Desir angin yang menghembus, wajah. Tersayup aku merenung dalam kemelut. Akankah hadir sebuah keniscayaan dalam perjalanan hidup ini. Aku ingin hidup bebas, seperti seekor burung yang dapat mengepakan sayapnya. Melintang, menelusuri sisi bumi ini.
Banyak orang berkata, jika kamu ingin melihat dunia. Maka bacalah buku, jika kamu ingin berselancar didunia maka kunjungilah internet. Akan tetapi, itu semua tidak aku dapatkan saat aku melakukan itu semua.
Apakah kehampaan, ini akan berujung. Setiap, waktu. Aku, selalu direlungi rasa takut, kecewa bahkan putus asa. Jika sandaranku adalah Tuhan, maka dimana aku akan menumkannya. Ingin rasanya aku bercerita panjang lebar, berdiskusi dengan-Nya. Sulit rasanya, aku menghadapi ini semua.
Ingin, bercerita. Namun, ketakutan yang menyelimuti hati ini. Rasa, ragu yang yang menyongsong dalam diri ini. Membuatku melangkah dengan ketidak pastian.
Sekelabat, daun yang tertiup angin. Menghempaskan jiwaku yang pana. Tidak ada yang pasti didunia ini. Namun, keberhasilan dan kegagalan selalu beriringan pada setiap insan yang mau melakukan sesuatu.
Aku terhempas pada jurang yang penuh dengan ketidak pastian. Ingin rasanya aku, berteriak sekuat tenaga. Namun, mulut ini. Terkunci, rapat-rapat. Seperti sebuah tralis yang diikat dengan rantai dengan ketebalan 5 mm. Dengan kunci yang tergantung, kokoh tidak ada satupun orang yang dapat membukanya.
Kutarik nafas ini dalam-dalam lalu kuhempaskan sekuat tenaga. Dengan harapan aku dapat melerai rasa yang ragu. Akankah aku terus melangkah, dan ingin rasanya aku terus belari. Mengikuti rasa ini yang tidak jelas arah dan tujuan.
Tidak sedikit orang berkata bahwa satu-satunya cara untuk menikmati hidup karena adanya sebuah alasan. Lantas alasan apa yang dapat aku buat untuk terus berproses.. Sehingga membuatku bisa lebih dewasa dalam menghadapi ini semua. Seperti jalan buntu, tertutup tembok pagar. Yah, inilah perasaan ku saat ini. Meloncat membutuhkan tenaga ekstra, tetap diam akan mati sia-sia.
Mendesir keras rasanya darah ini mengalir, terhempas rasanya seluruh tubuhku. Seperti sebuah benalu, rasanya tergumpal dalam isi hati ini. Layakkah jika aku menangis. Namun, apa yang aku tangisi. Semuanya bias, seperti sehelai kain putih yang tersimpat rapat pada sebuah lemari. Lantas, akan dijadikan apa? semua bergantung pada sudut pandang orang yang melihat kain itu. akan tetapi bukan tentang itu, melainkan bagaimana kemampuan seseorang untuk berproses. Sehingga kain yang tidak berguna tersebut dapat dimanfaatkan.
Lelah, itulah yang dirasakan saat ini. Sehingga, membuatku merasa hampa dalam berproses. Ingin rasanya aku tetap diam, namun hati ini selalu mendorong untuk berbuat. Ingin rasanya aku menghilang, pergi jauh. Namun, Tuhan tidak menakdirkan untuk pergi. Berat rasanya, tapi memang harus dihadapi. Sakit, rasanya. Namun, harus tetap diobati. Sehingga, semuanya akan berjalan sesuai dengan arah waktu dan tujuan.
Sebuah, kata tidak cukup. Yah, itu memang sering didengar. Akan tetapi, banyak orang yang percaya dengan kata-kata. Sehingga terbujuk bahkan terseret kearah yang kurang baik. Sedikit sekali orang percaya atas tindakan disehingga diangga hal itu merupakan sebuha keniscayaan. Padahal jika dipikirkan secara mendalam, tindakan lah yang dapat menggambarkan kesungguhan dibandingkan dengan ucapan semata. Tidak adak istilah lidah lebih tajam dari sebuah pedang, Jika memang hanya berkata saja, bisa meyakinkan diri untuk berbuat, menunjukan bahkan memberikan kepercayaan.
Yakin, mungkin ini sebuah kata yang paling cocok. Sebagai penambah kekuatan untuk terus berposes serta mewujudkan apa yang berlum terwujud, menyampaikan apa yang belum tersempaikan.