B UNGA TAMAN HATIKU 15

BUNGA TAMAN HATIKU  15

(Tien Kumalasari)

 

Satria menghela napas panjang. Menghempaskan pantatnya di kursi kerja, menopang kepalanya dengan kedua tangan.

Ia merasa bahwa Ristia tidak akan bisa tulus menerima, seandainya dia menikah lagi. Apalagi dengan Nijah. Dengan Nijah? Apakah bisa terlaksana dia mengambil Nijah sebagai istri? Barangkali terlalu berkhayal, hanya karena Nijah cantik, dan Nijah pintar memasak, rajin, baik, santun. Ya Tuhan, apa kekurangan Nijah? Ada, hanya dia tidak berpendidikan, miskin, dan seorang pembantu. Apakah itu halangan? Mengapa cinta tiba-tiba menyergapnya?

“Cinta … cinta … cinta … “ gumamnya pelan, dan Satria terkejut ketika tiba-tiba sang ayah muncul di hadapannya.

“Kamu bicara apa?” kata pak Sardono sambil duduk di sofa.

“Bapak? Bapak mengejutkan saya.”

“Mengapa terkejut? Aku sudah mengetuk pintu, tidak nyelonong begitu saja. Kamu sedang melamun? Kamu tadi ngomong apa? Cinta?” kata pak Sardono sambil tertawa.

Satria menunduk malu. Ayahnya mendengar apa yang dibisikkannya.

“Rupanya kamu benar-benar jatuh cinta lagi? Atau, itu ungkapan cinta kamu sama istri kamu yang tidak bisa kamu lepaskan?”

”Bapak ada-ada saja.”

“Maukah kamu mengatakan, siapa gadis pilihan kamu, yang akan menjadikan kita punya penerus?”

Satria kebingungan menjawabnya. Ayahnya begitu keras. Sedianya dia akan mengatakannya secara pelan, kepada ibunya terlebih dulu. Barangkali seorang ibu lebih bisa mengerti tentang sebuah perasaan. Tapi sekarang ayahnya ada dihadapannya, dan menanyakannya lagi.

“Satria, bapak sedang bicara sama kamu. Sulit menjawabnya? Apakah kamu belum merasa yakin akan pilihan kamu, sehingga kamu masih menyembunyikan gadis impian kamu?”

“Satria hanya takut, Bapak dan ibu tidak menyukainya,” kata Satria hati-hati.

“Memangnya pilihanmu seperti apa? Dia janda?”

“Bukan, dia gadis.”

“Memangnya kenapa kamu mengira bapak sama ibu mungkin tidak setuju?”

“Dia orang biasa Pak,” Satria agak berani mengungkapkan, sedikit demi sedikit.

Pak Sardono tertawa sambil menatap lucu anaknya.

“Orang yang tidak biasa itu yang bagaimana? Punya tanduk di kepala? Punya ekor di belakang tubuhnya, atau bagaimana?” canda pak Sardono.

“Bapak, kok di kantor bicara soal calon istri sih?”

“Memangnya kenapa? Ini kan waktu luang tidak mengganggu pekerjaan kita.”

Satria tersenyum, membuat pak Sardono penasaran.

“Jawab dong Satria, bapak sudah sangat ingin punya cucu, demikian juga ibu kamu.”

“Benarkah Bapak tidak akan marah kalau Satria mengatakannya?”

“Kamu ini aneh, mengapa bapak harus marah? Pilihanmu masih manusia kan?”

“Tapi dia dari kalangan rendahan, maaf, maksud Satria adalah, tidak sebanding dengan status keluarga Bapak.”

“Kalangan rendahan itu yang bagaimana? Tempat tinggalnya di dataran rendah?”

Pak Sardono masih menggoda anaknya.

“Dia hanya seorang pembantu.” akhirnya Satria mengatakannya pelan. Tak ada jalan lain kecuali  berterus terang. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Sekarang Satria hanya menunggu. Ia mempermainkan jari-jari tangannya yang diletakkannya di atas meja kerjanya.

“Pembantu di kantor kita ini? Di bagian apa? Aku agak kurang memperhatikan, bahwa ada seorang gadis di sini yang menarik perhatian kamu.”

“Bukan di sini. Dia pembantu rumah tangga.”

