satu cara saya agar tetap beraktivitas saat pandemi adalah dengan
membereskan rak buku. Proyek ambisius yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga.
Percayalah! Para penggila buku paham sekali maksud saya ini.
Salah
satu alasan kenapa membutuhkan banyak waktu dan tenaga adalah, kadang saya
berhenti ketika menemukan sebuah buku yang sepertinya menarik (lagi) perhatian
saya. Coba diingat dapat dari mana, apakah sudah pernah dibaca, cek di GRI
apakah ada versi lainnya, dan hal-hal sejenisnya.
Bayangkan
kalau 1 buku yang saya temukan menghabiskan waktu sekitar 10 menit untuk ritual
tersebut. Berapa waktu yang akan dihabiskan jika saya menemukan 10 buku selama
1 hari saja!
Beberapa
buku berikut ini, sengaja saya ulas secara singlat sekedar mengenang keseruan
ketika membacanya. Siapa tahu, ada yang juga merasakan hal sama.
Judul: Menggulung Komplotan Penculik
Halaman:
91
Tahun
terbit: 1979
Penerbit:
Balai Pustaka
Rating:
4/5
orang sahabat berencana menghabiskan malam panjang di rumah salah satu dari
mereka. Keempatnya adalah Iwan, Sutitik, Mandoko, serta Robin.
Iwan
merupakan anak tunggal seorang jutawan namun tak pernah menunjukkan sifat manja
atau egois. Robin yang berbadan gempal dan sering datang terlambat jika ada
janji berkumpul, merupakan anak seorang direktur perusahaan obat dari Sumatra,
ibunya keturunan Jerman.
Sementara
itu, Sutitik adalah anak seorang penjahit sederhana dengan 6 saudara, Demikian
juga dengan Mandoko, ia tinggal di rumah dengan dua kamar bersama 4 adiknya.
Terbayangkan, jika mereka tidur, posisinya persis ular melingkar. Ayahnya
adalah pegawai kantor pos.
Rencanya empat
sekawan tersebut menghabiskan waktu dengan riang sambil menikmati panganan yang
disediakan. Kebetulan, malam ini kedua orang tua Iwan ada keperluan keluar
rumah, sehingga mereka membaca kunci sehingga tak perlu menyusahkan anak-anak
ketika pulang nanti
Mendadak,
terdengar ketukan keras di pintu. Meski merasa heran, siapa yang mengetuk
malam-malan begini, mereka dengan ceroboh membuka pintu, karena penasaran siapa
yang begitu keras mengetuk pintu depan. Begitu pintu terbuka sedikit, sang
pengetuk mendorong Iwan yang membuka pintu dengan kasar!
Iwan
dan Robin diculik! Mereka meminta uang tebusan sebesar Rp 12 juta Rupiah!
Jumlah yang sangat besar untuk ukuran saat itu. Penulis penyelipkan pesan
moral pada bagian ini, agar anak-anak diberikan pengarah untuk
berhati-hati jika berada di rumah. Tidak membukakan pintu begitu saja.
Sepertinya
penculik sangat tahu situasi rumah dan paham siapa saja yang ada saat itu.
Buktinya hanya Iwan dan Robin yang diculik. Andaikata kita anak orang kaya,
kita akan mereka culik juga, demikian pikiran Sutitik dan Mandoko.
Akhir
kisah bisa ditebak. Semuanya berakhir dengan baik, penculik tertangkap, Iwan
dan Robin kembali dengan selamat. Sutitik dan Mandoko ikut membantu memecahkan
misteri penculikan kedua sahabat mereka sehingga layak mendapatkan hadiah.
Untuk
kisah tahun 1970-an, kisah ini lumayan seru. Saya membayangkan jika
diceritakan ulang dengan beberapa penyesuaian, tetap masih seru.
Kepiawaian penulis menciptakan alur membuat kisah ini menjadi menarik.
Judul:
Laki-Laki dan Mesiu
tidak salah, buku ini diterbitkan ulang oleh salah satu penerbit besar.
Kovernya dibuat lebih menarik dengan aneka warna dan ilustrasi yang mengusung
tema perjuangan. Meski melihatnya saya malah merasa terenyuh karena
menggambarkan suasana pertempuran.
