Beda
dan Setara menjadi tagline Gusdurian Malang saat memperingati Hari Toleransi
Sedunia. Dirayakan dalam suasana bahagia penuh canda tawa di Mbambes Coffee,
komplek ruko Jalan Simpang Gajayana Malang, pada hari Rabu 16 November 2016
kemarin. Dihadiri sekitar 50 orang yang berasal dari latar belakang agama dan
keyakinan berbeda, diantaranya Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Bahai, Islam,
NU, Ahmadiyah dan lainnya.
Acara
diisi dengan bedah buku Jalan Damai Kita, sekaligus sebagai refleksi Hari
Toleransi Sedunia. Buku Jalan Damai Kita sendiri merupakan karya literasi dari
28 anak muda lintas agama di Kota Malang. Buku ini berisi testimoni pemikiran
dan pengalaman dari sudut pandang mereka dalam membangun sikap damai. Setidaknya
menyemai damai dan menolak intoleransi di kota Malang.
Doa bersama
dipimpin perwakilan lintas Agama
Tiga
pembicara yang semuanya anak muda begitu mengalir saat membedah buku Jalan
Damai Kita. Memaparkan bagaimana semestinya kita menjadi manusia yang toleran
meski berbeda. Dan terus menerus menyuarakan, serta mengapresiasi toleransi
dalam bentuk tindakan nyata bukan hanya sekedar wacana dan retorika belaka. Salah
satu contoh nyata dalam mengapresiasi toleransi yang telah Gusdurian Malang
lakukan, yaitu dengan mengadakan safari damai mengunjungi komunitas lintas
agama pada bulan Ramadhan lalu.
Pemateri bedah
buku Jalan Damai Kita
Memperingati
hari Toleransi Sedunia di Mbambes Coffee Malang
Nah
bagi saya yang ikut hadir dalam acara memperingati hari toleransi sedunia ini,
tentunya juga berharap bisa ambil bagian menyuarakan jalan damai bagi kita semua.
Minimal diawali dari diri saya sendiri dengan tidak menjadi bagian kaum
intoleran pemicu keonaran, yang selalu bersikap arogan seolah satu-satunya
pemilik dan penentu kebenaran.
Sedikit
bercerita sebuah pengalaman, mungkin bisa dikaitkan dengan sikap toleransi dalam
tataran yang sangat sederhana. Meski sederhana dan begitu mudah kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, ternyata kitapun tanpa sadar menjadi bagian kaum
intoleran dalam tanda petik, berikut kisahnya:
Toleransi
Sebatang Rokok
Sekitar
tiga tahun
yang lalu (kalo tidak salah ingat) saya melakukan perjalanan dari Malang menuju
Surabaya menggunakan kereta api. Kondisi penumpang cukup padat, hampir semua
kursi terisi. Di bangku penumpang di depan saya ada seorang ibu menggendong
bayinya dan di sebelahnya ada penumpang pria.
Beberapa
saat kemudian
pria ini mengeluarkan sebatang rokok hendak menyalakannya. Melihat hal ini, ibu
disebelah menegur: “Maaf mas, tolong jangan merokok disini”. Mendapat teguran,
pria tersebut rupanya tidak terima, “Apa urusan anda melarang saya merokok,
inikan hak saya ya terserah saya, toleranlah sama perokok”. Mendengar jawaban
pria ini, ibu tersebut akhirnya mengalah sambil berujar: “Ok mas, tapi supaya
adil mari kita penuhi hak kita masing-masing dengan setara. Saya dan anak saya
berhak menghirup udara dan sampeyan juga berhak menghirup asap rokok sesukanya.
Tapi ingat, telan asapnya karena yang lain tidak membutuhkan”.
Hehe... bingung dah
sang penumpang pria, bisa kembung nelan asap rokok.
“Toleran;
setidaknya apa yang saya lakukan tidak mengganggu privasi orang lain”
Sumber:
Hari
Toleransi Sedunia di Mbambes Coffee Malang
Kereta
api Malang – Surabaya tiga tahun lalu