Trawas, pagi itu
masih diselimuti hawa dingin, diufuk timur sang surya mulai mengintip
kemerahan. Cahayanya mulai berpendar, menyeruak diantara rerimbunan pohon di sekitar
area hotel Trawas. Tanpa pandang bulu mentari berbagi kepada seluruh alam.
Menyirnakan gelap, berganti terang benderang. Cahaya matahari yang terang,
sejatinya merupakan keselarasan banyak warna yang bersatu dan berdampingan,
sinergi dalam satu kesatuan warna.
Kebersamaan Harus
Diwujudkan
Pendeta,
Bante, Kyai, Ustad dan Mubaligh akrab berbincang,
meski
berbeda agama dan kepercayaan
Terlihat
di sudut ruangan pada satu meja makan, terasa gayeng obrolan akrab beberapa pemuka
agama. Latar belakang agama dan aliranya berbeda, ada Pendeta, Bante, Kyai,
Ustad dan Ulama. Katolik, Protestan, Hindu, Buda, Islam, NU, Muhamadiyah,
Ahmadiyah dan Syiah juga ada. Berasa banget kalo Indonesia itu memang Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, satu dalam kebersamaaan. Sejatinya
sejak manusia di ciptakan pun kodratnya memang sebagai makhluk sosial. Dimana manusia pada akhirnya akan membutuhkan orang lain untuk bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya. Meski begitu, faktanya tidak semua orang bisa hidup di
tengah perbedaan, lebih mengutamakan egonya tanpa menghargai yang lain.
Toleransi adalah Sebuah Keniscayaan
Peserta Focus Group Discussion dari kalangan pemuka
agama di Jawa Timur, membahas kerukunan umat
Kembali ke gayengnya brolan di meja makan, toleransi
menjadi objek bahasan. Yaa..salah satu solusi supaya konflik SARA bisa diredam
adalah menanamkan sikap toleransi disetiap lapisan masyarakat. Dengan toleransi,
orang akan menghargai dan menerima perbedaan, maka suasana damai, aman dan
tentram bisa tercipta. Suasana kebersamaan di meja makan ini, berbanding
terbalik dengan apa yang sering kita jumpai di akar rumput. Sebagian umat
grassroot lebih senang bertindak dari hasil mendengar dan sendiko dawuh, dengan
mengenyampingkan daya pikir dan akal sehat. Dampaknya, aksi brutal dan
barbarian, sebagai wujud makhluk intoleran. Semestinya, semuanya bisa diawali
dari hulunya, yaitu pemuka agama. Karena dari merekalah ajaran agama diserap,
menjadi pegangan hidup setiap umat. Sikap akar rumput yang intoleran, bisa jadi
pemukanya yang mengajarkan.
Kita tentunya tidak ingin merasakan, akibat perbedaan
pemahaman agama Islam di timur tengah, di jadikan alasan saling bunuh sesama
umat. Atau yang paling hangat, akibat sentimen agama berbuah tragedi Charlie
Hedbo dan penyanderan di Prancis, dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Love for All, Hatred for None
Pertanyaannya, bisakah suasana kebersamaan di meja makan
ditransfer hingga akar rumput? Meski berbeda agama, aliran, kepercayaan dan
suku, tetap bersama dalam bingkai toleransi?
Tidak nampak indah sebuah taman, jika hanya ada satu
tanaman bunga. Semakin berwarna dan beragamnya bunga, keindahannya pun makin
mempesona.
Love for All, Hatred for None. Kecintaan untuk semua
orang, Kebencian tidak untuk siapapun.
Sumber:
Lokasi Hotel di Trawas, Pasuruan