
A. Pengertian Qunut
Kata qunut berasal dari
kata bahasa arab قَنَتَ يَقْنُتُ قُنُوْتًا yang
artinya ta’at atau tunduk atau patuh[1],
hal itu sejalan dengan firman Allah :
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
“Dan
barangsiapa diantaramu sekalian (istri-istri Nabi) tetap ta’at kepada Allah dan
rasul-Nya dan mengerjakan amal shalih, niscaya kami memberikan kepadanya pahala
dua kali lipat dan kami sediakan baginya rizqi yang mulia”. QS. Al-Ahzab:
31
Firman
Allah:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai
Maryam, ta’atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’ ”QS. Ali Imron : 43
Firman
Allah:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan
konsekwen dan sekali-kali bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” QS.An-Nahl: 120
Kata qunut, masih
secara bahasa, artinya adalah taat dan menghinakan diri di hadapan Allah[2].
Adapun pengertian Qunut menurut istilah (terminology), adalah sebuah
zikir khusus yang mencakup atas doa dan
pujian kepada Allah SWT dengan menggunakan bentuk kalimat yang dikehendaki
serta mencakup kandungan doa dan pujian tersebut[3].
Nahdhatu al-‘Ulama yang
mayoritas berpegang teguh pada mazhab Syafi’i, mengartikan qunut secara
etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu',
ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat
dengan lama, melanggengkan taat[4].
Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih
dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara
khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri
setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT[5].
B. Pembagian Qunut
Dalam perkembangannya,
qunut dibagi menjadi 3 macam[6],
yaitu:
1. Qunut Nazilah
2. Qunut Witir
3. Qunut Shubuh
Pertama, doa Qunut
Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir
shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan
bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah)
yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung dan lainnya.
Qunut Nazilah ini
mencontoh Rasulullah SAW Yang memanjatkan doa Qunut Nazilah selama satu bulan
atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi SAW yang hafal al Qur’an)
di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa “Rasulullah SAW
kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan
seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).
Kedua, qunut shalat
witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan
dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut
Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut
Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat
witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut
Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.
Ketiga, doa qunut pada
raka’at kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa
ia pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah
dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ
“Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW
telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang
Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Menurut pengikut Imam
Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunnah tetapi disyaratkan
pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnya sunnah ab’adl
(kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi) dilakukan pada raka’at yang
kedua shalat Shubuh. Sebab Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’
(i’tidal) pada rakaat kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian
itu “Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd
Raziq). Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ القُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ
“Dalam Madzhab kami (madzhab Syafi’i)
disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun
tidak. Inilah pendapat mayoritas ulma’ salaf”.[7]
C. Qunut menurut Nahdhatu Al-‘Ulama’
Nahdhatu Al-‘Ulama’[8]
adalah salah satu organisasi yang berfaham ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai dasar teologi (akidah) dengan menganut salah satu mazhab dari empat
mazhab dalam berfikih. Dalam arti, NU menganut semua mazhab fiqh, sehingga
menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk
beralih mazhab secara total dalam beberapa hal yang dianggap secara kebutuhan
(hujah), meskipun kenyataannya dalam realitas Ulama NU lebih cenderung menggunakan
fiqh yang bersumber dari mazhab Asy-Syafii. Sebagaimana terlihat fatwa maupun
keputusan pengambilan hukum oleh ulama-ulama maupun pesantren selalu condong
pada Mazhab Syafii.[9]
Dalam menghadapi
permasalan qunut, mayoritas NU menganggap masalah ini adalah masalah yang
masyhur, yakni telah diketahui bersama hukumnya di kalangan Nahdiyyin. Para
ulama NU secara tegas dan mufakat menghukumi qunut shubuh sebagai sunnah. Hal
ini sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafii sebagai berikut:
يسن عندهم القنوت في اعتدال ثانية الصبح، وصيغته المختارة هي: (اللهم اهدني فيمن هديت، وعافني فيمن عافيت، وتولني فيمن توليت، وبارك لي فيما أعطيت، وقني شر ما قضيت ، فإنك تقضي ولا يقضى عليك، وإنه لا يذل من واليت، ولا يعز من عاديت، تباركت ربنا وتعاليت، فلك الحمد على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك) ، وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم[10]
Dalam redaksi diatas,
selain dijelaskan status hukum qunut shubuh, juga dijelaskan rincian doa yang
dibacakan ketika qunut itu dilaksanakan pada saat I’tidal rakaat kedua.
Selain itu, para ulama
NU juga berlandaskan pada pernyataan yang ada dalam kitab “Al-Majmu’” sebagai
hujjah hukum sunnat terhadap qunut shubuh. Disitu dijelaskan:
في مذاهب العلماء في اثبات القنوت في الصبح: مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أو لم تنزل وبها قال أكثر السلف ومن بعدهم أو كثير منهم وممن قال به أبو بكر الصديق وعمر بن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراء بن عازب رضي الله عنهم[11]
Dari
keterangan diatas, dapat diketahui bahwa para sahabat-sahabat Nabi menggunakan
qunut ketika shubuh dan menurut NU itu merupakan “hujjatul ummah” atau
pemimpin umat islam yang sudah pantasnya kita ikuti.