“Haa? Pembantu rumah tangga?”

Satria mengangguk, debar jantungnya tak menentu. Ia seperti seorang pesakitan yang baru saja mengakui kesalahannya. Menunggu vonis yang akan dijatuhkan.

“Pembantu rumah tangga siapa?”

“Di rumah kita,” katanya lirih sambil meremas-remas jari tangannya sendiri.

Pak Sardono terbelalak. Pembantu di rumah ada dua, tapi tak mungkin bibik yang sudah setengah tua dan berbadan gendut seperti bola. Wajah Nijah melintas.

“Dia?”

Satria mengangkat kepalanya, ingin melihat reaksi ayahnya.

“Nijah?”

Satria mengangguk pelan, ada rasa takut menghantuinya. Ia melihat wajah ayahnya tak biasa. Keningnya berkerut, tak ada lagi senyum yang tadi diulaskannya. Satria pasrah. Kalau ia harus melupakan Nijah, ia tak tahu harus melakukan apa.

“Satria tidak sadar, tiba-tiba saja merasa bahwa Nijah lah yang terbaik, dan Satria mencintainya,” gumamnya pelan, seperti kepada dirinya sendiri.

Barangkali melihat kelakuan istrinya, lalu melihat perilaku Nijah, menciptakan suatu perbedaan yang membuat Satria kemudian membuka mata hatinya, dan menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Satria belum pernah melihat Ristia melakukan hal yang menakjubkan seperti yang Nijah lakukan, lalu timbullah rasa suka, lalu berubah menjadi cinta. Salah siapa kalau cinta tiba-tiba menerjang sanubarinya dan memorak pandakan jiwanya yang bergolak karena sesuatu yang belum pernah dinikmatinya. Bahwa itu Nijah, seorang gadis miskin yang kemudian menjadi pembantu di rumahnya, itu adalah takdir cintanya. Bukankah cinta tak pernah memilih?

“Kamu serius?” tiba-tiba pak Sardono membuka keheningan yang tercipta, dengan pertanyaan singkatnya.

“Satria mencintainya.”

“Apa kamu pernah berbicara sama Nijah tentang perasaan kamu, lalu Nijah menyambutnya?”

“Belum pernah,” jawab Satria yang merasa sedikit lega, karena tak melihat kemarahan di mata ayahnya. Tapi Satria yakin bahwa itu bukan berarti bahwa ayahnya setuju dan bersedia menerima Nijah sebagai menantu. Satria masih berada di ambang kebimbangan dan kecemasan.

Tiba-tiba sang ayah berdiri begitu saja dari duduknya, hati Satria tercekat.

“Bicara sama Nijah, apa dia mau menjadi istri muda,” kata ayahnya sambil memegang pegangan  pintu, kemudian menutupnya perlahan.

Satria terpana. Apakah itu berarti ayahnya tidak menolak? Satria merasa tubuhnya menghangat. Kalau ayahnya tidak menolak, sudah dipastikan ibunya akan mengikutinya. Sekarang Satria bersiap mendekati Nijah dan melamarnya secara langsung. Ada dendang bertalu memukul jiwanya, membuatnya segera ingin pulang dan melihat wajah imut yang menggemaskan itu. Tapi tiba-tiba sekretarisnya masuk ke dalam, meletakkan setumpuk map di mejanya.

“Pak Sardono minta agar Bapak memeriksanya dulu sebelum menandatanginya,” katanya hormat, lalu membalikkan tubuh dan keluar dari ruangan, tanpa menunggu jawaban darinya.

“Hei, tunggu!!”

Sekretaris itu urung menutupkan pintunya, berbalik menghadap ke arah atasannya.

“Bapak masih ada di ruangannya?”

“Sudah pulang, Pak.”

“Hm.” hanya itu jawabannya, lalu sang sekretaris menutupkan pintunya.

Agak cemberut wajah Satria, karena urung pulang cepat hari itu.

***

Sesampai di rumah, pak Sardono segera mengajak istrinya masuk ke kamar. Bu Sardono heran, sang suami tampak serius.

Mereka duduk di sofa, berhadapan, tapi belum salah satu pun yang memulainya bicara.

“Ada apa nih?” akhirnya bu Sardono membuka suara.

“Ini soal anakmu.”

“Satria?”

