Tantangan Membiasakan Gaya Hidup Vegetarian

Tantangan Membiasakan Gaya Hidup Vegetarian  - “Makan
sedikit saja. Masa tidak bisa sedikit saja?” ucapan itu kerap muncul ketika
suami menyatakan tidak menyantap daging-dagingan dan makanan yang mengandung
lemak dalam sebuah acara. Kami santai saja sebenarnya. Suami bisa memilih menyantap
es buah atau acar saja namun biasanya tuan rumah terus saja merasa tidak enak.



Suami saya malah pernah
menjalani gaya hidup vegetarian yang tergolong ekstrem. Dia tidak memakan
makanan yang mengandung hewan, termasuk produk turunannya. Saat kami baru
menikah tahun 1999, beliau memang sudah jadi vegan.



Gaya Hidup Vegetarian

Awalnya saya tidak
berkeberatan namun lama-kelamaan koq rasanya tidak enak, ya soalnya mau
makan apa-apa tidak ada temannya sementara kami hidup di perantauan. Masa makan
pempek sendirian? Saya pun memengaruhinya agar berhenti jadi vegan. Toh gaya hidup vegetarian yang lebih fleksibel bisa diikuti, semisal masih memakan ikan
dan telur.



Akhirnya suami saya
menjadi omnivora kembali. Alhasil, di masa-masa awal pernikahan berat badan
suami melesat sampai-sampai ada yang berseloroh, “Pengantin baru biasanya
istrinya yang hamil … ini suaminya yang hamil.” 😆



Saya termasuk beruntung,
bertemu suami yang penyuka buah dan sayuran karena sehari-harinya terbiasa
dengan gorengan dan tak menyukai sayuran ataupun buah-buahan. Secara
perlahan-lahan saya belajar untuk lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah.



Saat ini, suami kembali
menjadi vegetarian tetapi masih mengonsumsi ikan dan saya mengikutinya tapi
masih lebih fleksibel lagi. Saya menghindari mengonsumsi daging berupa ayam dan
daging merah karena badan sudah merasa tak nyaman mengonsumsinya. Seseorang
pernah mengatakan saya menyiksa diri karena tidak ikut makan pallubasa padahal
saya nyaman-nyaman saja karena hasrat saya sudah sangat minim pada makanan
berbahan daging bahkan seringnya tidak ada hasrat.



Haha bicara “hasrat” kita ya. Lha
iya kan. Kesukaan akan makanan sering kali kan terkait hasrat, bukan
kebutuhan. 😅
 Jujur saja, saya masih
berjuang untuk memosisikan makan sebagai kebutuhan, dimulai dengan menjauhi
daging-dagingan karena tubuh saya tak butuh daging-dagingan lagi.



Menjaga kesehatan di masa
sekarang kan merupakan investasi masa tua juga. Sebuah artikel di
Kompas.com[1]
menyebutkan bahwa menurut studi yang dilakukan oleh National Institutes of
Health-AARP kepada setengah juta warga Amerika Serikat lanjut usia, mereka yang
selama 10 tahun paling banyak memakan daging merah dan daging yang diproses lebih
cepat meninggal daripada mereka yang memakan lebih sedikit daging merah.



Dalam artikel yang sama disebutkan
juga bahwa mereka yang memakan setidaknya 110 gram daging merah dalam sehari
lebih berisiko untuk meninggal karena penyakit kanker dan penyakit jantung
dibandingkan mereka yang hanya memakannya sekitar 15 gram dalam sehari.



Andai bisa ditakar ya …
masalahnya, kalau makan dan rasanya enak kan kita bisa kebablasan, makan
terus sampai kenyang makanya lebih baik saya menghindari demi masa depan
soalnya saya masih makan produk turunan hewan seperti susu dan kue-kuean. 😁



Makanya bagi saya, buah
dan sayur masih menjadi tantangan. Saat ini saya sudah punya lauk favorit, salah
satunya terong panggang yang pernah saya tuliskan resepnya di dalam tulisan
berjudul
Dari Terong Panggang ke Grocery Store.