Penjelasan
hukum sunnah tentang qunut shubuh juga termuat dalam kitab Al-Azkar, yang
menyebutkan bahwa qunut shubuh dalam mazhab syafii merupakan ibadah yang masyru’
dan sunnahhukumnya untuk dikerjakan. Jika ditinggalkan, maka shalatnya tidak
batal, namun harus dengan sujud sahwi di kahir shalat sebelum salam[12].
Keterangan-keterangan
diatas menjadi landasan NU dalam mengeluarkan keputusan hukum tentang qunut
shubuh. Seperti yang ditegaskan oleh KH. A. Masduqi Mahfudh yang merupakan
Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dalam forum rubrik bahtsul masail yang
diadakan oleh majalah AULA[13].
Adapun
hadits-hadits nabi yang dijadikan rujukan NU bagi sunnahnya qunut shubuh antara
lain:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ قَالَ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami
Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin berkata, " Anas bin
Malik pernah ditanya, "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan
qunut dalam shalat Shubuh?" Dia berkata, "Ya." Lalu dikatakan
kepadanya, "Apakah beliau melakukannya sebelum rukuk?" Dia menjawab,
"Terkadang setelah rukuk."[14]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الَّذِينَ قَتَلُوا أَصْحَابَ بِئْرِ مَعُونَةَ
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, katanya; aku membaca di hadapan Malik
dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik, katanya;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendoakan kecelakaan untuk orang-orang
yang telah membantai para sahabat di Bi'r Ma'unah[15]
Selanjutnya
mengenai qunut witir, NU dalam prakteknya juga cenderung pada mazhab syafii
yang menghukumi qunut witir dengan sunnah. Hal ini berdasarkan pada kitab “Fiqh
Wadhih” yang menyatakan:
Demikian
halnya dengan qunut nazilah, NU berpendapat bahwa selama ada musibah yang
menimpa maka disunnahkan untuk melaksanakan qunut nazilah dalam setiap shalat
fardhu atau shalat sunnah. Dasar ini terdapat dalam kita al-Majmu’
dengan keterangan sebagai berikut:
واما غير الصبح من الفرائض فلا يقنت فيه من غير حاجة فان نزلت بالمسملين نازلة قنتوا في جميع الفرائض[17]
Sehingga
jelas disini bahwa para ‘Ulama NU secara mufakat tiada perdebatan dalam
menghukumi Qunut sebagai sunnah.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 756.
[3] Taqiyuddin Abu Al-Fath Muhammad bin Ali, Ihkaamu al-Ahkam Syarh
‘Umdatu Al-Ahkam, (CD Room al-Maktabah al-Syamilah), hlm. 99.
[4] Muhammad bin Idris As-Syafi’i, al-Risalah, editor Ahmad
Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hlm. 20.
[5] Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah,
editor Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz II, hal. 254.
[6] Khaled Musyaiqih, Syarh Kitab al-Shalati min ‘Umda al-Thalib, (CD-Room
Al-Maktabah Al-Syamilah), hlm. 294.
[7] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Li Muhyiddin An-Nawawi, (CD-Room
Al-Maktabah Al-Syamilah), juz 3, hlm. 504
[9] M. Imdadur Rahman, Kritik Nalar Fiqh NU, Transformasi Paradigma
Bahtsul Masail, Pengantar KH. Sahal Mahfudh (Jakarta: Lakpesdam, 2002),
hlm. X.
[10] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (CD-Room
Al-Maktabah Al-Syamilah), juz 2, hlm. 175.
[13] Dikutip dari Skripsi Fahmi Hamzah Rifai, Studi Komparatif Antara
NU dan Muhammdiyah tentang Qunut dalam Shalat, (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2004), hlm. 70.
[14] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail a;-Bukhari, Shahih Bukhari,
(CD-Room Lidwa Pustaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist), no. hadis. 946 .
[15] Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi
an-Naisaburi, Shahih Muslim, (CD-Room Lidwa Pustaka i-Software - Kitab 9 Imam
Hadist), no. hadis. 1085. Dalam Bidayatul Mujtahid dijelaskan menurut Abu Umar
bin Abdul Bar, disini Nabi SAW melaksanakan qunut dalam rangka memohonkan
celaka bagi kaum kafir karena telah membunuh para sahabat. Selanjutnya lihat
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihatul Muqtashid, (CD-Room
Al-Maktabah Al-Syamilah), hlm. 138.
[16] M. Abu Bakar Ismail, Fiqh Al-Wadhih, (t.t,tp), hlm. 194.
Dalam menjawab dan memberikan fatwa tentang qunut nazilah, Ulama’ NU juga
merujuk pendapat syafii ini. Lihat Bahtsul Masail NU Tahun 1997.