“Iya, siapa lagi?”

“Kenapa dia?”

“Ibu sudah pernah bicara sama Satria, tentang siapa gadis yang menjadi pilihannya?”

“Ibu bertanya terus, tapi dia tak pernah menjawabnya, hanya nanti … nanti … nanti … terus begitu.”

“Tadi aku mendesaknya saat di kantor.”

“Siapa gadis itu?”

“Ibu tak akan percaya.”

Bu Sardono menatap suaminya lekat-lekat, penasaran menunggu apa yang akan dikatakannya tentang calon menantu pilihan Satria.

“Nijah.”

Bu Sardono terkejut.

“Kenapa Nijah?” tanya bu Sardono tak mengerti, mengapa suaminya tiba-tiba menyebut nama Nijah.

“Ya Nijah itu, pilihan anakmu.”

Bu Sardono terbelalak.

“Nijah?”

“Bagaimana menurut Ibu?”

“Bagaimana menurut Bapak?” bu Sardono balas bertanya.

“Nijah gadis yang baik.”

“Ya, Nijah itu baik, cantik. Pintar.”

“Ibu setuju?”

“Bapak?”

Pak Sardono merasa lucu, dia dan istrinya saling melempar pertanyaan yang sama. Tapi tak tampak ada keinginan untuk menolak.

Mereka berbincang beberapa saat.

“Lalu apa yang Bapak katakan pada Satria?”

“Aku hanya minta agar dia bicara dulu sama Nijah, apakah Nijah mau.”

“Artinya adalah … bahwa Bapak setuju?”

“Ibu bagaimana?”

“Bapak sendiri bagaimana?” lagi-lagi saling melempar pertanyaan. Menandakan bahwa mereka tidak menolak, tapi juga belum bisa menerima.

“Apakah perbedaan status membuat kita ragu-ragu?” tanya pak Sardono lagi.

“Kita kan tidak pernah berbicara tentang perbedaan status seseorang. Artinya adalah, tidak masalah kalau Nijah menjadi menantu kita. Asalkan ….”

“Asalkan Nijah bisa menerima?” sambung bu Sardono.

“Satria saja belum bicara sama dia.”

“Menolak Satria itu tidak mungkin. Anakku ganteng.”

“Apa kamu yakin? Nijah bukan gadis yang begitu mudah tertarik pada wajah ganteng. Tampaknya begitu. Dia juga pasti perhitungan dengan status Satria yang sudah punya istri. Rasanya itu yang nanti akan membuat keinginan Satria terhambat,” gumam pak Sardono pada akhirnya.

“Kalau begitu, kita tunggu Satria saja?”

“Kita tunggu Satria saja. Tidak masalah kalau cucu kita nanti dilahirkan oleh wanita seperti Nijah. Kekurangan dia adalah bahwa dia hanya pembantu. Tapi itu tidak masalah bukan?” pembicaraan ini kemudian berakhir pada sebuah kata sepakat. Tapi apakah Nijah bisa menerima?

***

Hari sudah sore, tapi Ristia masih berada di rumah Andri. Ristia sungguh kacau, membayangkan ada seorang madu hidup bersamanya.

“Kamu belum tahu, siapa yang akan menjadi istri muda suami kamu?” tanya Andri.

“Dia belum mengatakannya, dia berjanji nanti malam akan mengatakannya.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah nanti mengetahuinya?”

“Andri, aku kan minta agar kamu menolong aku, pikirkan dong, apa yang terbaik untuk menyingkirkan dia.”

“Jangan melibatkan aku kalau kamu ingin membunuh seseorang,” kata Andri bersungguh-sungguh.

“Apakah itu harus membunuh?”

“Jadi kamu sudah punya rencana dong.”

“Alasan Satria adalah, dia dan kedua orang tuanya ingin memiliki seorang anak. Jadi bagaimana membuat dia tak akan pernah memiliki anak?”

“Haaa, kalau begitu kamu harus berbaik-baik sama dia.”

“Berbaik-baik itu bagaimana? Hatiku panas, mengapa harus berbaik-baik?”

“Supaya kamu bisa selalu memberikan obat anti hamil sama dia. Kalau kamu bermusuhan, berarti kamu tidak bisa mendekati dia, dan tidak bisa juga memberikan obat itu sama dia. Berbeda kalau kamu baik, sehingga kamu bisa memberinya apa saja tanpa dicurigai.”