Demfarm.id



Makan Buah
dan Sayur: Tantangan Sebagian Besar Manusia



 



Rupanya tantangan makan
sayur dan buah bukan hanya tantangan saya seorang, melainkan tantangan kebanyakan
orang Indonesia. Dalam talkshow berjudul
Hari Vegetarian Sedunia, Langkah
Kecil Menuju Hidup Sehat
yang berlangsung di akun Instagram @demfarm.id pada tanggal 3 Oktober
kemarin, hal tersebut dipaparkan oleh
Dokter Sylvia Irawati – dokter gizi yang sekaligus founder Nutri & Beyond.



Menurut Dokter Sylvi, minat
orang makan sayur rendah. WHO menyarankan untuk mengonsumsi minimal 400 gram
sayur dan buah atau 5 porsi per hari. Sayangnya, sebanyak 95,5% masyarakat
Indonesia masih kurang mengonsumsi dari jumlah yang cukup. Hal ini merupakan concern
jangka panjang.



Sebenarnya lahan kita di
Indonesia masih banyak yang subur. Leluhur kita pengonsumsi bahan-bahan nabati.
Hal ini seharusnya menjadi pondasi yang baik. Namun ternyata, dalam era modern saat
ini, dengan kehidupan yang demikian cepat maka orang membutuhkan hal-hal instan
sehingga merasa ribet jika harus memasak sayur. Ditambah lagi adanya
kemudahan akses kepada makanan kekinian dengan simple delivery menyebabkan
konsumsi buah dan sayur semakin rendah.



Yulianti Basri “Bontang
Food”

narasumber juga pada talkshow ini mengatakan hal yang senada. Menurutnya
generasi milenial senang mayoritas dengan makanan kekinian yang lagi viral dan
malas mengolah sayuran atau buah yang harus dikupas dahulu.
Dia menyadari kurangnya kesadaran kaum muda dalam memenuhi gizi seimbang. Insight
postingan-nya menunjukkan angka lebih besar pada makanan kekinian dibandingkan
postingan makanan sehat atau cara membuat makanan sehat.



Hal-hal demikian seolah
menjadi alasan minimnya minat manusia zaman now dalam mengonsumsi sayur
dan buah. Kalau saya bilang sih, diada-adakan saja ya. Sebenarnya kalau
kita memang punya kemauan, sebenarnya memasak sayur itu jauh lebih cepat dan mudah
ketimbang memasak lauk yang berbahan daging ataupun ayam, bukan? 😄



Dokter Sylvi memaparkan
mengenai suatu literatur tahun 1990 yang menyatakan bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia mengonsumsi karbohidrat tinggi, bisa sampai 68% dari
nutrisi harian yang seharusnya 50-60% saja.



Talkshow Demfarm

Idealnya kan kita membutuhkan
makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien merupakan nutrisi yang dibutuhkan
tubuh kita dalam jumlah relatif besar untuk mendukung fungsi tubuh, juga yang
paling sering kita terima setiap hari. Jenis-jenis makronutrien adalah protein,
karbohidrat, dan lemak.



Mikronutrien terdiri atas vitamin
dan mineral. Vitamin dan mineral dibutuhkan tubuh kita dalam jumlah kecil untuk
penggunaan proses metabolisme seperti respirasi, pertumbuhan, antioksidan, dan
fungsi kekebalan tubuh. Sumber mikronutrien biasanya berasal dari sayur dan
buah.



Sumber makanan sebaiknya
bervariasi karena saling melengkapi. Sebenarnyakita tidak boleh menilai makanan
dari satu zat gizi saja – semisal nasi hanya mengandung karbohidrat karena
sebenarnya beras juga mengandung protein dan mineral dalam jumlah sedikit.
Seperti kangkung pun dikenal sebagai sumber serat padaha sesungguhnya
mengandung karbohidrat, protein, dan mineral lain juga.