Versi
yang saya baca merupakan ejaan lawas. Mungkin anak zaman sekarang tak banyak
yang tahu bahwa nj adalah ny, dj dibaca j,
tj adalah c, Hal-hal seperti itu yang membuat membaca buku
ini menjadi tantangan tersendiri.
Terdapat
10 kisah yang bisa dinikmati dalam buku ini. Ada Tinggul; Kopral Tohir;
"Dropping-zone"; Restoran; Sebelum Pajung Terbuka; Pak Parman; Pagar
Kawat Brduri; Di Kaki Merapi; Rantjah; serta Lewat Tambun. Kesamaan
kisah-kisah tersebut adalah pada waktu peristiwa yaitu masa pascakemerdekaan.
Membaca
kisah Dropping-zone yang ada di halaman 30, menimbulkan
rasa haru. Akibat habisnya persediaan, beberapa tentara nekat meminta makan
penduduk. Hal yang sangat dilarang oleh komandan mereka sebenarnya. Ada yang
ketahuan melakukan hal tersebut, langsung mendapat teguran keras.
Menjadi
tentara saat itu sungguh berat. Tidak saja harus menghadapi musuh secara fisik,
namun juga harus kreatif dalam menghadapi kehidupan. Saya teringat kisah Oshin,
dimana anak pertamanya meninggal bukan karena bertempur namun karena kehabisan
bekal makanan (kalau tidak salah ingat).
Kisah Tingul mendapat Hadiah
Pertama majalah Kisah tahun 1956. Buku kumpulan cerpennya, Laki-laki dan Mesiu
(1957), mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958. Penghargaan yang patut
diperhitungkan
Judul:
Mentjahari Pentjuri Anak Perawan
Penulis: Soeman H.S
Halaman:98
Tahun
terbit: 1961 (Cetakan ke-IV)
Penerbit:
N.V. Nusantara
Rating:
4/5
polisi,"udjar Sir Djoon, ,,karena berurusan dengan polisi itu banjak
susahnja. Tak boleh tidak kabar ini makin petjah kemana-mana. djadi memberi aib
kita semua dan memberi malu tuan djua. Dan melemahkan tenaga kita; padahal
polisi itu belum tentu mau bekerdja dengan sungguh-sungguh hati untuk keperluan
kita...."
Kembali
menikmati sebuah buku dengan ejaan lawas. Seorang gadis bernama Nona
mendadak lenyap dari kamarnya. Diduga ia dibawa kabur melalui jendela rumah.
Orang tua dan tunangannya panik mencari. Salah seorang yang dianggap
keluarga-Sir Djoon, menawarkan bantuan untuk mencari keberadaan Nona.
Bisa dikatakan ialah yang menjadi detektif dalam kisah ini.
Tapi
jangan dikira cara penyelidikan yang dilakukan oleh Sir Djoon mirip dengan cara
kerja detektif yang umumnya kita baca. Tak ada kaca pembesar, tak ada adegan
duduk manis sambil merenung atau menyelidiki TKP, jelasnya tak ada juga adegan
mempergunakan bank data untuk melakukan penyelidikan awal.
Saya
menemukan banyak kalimat indah dalam buku ini. Misalnya, " Tak usah engkau
sjak-sjak hati kepadaku." Kemudian kalimat,"... tiada sebuahpun
tanda bahkan alamat jang boleh menggerakkan hati, membersihkan kelamin manusia
itu menjesali muhibat antara keduanja. Sebaliknja antara kasih-mengasihi
itu, tersimpullah tali tjinta bahagia tersepuh mati jang mungkin lekang diterik
panas dan lapuk dilebat hujan...."
Sang
penulis, Soeman H.S, bisa dianggap sebagai pelopor kisah detektif di tanah
air. Meski cara berceritanya dipengaruhi kisah detektif ala barat, namun
ia memasukan unsul lokal dalam kisah. Misalnya dengan membuat sosok detektif
yang bertingkah laku sopan dan tak pernah berkata kasar.
Karya
sang penulis yaitu Kasih Tak Terlarai (1929); Pertjobaan Setia
(1931); Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan 1932); Kasih Tersesat
(1932); Teboesan Darah (1939); dan Kawan Bergeloet (1941).
Sepertinya
saya harus sering beberes rak, siapa tahu masih banyak buku lawas
dalam dus yang belum saya bongkar ^_^.