Beberapa hari ini kita saling bermaaf-maafan, meski
belum tentu memiliki salah. Barusan ketemu teman jaman sekolah SD dulu,
langsung bersalaman sambil bermaaf-maafan. Blog walking berjumpa dengan sahabat
blogger, berderet ucapan permohonan maaf.
Nah, pagi-pagi ke ATM mau ambil uang, ehh.. di layar
monitor juga tertulis ucapan minta maaf, “Maaf saldo anda tidak
mencukupi”. Waduh...baru inget kalau THR sudah habis buat belanja
lebaran dan sekarang sudah tanggal tua. Baiklah saya maafkan.
Mondar-mandir dari pada bingung nggak ada uang, saya
coba telpon saudara untuk pinjem uang. Pas saya telpon, terdengar di ujung
telpon suara operator seluler juga meminta maaf, “Maaf,pulsa telephone
anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan, silahkan isi ulang kembali”.
Ya sudahlah, saya maafkan, mumpung masih suasana lebaran.
Bermaaf-maafan saat merayakan hari raya Idul Fitri, sudah
menjadi tradisi masyarakat Indonesia sejak lama. Bahkan atm dan telephone pun
kompak ikut minta maaf, hehe, maklum tanggal tua. Saling meminta maaf sudah
barang tentu sebuah tradisi yang sangat baik. Apalagi jika menjadi tradisi
permanen, dimana setiap orang memiliki sifat pemaaf dalam kesehariaannya. Tidak
hanya disaat moment lebaran saja.
Jika menilik firman Allah swt dalam Al quran, sifat
“afwun” (pemaaf) sudah semestinya menjadi sifat kita sebagai seorang muslim.
Bahkan ternyata sifat pemaaf memiliki tiga tingkat derajat “afwun”, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Ali Imran 134:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik
pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Dari ayat diatas, tingkatan derajat sifat pemaaf
(afwun) ada tiga, yaitu:
1. “Wal kadhiminal ghaidha” (menahan marah), yaitu
apabila disakiti dapat mengekang kemarahannya.
2. “Wal ‘afiina ‘anin naas” (memaafkan tanpa syarat),
yaitu dapat memaafkan dan mengampuni orang yang bersalah
3. Wallaahu yuhibbul muhsiniin” (memberikan kebaikan),
yaitu orang yang disakiti tidak hanya bisa menahan marah dan memaafkan, tetapi
juga bisa memberikan kebaikan kepada orang yang bersalah, sehingga orang yang
bersalah tersebut justru mendapat anugrah. Dan tergugah hatinya untuk
meninggalkan perbuatan buruknya.
Sedangkan
bagi mereka yang sudah melakukan kesalahan , juga ada solusi tindakan yang
harus dilakukan, sebagimana firman Allah swt,
وَالَّذِينَ
إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ
يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan
orang-orang yang apabila mereka melakukan suatu perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampunan bagi dosa
mereka dan siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka
tidak mengulangi lagi perbuatan itu, dan mereka mengetahuinya”.
QS. Ali Imran 135:
Dari ayat diatas, ada dua
hal yang harus dilakukan oleh orang yang telah berbuat salah, yaitu:
1.
“Dzakarullaaha”
(ingat kepada Allah), yaitu yaitu berhenti, sesali dan tidak mengulangi
kesahannya.
2. “Fastaghfaru lidzunuubihim”, yaitu memohon ampunan
kepada Allah SWT dan meminta maaf kepada orang atas kesalahannya dengan
melunasi/ mengganti kerugiannya.
Mohon
maaf atas segala khilaf :)