 



Makan yang
Bervariasi



 



Dokter Sylvia mengatakan
bahwa tidak ada makanan yang super. Sesungguhnya asupan makanan kita saling
melengkapi, sesuai ungkapa eat your rainbow yang bermakna “makanlah
makanan yang berwarna-warni atau bervariasi”. Dengan demikian makanan kita saling
melengkapi gizinya karena terdiri atas kandungan yang berbeda-beda dan bermacam-macam.



“Kita harus makan yang
seimbang rekomendasinya. Konsumsi pangan nabati adalah 40 jenis per minggu.
Dengan mencapai 40 jenis per minggu, variasinya sudah dianggap cukup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi,” tutur Dokter Sylvi. Dokter Sylvi juga menjelaskan,
pada praktiknya jangan makan satu jenis sayuran saja misalnya kangkung saja selama
sepekan. Konsumsi juga sayur jenis lain, buah-buahan, serealia, dan kacang-kacangan.



Menjawab pertanyaan,
bagaimana menakar kebutuhan akan sayuran dan buah, Dokter Sylvi menjawab, “Cara
mudah mengukur kebutuhan gizi dan sayuran tanpa menimbang adalah dengan patokan
yang namanya ‘ISI PIRINGKU’, panduan dari pemerintah.”



Dalam ISI PIRINGKU,
seharusnya komposisinya adalah setengah dari piring makanan berisi buah dan
sayur. Setengah sisanya adalah ¼-nya karbohidrat dan ¼-nya lagi berupa protein.
Dokter Sylvi menekankan pentingnya kita memiliki self awareness. Kita sendiri
yang mengerti kapan diri kita kenyang, kapan lapar, kapan cukup sehingga tidak
berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu.



Talkshow kali ini menarik. Banyak
juga peserta yang bertanya mengenai gizi dan bahan makanan. Salah satunya
bertanya tentang konsumsi buah yang rasanya manis. Dokter Sylvi mengatakan  bahwa buah yang manis tidak sama dengan gula
karena serat yang dikandung dalam buah bisa menahan agar gula tidak cepat masuk
ke dalam darah sehingga tidak terjadi lonjakan gula dalam darah.



Yang lain mempertanyakan
mengenai kandungan kacang-kacangan dan purin. Dokter Sylvi menjawab bahwa purin
ini asal dari asam urat. Ternyata faktanya daging merah, jeroan, dan seafood
kandungan purinnya lebih tinggi daripada kacang-kacangan. Nah, lagi-lagi
memang penting untuk mengendalikan hasrat terhadap makanan.




Challenge Demfarm Vegetarian



Menghindari
kacang-kacangan karena mengidap asam urat akan jadi percuma kalau masih
mengonsumsi daging dan seafood. Pola hidup sehat bisa kita perlahan
jalani, dimulai dengan mengikuti tantangan #KreasikanPiringMu
#DemfarmVegetarian #DemfarmChallenge selama 3 hari berturut-turut yang
diselenggarakan oleh Demfarm.



Menyambut Hari Vegetarian
Sedunia, demfarm.id mengadakan social movement yang mengajak masyarakat
untuk peduli pada lingkungan. Demfarm Vegetarian
mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam membiasakan diri mengonsumsi
makanan sayur dan buah selama 3 hari berturut-turut sembari merasakan efeknya
pada tubuh.



Bagaimana dengan karib dan
kerabat? Seberapa penting gaya hidup vegetarian bagi kalian? Bagaimana
tantangan yang dihadapi? Share, yuk.



Makassar,
4 Oktober 2022













[1] https://pemilu.kompas.com/read/2017/08/28/200600723/perlukah-anda-menghindari-daging-merah-demi-kesehatan-,
diakses pada 4 Oktober 2022 pukul 9:46.





Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post