Penjual Ngajak
Gelut – Sebenarnya masih agak
siang namun seperti biasa, matahari di Makassar sudah terasa teriknya. Setelah
pesawat Citylink yang membawa si sulung Affiq ke kota tujuan untuk melaksanakan
PKL bersama teman-teman sekampusnya terbang, saya dan suami bergerak pulang.
Kami singgah dulu ke makam
kedua orang tua saya lalu dalam perjalanan pulang, kami membeli lauk-pauk untuk
makan siang. Sewaktu dalam perjalanan menuju pekuburan, saya sudah ngiler saja
melihat beberapa penjual ikan bakar yang kami lewati. Maka dalam perjalanan
pulang saya meminta suami melalui jalan yang sama agar bisa membeli ikan bakar.
Rasanya kangen dengan ikan bakar yang dipanggang secara tradisional di
atas bara api.
Kedai pertama yang kami
singgahi sedang membakar ikan. Di dalam etalasenya sudah ada ikan bakar dan
ikan goreng siap santap beserta sejumlah jenis lauk lain seperti tempe goreng
kecap dan perkedel jagung.
Sepi. Mungkin penjualnya
tak menyadari ada orang yang hendak membeli hasil masakannya.
“Beli …,” saya memberi
tanda. Satu kata ini sudah biasa diucapakan di kota ini ketika kita memanggil
penjual yang berada di dalam rumah atau ruangan.
Suara seorang ibu dari
dalam menunjukkan dia sedang melakukan sesuatu dan bagi saya terdengar agak
gusar.
Kami menunggu si ibu keluar.
Saat batang hidung perempuan yang saya taksir berusia kepala 5 itu tampak, saya
menanyakan harga ikan bakar dan ikan gorengnya. “Lima belas ribu,” jawabnya.
Saya menoleh kepada suami, meminta persetujuannya. Beliau bilang tidak usah. Soalnya
untuk ukuran serupa, harga lauk ikan seperti itu lebih murah di dekat rumah
kami.
Karena melihat kami masih
bernegosiasi, ibu itu terlihat agak tidak sabar. Katanya dia sedang menuntaskan
proses memasaknya. Lalu dia terburu-buru masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian
dia muncul lagi. Saya memutuskan membeli perkedel jagung dan tempe goreng saja.
Harganya murah ternyata.
Seribu rupiah per 1 potong perkedel. Sementara harga tempe goreng kecapnya
Rp.5.000 per 6 potong ukuran cukup besar. Saya pikir saya salah dengar … bisa
jadi yang dia sebutkan harga “dua ribu” bukannya seribu rupiah.
Setelah membungkus lauk
yang saya pesan, berikut sekantung kecil sambalnya, saya mengonfirmasi total harga,
“Jadi berapa semua?”
“Ndak bisa ki’ hitung
sendiri berapa belanjaan ta’?” si ibu ngegas, bertanya
balik – apakah saya tak bisa menghitung sendiri berapa harga lauk yang saya
beli.
Kaget mendengar reaksinya,
saya berkata, “Sebelas ribu ya?” Saya heran dia ngegas begitu karena
selama ini biasa koq orang konfirmasi harga sebelum membayar supaya
tidak salah, saling mencocokkan hitungannya dengan hitungan penjual. Kenapa si
ibu ini nyolot begitu? Lagi berantem sama suaminya kali, ya sebelum
kami datang?
“Sepuluh ribu!” ujar si
ibu agak jutek.
“Enam tadi perkedelnya, sebelas
ribu semua toh?” ujar saya lagi. Kalau mau “ambil untung” seribu rupiah, bisa
saja saya lakukan tetapi apa gunanya? Toh pada esensinya itu bukan
untung, melainkan rugi yang hukumannya akan saya terima di neraka nanti.
“Benar ji hitungan ta’.
Bisa jaki’ menghitung,” kata-katanya masih tidak terdengar ramah.
Sudah telanjur ill feel, saya merasa mendengarnya sebagai ejekan.
Dengan menahan rasa gondok,
saya mengeluarkan uang pas dan segera berlalu dengan lauk di tangan tanpa mengucapkan “terima kasih”
padahal biasanya pantang bagi saya berlalu tanpa berterima kasih terlebih dulu
kepada sang penjual. Masalahnya penjual yang ini keterlaluan, ngajak gelut.
Rasanya ingin datte’ (sentil) bibirnya kuat-kuat.
Dalam hati saya membatin, “Oke,
Bu, saya tandai ki’!” Mata saya mencari-cari land mark – tanda
yang mudah diingat. Ah, rupanya kedai milik si ibu letaknya di depan GOR. Baiklah,
saya tak akan membeli laukmu lagi, ibu yang kata-katanya bak belati!
Di kota ini memang biasa
mendapati penjual yang tidak ramah. Saya ingat, di tahun 1990-an, di pasar
Maricaya ada satu keluarga yang usaha jasa menjahit. Saya biasa meminta jilbab
saya dinecikan di sana. Nyaris semua anggota keluarga itu wajahnya merengut.
Memang sudah dasar
wajahnya begitu sih sebenarnya namun kan bisa diakali dengan
seulas senyum. Mereka ini tak ada yang senyum. Asam rasanya melihat paras
mereka tapi mau tak mau saya harus ke sana untuk neci jilbab karena mereka
memiliki mesin neci.
Untungnya, di samping
sejumlah penjual jutek dan pelit senyum, sekarang sudah banyak yang memahami
pentingnya menyungging senyum dan beramah tamah kepada (calon ) pembeli. Pilihan
semakin banyak. Kalau penjual satu julid ya sudah, ke penjual lain yang menjual
barang sejenis saja.
Setelah membeli lauk
berupa perkedel jagung dan tempe goreng kecap dari si ibu julid, kami masih
mencari penjual ikan bakar. Alhamdulillah ketemu, letaknya tak
jauh dari kedai si ibu bermulut tajam itu. Harganya lebih murah dan potongan
ikannya besar pula. Ibu di warung sederhana itu menjual ikan bakar bandeng yang
dilumuri sambal.
Apakah dia ramah dan tersenyum? Oh, no tapi setidaknya dia tidak merengut dan tidak jutek. Raut wajahnya kaku. Hal ini jauh lebih menghibur dibanding perlakuan sebelumnya. 😅
Harga ikannya Rp.10.000 per
potong. Satu potongnya berupa setengah ekor ikan bandeng (iya ... bandeng ... kami penggemar ikan bertulang banyak itu ðŸ¤). Ikan bandengnya
berukuran besar, saya membeli 2 potong. Alhamdulillah rezeki kami
setelah berpanas-panas hari itu. Cukuplah untuk melumerkan hati yang menahan gondok
sejak tadi.
Makassar,
6 Agustus 2022
Update 8 Agustus 2022:
Seorang keponakan yang membaca status saya di Facebook tentang postingan ini mengatakan bahwa dia tahu kedai yang saya maksud. Pada hari yang sama, dia juga ke sana dan mendapat bentakan. Waktu itu saya datang jam 10 lewat, keponakan datang jam 13. Kata keponakan, biasanya ibu itu tidak seperti itu. Entah ada masalah apa dengannya. Yeah, semua orang juga punya masalah kali, Bu. Kalau semua orang bersikap seperti dunia ini, apa jadinya?