pasti harganya sangat mahal, aku tak punya uang sepeserpun. Dia mengambil semuanya,” Nijah kembali terisak.

“Lupakan jacket itu, minum wedang hangat itu, kemudian makanlah, ayo aku temani, aku juga belum sarapan.

Nijah meraih gelas plastik itu, membuka dan menghirupnya pelan. Rasa pedas-pedas hangat merayapi tenggorokannya.

“Enak?”

“Terima kasih, Bowo. Kenapa kamu melakukan ini semua?”

“Karena kamu adalah temanku. Sekarang jangan banyak bicara. Banyak makan saja, supaya tubuhmu kuat. Atau, kamu merasa sakit? Aku antar ke dokter ya?”

Nijah menggeleng keras.

“Aku baik-baik saja.”

“Tadi tubuhmu sangat dingin. Apakah semalaman kamu tidur di lantai?”

Nijah tak ingin menceritakan semua derita yang disandangnya. Tapi Bowo terlalu baik, perlahan, sambil menyuapkan makanan, dia menceritakan semuanya.

Bowo menggeleng-gelengkan kepalanya. Geram mendengar perlakuan Biran kepada ibu Nijah dan kepada Nijah sendiri.

“Kenapa kamu tidak lari saja dari rumah?”

“Rumah ini milik almarhumah ibuku.”

“Kalau begitu jual saja rumah ini, kamu bisa mempergunakannya untuk modal, dan pergi jauh dari sini.”

Nijah tersenyum pahit.

“Biran telah menggadaikan surat rumah ini.”

“Ya Tuhan. Ke mana dia menggadaikannya?”

“Aku tidak tahu. Dia tak mungkin mengatakannya. Lagi pula kalau tidak salah, dia sudah membalik namakan rumah ini atas dirinya sendiri. Tapi itu hanya kata dia, aku belum tahu pasti.”

Semuanya sungguh rumit.

"Baiklah, apakah kamu sudah merasa kuat? Bagaimana kalau kita jalan-jalan seperti yang tadi aku janjikan?”

“Aku baik-baik saja.”

“Ayo pergi, supaya kamu bisa melupakan semua penderitaan kamu.”

“Aku mandi dulu.”

“Baiklah, aku akan menunggu di depan. Mandilah.”

***

Bowo menunggu dengan sabar. Ia terkejut ketika Nijah sudah keluar, sudah rapi dan mengenakan baju panjang yang bersih, dan kerudung warna hitam. Bowo menatap mata bintangnya.

“Sudah?”

“Aku tidak punya baju bagus. Apa kamu tidak malu berjalan bersamaku?”

“Ish, kenapa harus malu, Pakaian apapun yang kamu kenakan, kamu tetap cantik.”

Nijah tersenyum malu. Sejak dirinya berangkat dewasa, belum ada seorangpun mengatakan dirinya cantik.

“Ayo berangkat.”

“Kita ke mana?”

Nijah membonceng Bowo yang memintanya agar berpegangan rapat. Nijah tersenyum, dia hanya memegangi sisa sadel yang ada di depannya.

“Pegangan, nanti kamu jatuh.”

“Ini sudah. Aku tak akan jatuh.”

Bowo menghentikan sepeda motornya di sebuah toko pakaian. Nijah terkejut. Ia teringat kembali akan jacket itu.

Ia melangkah ragu-ragu, wajahnya tampak sedih.

“Kamu mau membeli jacket lagi?” bisiknya pelan.

Bowo tertawa.

“Tidak, aku ingin membeli baju,” katanya sambil menarik tangan Nijah begitu saja.

Ternyata Bowo tidak hanya membeli baju untuknya sendiri, tapi juga beli untuk dirinya. Nijah menolaknya.

“Tidak. Mengapa kamu beli untuk aku juga? Apakah kamu malu berjalan bersamaku dengan pakaian aku ini?” kata Nijah sedih.

“Tidak, jangan merasa begitu. Sudah lama kita tidak bertemu, aku ingin memberi hadiah untuk kamu. Cobalah, kalau ini pas di badan kamu, kita akan membeli lagi yang lain dengan ukuran yang sama.”

“Membeli yang lain? Apa maksudmu Bowo?”

“Sudahlah, itu kamar pas, untuk mencoba pakaian ini.”

Bowo mendorong tubuh Nijah, sambil memberikan baju panjang yang dipilihnya. Terpaksa Nijah menurutinya, masuk ke kamar pas dengan perasaan tak menentu.

Bowo tersenyum senang. Ia memilih tiga buah baju lagi untuk Nijah, yang akan diberikannya kalau yang pertama sudah terasa pas di badannya.

Tiba-tiba Bowo terkejut, ketika seseorang menepuk pundaknya.

“Bowo? Kamu pulang? Duuh, tahu nggak sih, aku kangen sekali sama kamu.”

Bowo menatap gadis dengan pakaian seronok di depannya.

***

Besok lagi ya.

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post