Analisis Tentang Seni Budaya dan Problematika - EDUKASI







ANALISIS TENTANG SENI BUDAYA DAN PROBLEMATIKA


1.     
SENI SUARA


a)     
Seni baca Al-Qur’an


Al-Quran adalah kalam Allah dan kitab suci
umat Islam. Tidak hanya sastra yang indah dan tinggi tetapi juga mempunyai seni
bacaan yang unik. Oleh itu, membaca Al-Quran diutamakan dalam Islam. Kita
dituntut oleh syariat Islam supaya membaca Al-Quran mengikut tajwidnya yang
benar dan dengan suara yang baik. Kesengajaan membaca al-Quran secara berlagu
dengan menambahkan huruf atau menguranginya untuk memperindah adalah fasiq.
Bahkan menurut fatwa Imam al-Nawawi mengenai golongan yang membaca al-Quran
dengan berlagu yang buruk serta banyak perubahannya, maka hukumnya adalah haram
menurut  para ulama’[1].


Jelas bahwa kita diperbolehkan membaca
al-Quran dengan seni suara yang indah. Selama itu terjaga dari kesalahan
membaca seperti tajwid dan makhrajnya. Karena hal itu dapat mengakibatkan
perubahan makna.


b)      Seni Musik


Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga
seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah.
Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural yang mereka namakan
dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka
menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana,
gambus, tambur dan lain-lain.


Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya
berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika
Hijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.


Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang
membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi
kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara
pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang
atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut
kedatangan hari raya dan yang sejenisnya. Seperti yang di katakan  Nabi s.a.w. saat seorang wanita dengan
seorang laki-laki dari kalangan Anshār menikah:


يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ
لَهْوٍ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ


 "Hai
‘Ā’'isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya
orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian)."
[2]


Telah jelas sekali dalam beberapa
riwayat bahwa musik itu diperbolehkan. Adapun di sisi lain ada beberapa ulama
yang mengharamkan musik karena beranggapan bahwa musik adalah sebuah kesia-siaan
yang tidak berguna.


Dari
gulatan perdebatan para ulama ini, jelas bahwa ada yang membolehkan dan ada
yang mengharamkan. Jelasnya, semua tergantung kepada niatnya. Orang yang  berniat menikmati musik yang dapat mendorong
pada perbuatan dosa adalah haram, sedangkan jika musik dapat menyenangkan orang
agar dengan begitu menguatkan ketaatannya kepada Allah dan selama tidak
melanggar prinsip-prinsip yang diridhoi Tuhan, maka hal itu tidak menjadi
permasalahan.  





2.      SENI TARI


Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh
secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri,
merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish),
gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).


Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan
penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah
akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya
magis dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari
Eksorsisme dan Kebangkitan, tari
Perburuan dan Perang.


Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat
keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian rakyat yang
komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok
dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat. Tarian
tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi
tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya
digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama
gerak dan memfokuskan pada hiburan.


Seni sekarang berada halnya dengan tarian
abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau
sendratari Gaya tarian abad ke 20 berkembang dengan irama-irama musik pop
singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir
adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila
dan digandrungi anak muda.


Dalam kesenian tari, ditemukan beberapa riwayat yang berkaitan,
misalnya seperti riwayat Abu Dawud dari Anas r.a yang berbunyi:


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ
قَال
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ لَعِبَتْ الْحَبَشَةُ لَقُدُومِهِ
فَرَحًا بِذَلِكَ لَعِبُوا بِحِرَابِهِمْ


Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Al hasan bin Ali berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Tsabit dari
Anas ia berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di
Madinah, orang-orang habsyah bermain-main karena gembira dengan kedatangan
beliau. Mereka bermain-main dengan alat perang mereka."[3]


Imām Al-Ghazālī beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil
menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w.
pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia.
Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib, Ja’far Bin Abi
Thalib dan Zaid Bin Haritsah pernah berjinjit atau menari ketika dipuji oleh
Nabi[4].


Pada
intinya, semua yang berkaitan dengan tari-tarian, musik dan lagu yang masih
dalam batasan-batasan yang tidak membawa dampak yang buruk diperbolehkan.





  1. SENI RUPA



Al-Quran secara tegas dan  dengan 
bahasa  yang  sangat 
jelas berbicara tentang patung pada tiga surat Al-Quran.


Pertama, dalam  surat 
Al-Anbiya  (21):  51-58, diuraikan 
tentang patung-patung  yang  disembah 
oleh  ayah  Nabi 
Ibrahim dan kaumnya.  Sikap 
Al-Quran  terhadap  patung-patung 
itu, bukan sekadar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya. Maka
Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang
terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya [21]: 58).






Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan
arti  dari  sikap Nabi 
Ibrahim  di atas, yaitu bahwa
beliau menghancurkan semua berhala 
kecuali  satu  yang 
terbesar.  Membiarkan satu di
antaranya  dibenarkan,  karena 
ketika  itu  berhala 
tersebut diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui
berhala  itulah  Nabi 
Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala --betapapun besar dan  indahhya-- 
tidak  wajar  untuk disembah. Sebenarnya patung yang besar
inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah
kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran
diri mereka, lalu mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah orang-orang
yang menganiaya (diri sendiri) (QS Al-Anbiya [21]: 63-64).


Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan
berhala yang terbesar  pada  saat berhala itu difungsikan untuk satu
tujuan yang  benar.   Jika  
demikian,   yang   dipersoalkan   bukan berhalanya,  tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan
yang diharapkan darinya.


Kedua, dalam surat Saba
(34): 12-13,
diuraikan tentang nikmat  yang
dianugerahkan  Allah  kepada 
Nabi  Sulaiman, yang antara lain
adalah, (Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang dikehendakinya seperti
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung ... (QS Saba [34]: 13).


Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan  bahwa 
patung-patung  itu terbuat  dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon
menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut ayat
tersebut).


Di sini,
patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau diduga akan  disembah-- 
maka  keterampilan  membuatnya 
serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.


Ketiga, dalam  Al-Quran 
surat  Ali Imran (3): 48-49 dan
Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara  lain 
adalah menciptakan  patung  berbentuk 
burung  dari  tanah 
liat  dan setelah  ditiupnya, 
kreasinya   itu   menjadi  
burung   yang sebenarnya atas izin
Allah. Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung
kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali
Imran [3): 49).


Di sini, karena kekhawatiran kepada
penyembahan  berhala  atau karena  
faktor   syirik   tidak 
ditemukan,  maka  Allah 
swt. membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan
demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena kemusyrikan dan
penyembahannya.


Adapun tentang seni pahat dapat kita baca pada
kisah kaum Nabi Shaleh yang terkenal 
dengan  keahlian  memahat. Hal itu digambarkan oleh Allah dalam
firman-Nya:


وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ
خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ
سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آَلاَءَ اللهِ
وَلاَ تَعْثَوْا فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ. الأعراف : 74


Artinya: Ingatlah olehmu di waktu
Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan
memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah
yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan
(QS Al-Araf [7]: 74).





Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat,
serta amat ahli dalam  bidang ini
sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian  indah 
bagaikan  sesuatu   yang  
hidup,   menghiasi
gunung-gunung  tempat tinggal mereka.
Kaum ini enggan beriman, maka kepada mereka 
disodorkan  mukjizat  yang 
sesuai  dengan keahliannya  itu, yakni keluarnya seekor unta yang
benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta  itu 
makan dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara [26]:
155-156),  bahkan mereka meminum susunya.
Ketika itu  relief-relief  yang mereka 
lukis  tidak berarti sama sekali
dibanding dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu  keras 
kepala dan  kesal  sampai 
mereka  tidak  mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta
itu,  sehingga  Tuhan 
pun  menjatuhkan  palu godam terhadap mereka.[5].


Adapun yang digarisbawahi
di sini adalah bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu  merupakan nikmat Allah Swt. yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada
pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt.


Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam
bidang keahlian mereka itu, pada 
hakikatnya merupakan “Seniman Agung” kalau istilah ini dapat diterima.


Berdasarkan analisa di atas maka persoalan seni
lukis, pahat  atau patung  harus 
dipahami dalam kerangka spirit Alquran di atas. Dalam konteks inilah
Syaikh  Muhammad  Ath-Thahir 
bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang
patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung
karena  agama  ini sangat 
tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah
daging dalam  jiwa  orang-orang Arab serta orang-orang selain
mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-patung, maka Islam
mengharamkannya karena alasan tersebut; bukan karena dalam patung terdapat
keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.














[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Kaff al-Ri’a’ ‘an Muharrimat al-Lahwi wa
as-Sima’
, (CD ROM al-Maktabah asy-Syamilah), hlm. 69.




[2] Abdullah
asy-Syaukani al-Yamani, Nailu al-Awthar, (CD ROM Al-Maktabah
Asy-Syamilah), jilid ke-6, hlm. 222.




[3] Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’at As-Sajastani, Sunan Abi Dawud,
Ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyyah,
t.th), juz ke-4, hlm. 281.




[4] Muhammad al-Ghazali ath-Thufi, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut: Dar
Al-Ma’rifah, t.th), juz ke-6, hlm. 1141-1142.




[5] Al-Syams [91]: 13-15.




Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

Previous Post Next Post