“Ohh … iya, betul. Aku mengerti Andri. Kamu hebat.”

“Jadi kamu mengerti apa yang harus kamu lakukan? Nanti aku bantu memberikan obatnya. Kamu yang melakukannya.”

Wajah Ristia berseri. Kalau istri muda Satria tetap saja tidak bisa hamil, lalu apa alasan dia untuk menikahinya? Harapan punya anak sudah pasti tak akan terjadi. 

Ketika kemudian dia pulang, dia sudah siap untuk bersikap manis pada sang suami, dan bersikap seakan rela sang suami punya istri lagi. Dia sudah punya cara untuk menghancurkannya.

***

Ristia memang pulang lebih lambat dari suaminya. Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya sang suami sudah mandi, sudah wangi, dan wajahnya berseri. Ristia bertanya dalam hati, apakah Satria baru bertemu dengan sang calon istri? Tapi Ristia menekan perasaan kesalnya. Seperti biasa dia langsung memeluk suaminya dan mencumbuinya sampai Satria terlena.

Ristia cantik dan seksi. Dalam urusan ranjang, dia adalah jagonya. Tapi sekarang Satria sudah mengerti, bahwa itu belum cukup untuk meneguk kebahagiaan sebuah rumah tangga. Banyak kekurangan yang dimiliki Ristia, dan itu membuat Satria bisa menuruti apa permintaan kedua orang tuanya. Mencari istri yang bisa melahirkan anak-anak keturunan keluarga Sardono.

Kedua orang tuanya sudah berbincang sore itu, perbincangan yang membuat hatinya senang, karena mereka tidak keberatan menerima Nijah. Selangkah lagi Satria akan berhasil. Merayu Nijah, rasanya tidak terlalu sulit. Gadis lugu itu akan luluh dalam bujuk rayunya. Bukan di rumah ini. Besok adalah hari libur, Satria akan mencari alasan untuk bisa mengajak Nijah keluar dari rumah.

Ristia senang menerima sikap manis sang suami ketika dia meluluh lantakkan suaminya dengan sejuta cara seperti dia sering melakukannya, dan hal itulah yang membuat sang suami selalu bertekuk lutut kepadanya. Tapi itu dulu. Sekarang Satria punya keinginan lain yang harusnya Ristia juga mengerti. Dan memang Ristia mencoba mengerti, untuk suatu saat menghancurkan semuanya.

***

Malam itu Bowo benar-benar menelpon Nijah. Ia mengerti, kapan Nijah punya waktu luang untuk berbincang. Bowo sudah sering melakukannya, saat rasa rindu sedang menyesak dadanya.

“Nijah, tak sabar aku menunggu malam untuk bisa bicara sama kamu,” kata Bowo pada awal perbincangannya.

Nijah tertawa pelan. Ia juga tak berani bicara keras, setelah pengalaman sebulan lalu, di mana Satria menguping pembicaraannya di telpon.

“Bukankah hampir setiap hari kita berbincang? Kamu bersikap seolah sudah bertahun-tahun kita tak bicara.”

“Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu.”

“Tentang apa?” Nijah berdebar, ia selalu berdebar kalau Bowo mengatakan akan menunggunya dan akan menjemputnya. Hal yang akan membuatnya tersiksa oleh penolakan keluarga Bowo yang pasti  akan membuatnya sakit.

“Siapa laki-laki bermobil yang menjemput kamu pulang ketika kamu sedang menunggu taksi di depan bank?”

“Oh, itu tuan Satria, putra majikan aku.”

“Itu yang membuat kamu kerasan bekerja di sini?”

“Apa maksudmu Bowo?”

“Dia ganteng sekali, bukan?”

Nijah terkekeh pelan.

“Dia seorang majikan, aku hanya pembantu. Apa yang kamu pikirkan?”

“Dia begitu perhatian sama kamu. Kamu suka kan?”

“Dia sangat baik, tapi mana mungkin aku suka? Dia sudah punya istri.”

Dan tanpa Nijah sadari, Satria memang sedang menguping pembicaraan itu. Satria juga tahu, bahwa yang Nijah bicarakan sama temannya adalah dirinya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post