SINGAJAYA

SINGAJAYA
SINGAJAYA


By: Munawaroh

Singajaya secara geografis terletak di kabupaten Garut bagian selatan dan merupakan tapal batas antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Luas Kecamatan Singajaya yakni 67,69km2, jumlah penduduk 39.885 jiwa. Masyarakat Singajaya 100% beragama islam, berdasarkan hasil pengamatan penulis dan keikutsertaan dalam beberapa kegiatan pengajian, kecamatan ini bisa dikatakan agamis dan religius. Alam yang indah, hawa yang sejuk ditambah sawah dan ladang yang membentang luas dengan ditopang perbukitan dan perkebunan teh yang menghampar luas nan hijau bak altar permadani adalah karunia yang diberikan Tuhan di kecamatan ini. Singajaya yang berarti singa yang berjaya. Menurut salah satu tokoh yang penulis temui mengatakan “Singajaya teh lain mung saukur ngaran tempat, tapi aya lalakon!” ucapnya dengan penuh ketegasan. 

Penamaan “Singajaya” lahir dari cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat setempat. Kata “Singa” dalam “Singajaya” berasal dari nama seseorang yang pertama kali datang ke wilayah tersebut. Konon, ia adalah seorang jelmaan singa atau manusia setengah singa yang terkenal dengan kesaktiannya. Masyarakat setempat menyebutnya denga Eyang Singajaya, karena kemampuannya yang tinggi ia dikenal sebagai sosok pahlawan yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat setempat. Selain itu, menurut sebagian masyarakat menyebutkan bahwa nama Singajaya memiliki keterkaitan yang erat dengan nama Singaparna, salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Tasikmalaya dan mungkin juga dengan negara tetangga Singapura. Menurut sebagain orang mengatakan di daerah tersebut terdapat dua orang Tokoh dari pemerintahan yang berbeda yakni Garut dan Tasikmalaya yang sedang “ngadu hayam” dalam Bahasa Indonesia disebut dengam sambung ayam, sebelum sambung ayam dimulai seperti biasa selalu disodorkan dengan berbagai imbalan. “Saha wae nu meunangkeun ngadu hayam ieu sok eta wilayah Surapati kahandap jadi milikna” ucap Tokoh dari pihak Tasikmalaya. Singkat cerita, Tokoh yang berasal dari Garut memenangkan sambung ayam tersebut, sehingga wilayah dari batas Surapati yang asalnya berada dibawah pemerintahan Tasikmalaya menjadi daerah kekuasaan Garut. Sehingga tercetuslah “Singajaya” yang berarti singa yang berjaya dan “Singaparna” yang berarti singa kolot/singa yang kalah. 

Selain sejarah sambung ayam yang ternyata masih berhubungan dengan kabupaten tetangga yakni Singaparna, Singajaya mempunyai cerita tentang “Cadu ngadahar hulu hayam!” salah satu kebiasaan yang membuat penulis heran ketika pertama kali mendengarnya. Semua itu berawal dari “Legenda Batuwangi”, pada suatu hari ada seorang tokoh agama yang Bernama Eyang Dalem Batuwangi yang bermaksud menyebarkan agama islam di daerah Singajaya. Diceritakan Eyang Batuwangi mempunyai dua orang anak, yang paling besar adalah laki-laki dan yang kedua adalah perempuan berparas cantik. Parasnya yang cantik dan menarik, tidak jarang banyak laki-laki yang tertarik. Hingga pada suatu saat ada laki-laki dari keturunan Pada Beunghar datang menemui Eyang Batuwangi bermaksud untu melamar sang putri. Diceritakan keduanya saling tertarik dan akhirnya mereka menikah. 

Akad nikah berlangsung lancar, hingga tiba pada waktu adat sunda yakni “pabetot-betot bakakak hayam” atau kedua pengantin saling tarik-menarik ayam yang sudah dibakar. Pada saat itu konon pengantin wanita memegang bagian kepala ayam dan pengantin laki-laki bagian kaki ayam. Seketika bersamaan saling tarik-menarik, tiba-tiba “crot” ada darah yang keluar dari bakakak tersebut mengenai baju pengantin wanita bagian payudarah. Refleks sang kakak laki-laki membersihkan darah tersebut, namun tiba-tiba sang suami merasa tidak dihargai dan langsung menodongkan keris yang dipegangnya sembari berteriak “Kurang ajar kamu! Tidak punya sopan santun, berani memegang payudara istri saya!” ucap pengantin laki-laki. Kakak pengantin perempuan yang merasa tidak bersalah, tidak menerima dirinya dibentak-bentak seperti itu. Akhirnya keduanyapun bertengkar, hingga saling membunuh. Pengantin perempuan menjerit setinggi langit melihat kejadian yang menimpanya “Akaaaang… jangan tinggalkan saya”. Pengantin perempuan sudah tidak bisa menerima qada dari sang pemilik hidup yang akhirnya dia bunuh diri, melihat kedua orang yang dicintainya meninggal dunia. Eyang Dalem Batuwangi yang jelas sekali menyaksikan kejadian tersebut menyebutkan sumpahnya “Cadu dahar hulu hayam tujuh turunan!” sumpah yang sampai saat ini dipegang teguh dan diyakini oleh masyarakat Singajaya. 

Dari sejarah dan legenda yang terjadi dan diyakini oleh masyarakat Singajaya, mulai dari kedekatan wilayah Singaparna dan kebiasaan yang tidak memakan “Hulu hayam” akhirnya penulis sendiri menjadi mengikuti tradisi dan kebiasaan yang ada, meskipun penulis bukan merupakan asli warga tersebut tapi tetap “Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung” “Pindah Cai Pindah Tampian” semoga setiap cerita, legenda, sejarah dapat kita ambil nilai positive. 


Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post